Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Dia Adalah Istriku

Dia Adalah Istriku

SpringDay

5.0
Komentar
612
Penayangan
9
Bab

"Kalau Ana seiman dengan kita mas Azam dulu akan menyukainya? Atau bahkan menikahinya?" Alisya dan Azam saling menatap. Ya, pernikahan mereka masih hangat, baru beberapa bulan berjalan. Azam menikahi Alisya karena saran ibunya, alasan kedua adalah karena Kasihan pada Alisya. "Apakah aku harus menjawab?" Azam membalas dengan tatapan tajam. "Aku ini istri Mas Azam sekarang!" "Kamu mengatakan hal itu dengan bangga? sedaangkan aku menikahimu hanya karena rasa kasihan dan iba!" Suatu hari, Azam menuruti saran sang ibu untuk menemui Alisya. Namun dihari itu Azam datang diwaktu yang tidak tepat, hari itu Ayah Alisya meninggal. Azam yang melihat tangisan Alisya ikut merasakan kesedihan gadis itu, gadis bermata teduh, yang menumpahkan segala kesedihanya di bawah air hujan. Hari kematian Ayah Alisya adalah awal pertemuan mereka. Azam adalah pria dingin, tidak mudah didekati. Namun sebenanrya dia anak yang sangat patuh terhadap kedua orang tuanya! Sebelum Azam bertemu dengan Alisya, ia sudah mengenal Anna. Gadis yang juga menarik hatinya, gadis yang berkuliah di kampus yang sama. Gadis itu tidak seiman denganya, utnuk itulh Azam memiliki batasan dengan Anna. Namun setelah menikah mereka masih sering bertemu, terlebih penyakit yang diderita Anna membuat Azam perhatian dengan gadis itu. Lalu bagaimana dengan Alisya yang terus berjuang mempertahankan pernikahanya, akankah Azam perlahan juga menaruh rasa padanya?

Bab 1 1.Pernikahan

Shubuh.

Sebelum adzan subuh berkumandang, Azam sudah menggelar sajadahnya. Memakai baju muslim rapi ia melakukan sholat malam, sholat istikharah, meminta petunjuk.

Bayangan tangisan Lisya hari itu belum juga hilang dari ingatanya. Rasa kasihan Azam membuat ia mengambil keputusan ini. Ya karena kasihan.

Ia memperlama sujudnya, membaca doa demi doa.

"Aku belum pernah melihat tangisan sedalam itu,tatapan mata yang begitu menarik rasa ibaku dengan kuat. Mata gadis yang berderai di balik hujan itu..kekuatan apa yang dimilikinya sehingga bisa membuat hatiku turut merasakan kesedihanya."

Tanya Azam disela doa-doanya.

***

Sarapan pagi.

"Azam, Lisya langsung menerima tawaran kita. Dia menerima lamaran keluarga kita." Kata Ibu dengan lembut.

Azam meletakkan sendoknya, makanan terakhir sarapan pagi. Ia mengunyah dan segera menelan. Sambil mengelap bibirnya dengan tisu, Azam mengangguk.

"Apa yang membuat gadis itu yakin?"

"Karena dia mengenal ibu dengan baik, dia mengambil keputusan itu karena ia percaya dengan ibu. Jadi ibu harap kamu juga bisa menjaga kepercayaanya."

Azam hanya menatap Ayah dan ibunya.

"Kak Azam menikah? Dengan siapa?"

Tanya Fariz yang sejak tadi memperhatikan, ia sontak berdiri memandang semua orang.

Bu Salamah mengangguk.

"Dengan gadis pilihan ibu." jawab bu Salamah.

"Pilihan ibu?" Tanya Fariz lagi, satu gorengan masuk kedalam mulutnya.

"Kak, siapa gadisnya? Dari kalangan mana? Keluarga mana? Apakah kita mengenalnya?"

"Aku mengenalnya, kalian belum." Jawab Bu Salamah.

"Kak, kalau bisa Azam menikah dengan gadis yang sepadan denganya. Zaman sudah modern begini, tidak mungkin kan Azam yang luar biasa seperti ini dapat gadis sembarangan!"

Bu Herawati menggebu-gebu, melontarkan pendapatnya yang bertolak belakang.

"Wati, aku tidak pernah memandang status manusia. Yang penting sama-sama sehat dan baik hatinya." Ucap bu Salamah.

"Hati manusia siapa yang tahu kak!" Wati ingin meneruskan kata-katanya. Tapi pak Aziz sebagai pemimpin rumah sudah berdiri. Menggeleng kepala.

"Berhenti berdebat. Atur tanggal pernikahanya saja!"

Azam ikut berdiri, meninggalkan piringnya yang sudah kosong. Dan meninggalkan semua orang disana.

Hari Pernikahan.

Dua manusia akan dipersatukan oleh ikatan pernikahan.

Disalah satu gedung, pernikahan Azam Yusuf Farabi dan Kamaira Lisya sedang berlangsung.

Sebelum acara.

Azam duduk disebuah kursi, ruang pengantin pria. Berpakaian sangat rapi. Ia duduk menyilangkan kakinya.

Pernikahan hampir dimulai, ia semakin bimbang saja, setan sepertinya tak berhenti membisikkan kalimat buruk.

Padahal kalau hanya menikah karena kasihan kan ia bisa melakukan cara lain, kenapa nekat menikahinya. Hatinya memang kalut di hari itu, begitu tahu Anna berbeda keyakinan denganya, datanglah tawaran ibu yang beberapa kali ia tolak dan benar saja. Lisya akhirnya akan menjadi bagian keluarga Farabi.

"Kak."

Fariz memasuki ruangan, tersenyum sangat cerah.

"Tampan sekali kakak sekarang. Deg-deg an ya menghafal ijab Qabul?"

"Cih..." Azam membuang muka.

"Atau kakak perlu catatan..hehehe aku buatkan kalau mau."

Azam masih membuang muka.

"Ijab Qabul bisa di hafal, ringan diucapkan,tapi bersamaan dengan tanggung jawab kakak akan bertambah pula. Tapi kalau kalian berhasil membinanya pahala kalian juga akan mengalir deras."

Fariz duduk di depan kakak sepupunya itu, memandang sekilas.

"Kak..Kak Anna bagaimana? Apa dia tahu?"

Azam menggeleng. "Akhir-akhir ini kita sibuk, aku jarang membalas chatnya. Aku juga tidak memberitahu mengenai pernikahan ini. Mungkin dia akan dengar dari orang tuanya."

Fariz mengangguk, menatap ragu Azam sekarang. Kakaknya itu beberapa kali bilang pergi kesana dengan Anna, besok dengan Anna lagi, lusa dengan Anna lagi.

"Dia, bukan seorang muslimah." Ucap Azam.

"Benarkah?" Fariz kemudian berpikir sejenak. Tembok yang menghalangi Azam dan Anna memang sangat tinggi dan susah ditembus.

"Apa kakak menyukai kak Anna?" Tanya Fariz.

Azam menggelengkan kepala.

"Jika dibilang suka aku tidak ada perasaan mengenai dirinya. Apalagi setelah tahu perbedaan kami. Aku hanya menganggapnya teman. Dia hanya, sangat menarik dari segi manapun." Ucap Azam.

"Pernikahan ini aku rasa keputusan yang tepat kak, semoga kakak bahagia bersama istri kakak."

"Fariz, Bagaimana jika aku salah mengambil keputusan. Bagaimana jika ternyata nanti kami tidak bisa mempertahankan ikatan ini?"

"Astagfirullahaladzim.. berhenti berpikiran seperti itu kak. Ini sudah kurang dua jam lagi, jangan bimbang. Mantapkan hati kak Azam. Ingat lagi apa yang membuat kakak ingin menikahinya kemarin!"

Pasrah. Azam mengangguk.

**

"Lisya..kamu baik-baik saja kan?" Tanya Putri disisi kanan Lisya, merangkul sahabatnya erat-erat. Setelah satu bulan kematian ayah Lisya, ia memutuskan menerima lamaran bu Salamah atas nama putranya.

"Aku tidak tahu..sebenarnya aku sedikit takut." Bisik Lisya.

"Tenang, tetaplah berpikir positif ada aku kalau kamu kesulitan nanti."

Lisya tersenyum membalas ucapan putri.

"Kamu cantik sekali nak." Ibu menatap wajah putrinya, dalam bayangan cermin. Dengan jilbab dan gaun putih yang dikenakan putrinya, riasan kalem dengan bibir warna pink muda. Bukan main cantiknya Lisya sekarang.

"Suamimu akan cepat jatuh cinta dengan wajahmu ini." Putri ikut menimpali.

"Terimakasih, sudah mau mengikuti nasehat dan saran ayah ya." Ucap bu Siti yang kini juga mengenakan baju formal acara pernikahan putrinya.

Lisya mengangguk, entah harus sedih atau senang sekarang.

"Assalamualaikum." Bu Salamah datang dengan rombongan yang membawa banyak bingkisan untuk Lisya.

"Sudah nak persiapannya?" Tanya bu Salamah.

Lisya tersenyum. "Sudah bu."

"Sebentar lagi acara akan dimulai, bersiap ya. Jaga doa selalu." Bu Salamah mengusap kepala Lisya menunjukkan kasih sayangnya.

Putri di pojok kamar menepuk pipinya, ingin menangis, sedih, bahagia. Tidak tahu juga.

"Ibu berdoa, semoga calon suamimu memiliki hati yang lembut, penyabar, dan soleh seperti didikan bu Salamah yang ibu lihat. Semoga kalian perlahan bisa saling mencintai."

Lisya hanya bisa menatap kosong dirinya, pantulan wajahnya yang sudah berhias serasa percuma kalau hatinya tidak bahagia.

Hari ini ia tahu, nama lengkap suaminya. Azam Al-Mumtaz, berkali-kali nama lengkap itu ia ucapkan dalam hati, ia susun ia ulangi lagi menyebutnya. Tidak salah teman-temanya dulu mengira nama bu Salamah adalah Mumtaz karena memang namanya. Namun ia juga tahu, bu Salamah dan keluarga disini memanggil pria itu dengan nama depanya. Azam.

Bergetar hati Lisya sekarang. Seperti apa calon suaminya itu, apa seperti yang dibilang teman-temanya. Apa pujian teman-temanya dulu tentang anak bu Salamah tidak salah. Bahkan beberapa temanya bermimpi ingin menikah dengan pria seperti Yusuf ini.

Lisya mengharap cemas sekarang. Ia kembali teringat akan ayahnya.

Keringat dingin mulai membasahi tubuh, karena gugup. Apalagi saat microphone menyala. Suara Pembawa Acara mulai terdengar.

Calon suaminya akan mengucap ijab Qabul diluar sana. Kemudian ia akan keluar menunjukkan wajahnya di depan semua orang termasuk suaminya. Lisya sekarang menarik nafas dalam-dalam. Ia meremas tanganya karena gugup.

Putri dan ibunya menunggu di samping begitu pula tamu lain yang menemaninya di ruangan ini.

Acara demi acara mulai terlewati. Suara penghulu mulai terdengar, setelah ini pasti suara Azam akan terdengar.

Lisya mendongak. Pria itu mulai bersuara, lagi dan lagi seluruh tubuhnya bergetar hebat.

"Saya terima nikahnya Zaalima Alisya binti..."

Di Ruangan ini air mata Lisya mulai berlinang, begitupun ibunya pipinya sudah bersimbah air mata. Saat nama lengkap ayahnya disebut, air mata Lisya kian tak terbendung.Berderai bersamaan.

Lisya meremas kerudungnya, tanganya mengepal di dada. Tisu yang sudah basah dan hampir hancur digenggaman Lisya terjatuh.

Semua orang dibawah mendengarkan seksama doa dari Pak Aziz sendiri, semua orang mengucapkan amiin..amiin, semoga dikabulkan.

Ijab Qabulnya berjalan dengan lancar. Saatnya ia keluar dan bertemu para tamu.

Pengatur acara sudsh mengirim orang untuk menjemput Lisya. Ibunya memberikan setangkai bunga yang sudah disiapkan.

"Ibu..." lirih Lisya. Dan ibunya mengangguk, menuntun Lisya untuk keluar ruangan.

Pelan-pelan, Lisya menuruni tangga. Gaun putih yang menjuntai terseret oleh kakinya. Dengan kerudung putih juga, Lisya turun bertemu dengan wajah semua orang.

"Masha Allah..Masha Allah..Ya allah." Suara pak Aziz dan Bu salamah bergantian. Begitupun Fariz yang melihatnya.

"Itukah kak Lisya?" Lirih Fariz disamping Azam.

"Hm.."

Azam menatap gadis yang turun dari tangga. Wajahnya bersinar, tersenyum begitu tulus. Sisa sayu di mata Lisya kini tertutup oleh kecantikanya.

Tidak ada ekspresi dari wajah Azam tetap sama, datar. Ia hanya ikut terhanyut sejenak tapi kemudian kembali sadar, meskipun wajah sedih Lisya tidak nampak. Tapi tetap saja, bagi Azam istrinya itu masih meratapi kesedihan yang sama.

Lisya menelan ludah, saat ia menemukan pengantin pria itu adalah yang kemarin yang mobilnya ia tabrak.

Bapak-bapak, pria tampan yang kemarin. Dia adalah..suamiku sekarang??

Bu Salamah menjemput Lisya menggandeng tangan gadis itu.

"Azam, Lisya sangat cantik kan?"

Azam hanya menatap sekilas, ia kemudian mengangguk.

"Lisya, sekarang dia adalah suamimu." Ucap bu Salamah.

Lisya menatap wajah suaminya. Dia benar-benar setampan yang orang-orang bilang.

Sambil mengulurkan tangan, Lisya mendekat mengulurkan tanganya.

Azam diam tanpa ekspresi, meskipun sudah menatap istrinya lebih dari sepuluh detik ia tetap tidak tersenyum. Ia mengulurkan tangan, membiarkan Lisya mencium punggung tangannya.

Apa dia tidak mengenalku? Batin Lisya sekarang. Kekhawatiran tadi sudah menguap entah kemana.

Semua tamu bersorak ria,bertepuk tangan. Meskipun hanya tamu dari keluarga dekat tapi ini lebih dari cukup. Kata bu Salamah kedepannya jika Lisya ingin bisa dimakan pesta yang lebih bagus dan meriah lagi. Mengingat Lisya masih berduka karena kehilangan ayahnya, rasanya tidak pantas kalau menggelar acara besar-besaran.

"Sepertinya aku mengenalmu, matamu sepertinya kita pernah bertemu sebelumnya?"

Ucap Azam mengejutkan Lisya disana.

*

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku