Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
My Name is Tara

My Name is Tara

rannty

5.0
Komentar
54
Penayangan
5
Bab

Tumbuh di panti asuhan selama 20 tahun, membuat Tara ingin mengetahui siapa dan di mana orang tua kandungnya. Dalam pencariannya itu, Tara justru terjebak dalam sebuah hubungan pernikahan kontrak, dengan seorang laki-laki yang baru ia kenal. Perjanjian pun dimulai, yang mana saling menguntungkan bagi keduanya. Akankah Tara menemukan orang tua kandungnya? Pernikahan yang berawal dari sebuah kontrak, bisakah membawa kebahagiaan bagi Tara?

Bab 1 Pengganggu

Perkenalkan, namaku Tiara Indah, sering dipanggil Tara. Entah mengapa aku harus dipanggil dengan nama itu, padahal aku lebih menyukai nama belakangku yaitu Indah.

Tinggal di panti asuhan selama 19 tahun, membuatku susah untuk meninggalkan tempat itu. Namun, aku tidak bisa tinggal gratis selamanya di sana.

Sudah satu minggu sejak meninggalkan tempatku tumbuh, tempat masa kecil di mana kasih sayang yang tidak kudapatkan dari orang tua kandung, aku bisa mendapatkannya di sana.

Ayah dan bunda menyayangiku seperti putrinya sendiri, bukan hanya padaku, tetapi pada semua anak yang tinggal di sana, anak-anak asuh mereka.

(Brug)

"Aww," rintih ku, merasakan sakit pada bagian belakang.

"Kalo jalan liat-liat dong, kotor kan bajuku." Seorang pemuda marah-marah karena tindakanku yang ceroboh.

"Maaf-maaf, aku nggak sengaja," ucapku, mencoba berdiri.

"Aku bersihin, ya?"

"Nggak usah, nanti malah tambah kotor lagi," tolak pemuda itu, kasar.

Aku sudah meminta maaf, juga sudah menawarkan bantuan untuk membersihkan bajunya.

Kenapa dia harus kasar sih? Tampang saja tampan, tetapi kelakuan jelek, batinku merutuk pemuda sombong yang berdiri di depanku sambil membersihkan kemejanya yang terkena minuman.

Tanpa berkata apa pun lagi, aku berjalan meninggalkan pemuda sombong itu. "E-e-eh, mau ke mana kamu? Enak banget main pergi gitu aja," protesnya.

Aku berbalik, menatap wajah sombongnya. "Apa? Minta maaf lagi? Tadi kan udah, nggak terima, kan? Udah aku tawarin buat dibersihin juga nolak, terus mau apa lagi? hm?" cecarku, kesal.

"Ganti rugi." Tanpa rasa malu, pemuda itu menengadahkan telapak tangannya meminta uang ganti rugi dariku.

"Ganti rugi buat apa? Cuma kotor sedikit kok, dicuci juga hilang," balasku, sinis.

"Gampang banget ya kalo ngomong, ini kemeja mahal. Aku pakai ini buat ketemu sama orang tuaku," bentaknya.

Apa? Dia siapa? Berani sekali membentakku. Memangnya dengan bentakan seperti itu, aku bakal takut sama dia. Sorry ya, tidak sama sekali.

"Sok banget sih, mau ketemu sama ortu aja pake baju rapih," ucapku sambil berlalu pergi.

"Kamu-"

(Kriing.. Kriing)

Aku mendengar nada dering ponsel. Nampaknya suara panggilan itu menghentikan amarahnya. Kudengar, pemuda itu menjawab telepon. Tanpa peduli lagi, aku pun melanjutkan langkah.

Gara-gara bertemu dengan pemuda sombong itu, aku sampai telat masuk kerja. Untung kepala bagian cleaning service orangnya baik, aku hanya telat beberapa menit dan langsung memulai kerja setibanya di sana.

Hampir satu minggu aku bekerja sebagai cleaning service pada salah satu perusahaan di kota. Aku tidak mau selalu merepotkan ayah dan bunda. Usiaku sudah cukup untuk mencari uang untuk membalas semua jasa-jasa mereka. Selain itu, aku juga ingin mencari orang tua kandungku.

Mereka meletakkanku di depan pintu rumah bunda 19 tahun yang lalu. Mungkin saat itu usiaku baru satu bulan atau bahkan baru dilahirkan. Entahlah, aku tidak tau itu, ayah dan bunda juga tidak tau tepatnya.

"Ra, kok tumben sih kamu telat? Biasanya selalu datang beberapa menit sebelum jam kerja," ucap Ziva, sahabatku di panti. Usianya lebih tua satu tahun dariku.

"Iya. Tadi ketemu sama cacing pengganggu di jalan," jawabku asal.

"Cacing pengganggu?"

"Sssstt, kerja kerja. Jangan ngobrol mulu." Tegur Bu Nadia - Kepala Bagian Cleaning Service.

"Eh, i-iya, Bu," jawabku cukup terkejut dengan kedatangan bu Nadia yang tiba-tiba.

Setelah mendapat teguran dari bu Nadia, aku kembali mengerjakan tugas seperti biasa.

"Wah, lihat itu!"

"Ganteng banget, siapa sih?"

"Dengar-dengar sih wakil direktur yang baru datang hari ini, mungkin dia orangnya."

"Wakil direktur?"

Cuap-cuap para karyawati terdengar di telingaku. Sangat mengganggu sekali, apalagi di jam kerja seperti ini mereka malah bergosip.

(Prok-prok)

"Perhatian semuanya. Saya perkenalkan laki-laki yang berdiri di sebelah kiri, dia adalah wakil direktur yang akan menggantikan Pak Satya. Namanya Pak Tara," jelas Yuda.

Aku tidak menggubris pengumuman dari Pak Yuda. Toh, bukan urusanku. Tugasku hanya memastikan setiap sudut tempat di kantor bersih tanpa noda.

"Ra, kamu dipanggil bu Nadia tuh," ujar Ziva, mengambil alat pel yang sedang aku pegang.

"Bu Nadia? Suruh ngapain?" tanyaku, karena baru beberapa menit bu Nadia baru saja menegurku, tetapi beliau tidak mengatakan apa pun.

Aku bergegas ke ruangan bu Nadia. Entah ada hal apa yang membuatnya memanggilku di jam kerja seperti sekarang.

(Tok-tok-tok)

"Masuk."

"Maaf, Bu. Ada apa ya manggil saya?" tanyaku, duduk pada kursi yang berseberangan dengan bu Nadia.

"Saya baru dapat perintah, karena wakil direkturnya bukan lagi pak Satya. Jadi, mulai besok kamu yang harus membersihkan lantai atas," terang bu Nadia.

"Loh, kenapa saya, Bu? Bukannya sudah ada pak Ahmadi?"

"Pak Ahmadi itu sudah tidak muda lagi. Wakil direktur yang baru minta diganti karyawan bersih-bersihnya sama yang masih muda dan kuat."

"Tapi kenapa harus saya, Bu?"

"Itu perintah langsung dari pak Darren, direktur utama di kantor ini. Memangnya kamu berani menolak perintahnya?"

"Tidak, Bu. Saya tidak berani."

"Ya sudah, sekarang juga kamu langsung naik ke lantai atas," perintah Bu Nadia.

Aku hanya bisa pasrah mendapat perintah dari atasan. "Baik, Bu."

Aku kembali ke lobi untuk mengambil beberapa peralatan yang dibutuhkan, sebelum naik ke lantai paling atas kantor ini.

"Gimana, Ra? Ada apa bu Nadia manggil kamu?" tanya Ziva langsung menyergapku dengan rasa penasarannya.

"Aku disuruh ganti lokasi kerja."

"Ganti lokasi? Maksudnya ... dipindahin?" tebak Ziva.

Aku mengangguk, membenarkan tebakan Ziva. "Ke lantai paling atas. Katanya permintaan dari wakil direktur yang baru," jelasku.

"Kok aneh? Kenapa wakil direktur milih kamu?"

"Mana aku tau, tapi yang minta aku buat pindah lokasi bukan dia-"

"Jadi siapa?"

"Pak Darren," jawaban terakhirku membuat Ziva mengerutkan kening.

Tanpa menunggu jawaban darinya, aku langsung berjalan menuju lift karyawan agar bisa sampai di lantai atas.

Sebelum menaiki lift, bu Nadia memintaku untuk langsung membersihkan ruangan wakil direktur begitu sampai di lantai atas.

Setelah mengetuk pintu beberapa kali, tidak ada jawaban yang kudapatkan. Aku pun memberanikan diri untuk membuka langsung pintunya.

Kosong. Tidak ada siapa pun di sana. Tanpa berpikir lagi, aku mulai melakukan tugas. Tidak ada orangnya justru lebih baik, pikirku.

"Wah, ternyata kayak gini pemandangan dari lantai atas," seruku, mengagumi pemandangan yang terpampang indah di hadapanku.

(Pyarr)

Aku tersentak. Itu suara gelas kaca yang terjatuh. "Aaaaaa."

"Siapa itu?"

"Lepasin, kamu mau apa?" teriakku, saat tangan seseorang mencekal lenganku.

"Ssstt, jangan berisik." Aku semakin ketakutan saat tangan orang itu membungkam mulutku.

Aku berusaha memberontak, mencoba melepaskan cengkraman tangan yang mencekal lenganku.

"Tolong, jangan berisik. Aku cuma mau minta bantuanmu," pinta orang itu.

Aku tidak bisa melihat wajahnya. Orang itu mencekal lengan dan membekapku dari belakang. Siapa yang tidak takut coba saat berada di posisi itu?

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh rannty

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku