Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
CEO Bermuka Dua Paling Kuat

CEO Bermuka Dua Paling Kuat

MegaKembar

5.0
Komentar
40
Penayangan
7
Bab

Dihina karena memiliki paras jelek, miskin, bodoh dan penyakitan, Arkana bangkit kembali untuk membalaskan dendam pada mantan kekasihnya, Felicia yang dulu meremehkannya. Dengan kemampuan unik berupa kebal terhadap rasa sakit, Arkana akan membuat hidup semua orang bagai di Neraka. Akankah Obsesi Cintanya pada Felicia akan membawa kemenangan pada rencana balas dendamnya? Atau justru menjadi boomerang

Bab 1 Miliarder Bermuka Dua

"Kenapa kamu menolak cintaku?"

Tidak sedikit pun Arkana melepaskan pandangan dari wanita berseragam pelayan Minimarket di depannya.

Dialah NAYLA PRADITA, gadis berusia 23 tahun yang kini terlihat gugup dan gelisah. Raut wajahnya jelas mengernyit jijik. Namun, Arkana pura-pura tak tahu. Itu semua demi kelancaran misinya.

"Apa karena aku ini jelek dan miskin?"

Sekali lagi, Arkana mendesak Nayla agar segera menjawab pertanyaannya. Tidak sedikit pun pandangan teralihkan dari gerak-gerik sang gadis yang menjadi rekan kerjanya selama dua bulan ini.

"Ng---bukan seperti itu, Akmal. Aku hanya ... hm ... itu aku ...."

Kegugupan itu membuat Arkana semakin yakin akan tebakannya sendiri. Bahwa alasan Nayla tak menerima cintanya karena alasan fisik.

Senyum canggungnya itu tak bisa disembunyikan. Namun, untuk kesekian kalinya Arkana bersikap naif.

"Itu apa, Nay? Tolong, jawab pertanyaanku."

Arkana mencoba menggenggam tangan Nayla yang segera mundur. Alhasil hanya kekosongan udara yang diraih olehnya.

"Kenapa?" lirih Sang CEO masih berakting. "Bukankah kita ini sudah dekat? Kenapa kamu tidak mau menerima cintaku?"

Dapat Arkana lihat Nayla menghela napas panjang. Gadis itu tidak lagi menyembunyikan kekesalannya. Dengan nada tajam menegaskan, "Aku sedang tidak ingin menjalin hubungan, Akmal. Bisakah kamu mengerti?"

"Tapi kenapa? Apa alasannya?" tanya Arkana memaksa. "Bukankah usiamu sudah legal untuk memulai komitmen yang serius?"

"Tidak. Masih banyak hal yang ingin aku capai."

"Seperti apa?"

"Ya ... itu, hm ... Bekerja di Perusahaan terkenal."

"Begitu." Arkana bergumam tanpa ekspresi.

"Tapi benar alasannya bukan karena fisik dan status sosialku?" tanyanya lagi. "Karena jika benar seperti itu, aku akan sangat kecewa."

Arkana yang sedang dalam penyamaran versi Akmal itu tertunduk, berpura-pura menyedihkan. Dengan rambut ikal berantakan, kulit kusam, wajah berminyak dan kacamata tebal, itulah penampilansudah cukup mengidentifikasi sebagai seorang yang culun dan cupu tanpa harta berlimpah.

Sekali pandang saja orang lain akan mengira Arkana berasal dari kalangan rakyat jelata. Bahkan di tempat kerjanya sekalipun, dia selalu di tempatkan di bagian gudang. Berbeda dengan Nayla yang bertugas di bagian depan. Entah, itu

"Hahaha, kamu ini berbicara apa, Akmal? Semua manusiakan sama. Ada-ada saja kamu ini."

Kenyataan tawa tak bernada dari Nayla itu membuat emosi Arkana semakin menggelegak. Sudah jelas terbukti dari tingkahnya yang enggan menatap balik dirinya, Nayla tengah menyembunyikan kebenaran.

Untuk kesekian kalinya Arkana mendesak, mencoba memberikan satu kesempatan lagi pada Nayla dengan membujuk. "Tapi Nayla, aku sangat mencintaimu. Tidak bisakah kita mencoba dulu? Aku berjanji tidak akan menganggu impianmu."

"Jangan keras kepala, Akmal," bentak Nayla.

"Akukan sudah bilang, aku tidak mau berkomitmen dulu. Aku masih ingin mengejar karierku tanpa memikirkan kekasih. Tolong, jangan memaksaku! Atau aku akan membencimu."

Ancaman itu membuat Arkana terdiam sejenak, lalu mengembuskan napas pelan. "Baiklah. Aku hargai keputusanmu, Nayla. Terima kasih atas waktunya. Kuharap setelah ini kamu tidak akan pernah berubah pikiran dan tetap pada komitmenmu ini."

Dapat Arkana lihat alis Nayla menukik tajam, isyarat bahwa dia kebingungan akan inti pertanyaan tadi. Namun, alih-alih menggali lebih dalam, gadis berlesung pipi itu mengambil keputusan.

"Tentu saja. Aku tidak akan menyesali apapun."

"Bagus, itu lebih baik."

Arkana berbalik untuk kembali ke Minimarket tempat mereka bekerja. Namun, langkah kakinya terhenti oleh panggilan Nayla.

"Tunggu, Akmal! Kamu mau ke mana?"

"Ke Kasir. Hari ini Pak Anton memintaku berjaga di depan menyambut pelanggan. Kamu sendiri bagian bertugas di Gudang, bukan?"

Arkana balik bertanya dengan tatapan mata terus tertuju pada Nayla yang kembali gelisah. Dia pun menjawab gugup.

"Be---benar. Tapi bisakah kita berganti ship lagi?" pinta Nayla memelas.

"Kamu-kan tahu pekerjaan di gudang itu berat-berat. Aku tidak sanggup. Lagi pula Pak Anton lebih senang jika aku yang berjaga di depan, bukan?"

Arkana tidak langsung menjawab, membiarkan keheningan mengambil alih selama beberapa detik sampai Nayla kembali memohon. "Ayolah, bagian ini lebih cocok jika dikerjakan olehku."

"Hm, baiklah. Selamat tinggal, Nayla," pamit Arkana berlalu pergi dari hadapan Nayla untuk mengamati di tempat tersembunyi.

Saat itulah, Nayla mencelanya. "Dasar pria aneh! Siapa yang mau memiliki kekasih buruk rupa sepertimu! Miskin pula! Tidak berguna. Memang, ya manusia tidak tahu diri, dibaiki sedikit malah melunjak."

Kepergian Nayla dari lokasi kejadian terus diamati oleh Arkana yang bergumam.

"Yeah. Let's start this game."

***

Seorang pria dengan stelan jas mahal berjalan memasuki Minimarket. Rambut pendeknya tertata ala aktor dari Negeri Ginseng.

Dia sangat tampan dan rupawan. Gaya berpakaiannya pun trendy dan modis, ditambah fitur wajah yang sempurna dengan hidung mancung, kulit putih, dagu lancip, pipi tirus dan sorot mata tajam berwibawa.

Sungguh, kharisma yang menyilaukan.

"Oh My God ... Itu pria yang kini lihat Minggu lalu."

Begitu Si Pria sampai di bagian Kasir, dia langsung disambut dengan pekikan rekan kerjanya, Devi yang berbisik ria pada Nayla.

Dilihat dari pancaran mata gadis yang menolak Arkana tempo hari, jelas dia pun terpesona.

Diam-diam Si Pria yang tak lain adalah Arkana menyeringai keji. 'Kena, deh. Sekarang kita lihat apakah komitmen itu masih berlaku.'

Dengan mengabaikan reaksi kedua teman kerjanya yang sama-sama membeku dan terbengong-bengong ria, Arkana menggerakan tubuhnya lebih dekat dengan Sang Target yang telah ditandai.

Sementara itu, melihatnya mendekat, Devi dengan hebohnya menarik-narik tangan kanan Nayla dan mengguncangnya sambil berbisik yang seperti bukan bisikan karena Arkana jelas dapat menangkap semuanya.

"Dia kesini ... dia kesini ...."

"Berisik! Jangan norak, Dev. Nanti dia ilfil," tegur Nayla lalu tersenyum manis menatapnya sambil berkata. "Ada yang bisa kami bantu, Tuan?"

Arkana membalas senyum itu. Meski dalam hati dia tak rela melakukannya. Namun, ini semua demi melihat akhir dari Game yang telah dimainkan lebih dari dua bulan ini.

"Benar, aku butuh bantuan kalian."

Dengan suara gagah perkasa, Arkana menjawab. Tindakan kecil itu cukup untuk menuai reaksi fansgirl yang semakin membabi-buta saat dia mulai melancarkan rayuan.

"Tapi aku tidak membutuhkan 'Kami'. Aku hanya memerlukan 'dirimu' seorang, Nona Cantik."

"Ma---maksud Anda apa, Tuan?" tanya Nayla tersipu malu dengan suara terbata-bata.

Melihat kegugupan Arkana terkekeh puas. "Aku yakin kali ini tidak akan ditolak lagi."

"Maksudnya, Tuan?"

Arkana menggeleng. "Tidak ada. Aku hanya mengatakan sudikah Nona Cantik ini berkencan denganku. Kita mungkin bisa menjadi sepasang kekasih yang berbahagia. Apakah Nona bersedia?"

"Aaaaa____"

Kegugupan yang semakin melesat tajam itu membuat Arkana ingin tertawa terpikal-pikal, terlebih saat melihat Nayla yang saking kagetnya sampai tidak bisa berkata-kata. Berniat untuk kembali membuka kedok busuknya, Arkana melanjutkan.

"Oh, aku ditolak lagi, ya? Tidak masalah untukku karena tawaran berlaku untuk Nona di sebelahnya. Apa kamu senggang malam ini, Devi?"

Arkana melirik Devi. Dengan sengaja menyebut namanya, karena jika kedua gadis di depannya ini lebih jeli dan waspada pada sekitar, mereka pasti akan mempertanyakan alasan Arkana mengetahui nama Devi. Namun, keduanya sama saja. Mereka lengah.

"Tentu, saya ma____"

"Devi sibuk. Biar saya yang menemani kencan Anda. Dengan senang hati saya bersedia menjadi kekasih Anda, Tuan."

See?

Mereka malah saling berebutan dan mendorong satu sama lain untuk menyingkir. Namun, dibandingkan Devi, Arkana lebih memilih Nayla, karena sejak awal dalam versi Akmal pun Devi sudah memusuhinya, berbeda dengan Nayla yang pandai bersandiwara.

"Baiklah. Sampai jumpa nanti malam, Honey?!"

Arkana mengecup sekilas punggung tangan Nayla setelah menyerahkan sebuah kertas berisi alamat tempat pertemuan mereka. Setelahnya lalu pergi ke luar Minimarket, dia benar-benar mengabaikan teriakan Nayla yang bertanya.

"Ah, Tuan. Tunggu! Nama Anda siapa? Itu tidak tertulis di sini!"

***

Tidak terasa Senja pun berlalu digantikan dengan binar kebiruan yang lalu berubah menjadi hitam pekat, menandakan waktu terus berlalu.

Seperti yang dijanjikan tadi siang, Arkana tengah bersiap untuk menjalankan rencananya. Namun, berbeda dengan penampilan sebelumnya yang terkesan tampan, kini Arkana memoles wajahnya dengan bedak khusus berwarna kecoklatan.

Tidak lupa Arkana pun menggambar bintik-bintik hitam menyerupai noda wajah. Lalu, terakhir menggunakan rambut rambut palsu ikal yang kusam.

Setelah puas dengan tampilan versi Akmal, Arkana melesat menuju tempat perjanjian. Sampai di tempat tujuan, berbagai macam ekspresi tertuju padanya.

Ada yang melongo ....

Terkejut ....

Terpana ....

Melotot ....

Dan berbagai reaksi ketidak percayaan yang lain. Salah satunya datang dari orang yang diharapkan. Di sana berdiri Nayla yang tertegun, menatap horor dirinya. Arkana pun berjalan mendekat.

"Ka--kamu ...." tunjuknya gagap. "Ti--tidak mungkin!"

Lalu, penolakan untuk mengakui bergema hebat, Arkana pun semakin terhibur saat Nayla menggeleng panik dan berteriak. "Mustahil kamu pria yang tadi siangkan, Akmal?"

Pertanyaan itu melayang dengan tangga nada yang tinggi. Bahkan raut wajah Nayla pun mengkonfirmasi kemarahan serupa. Meski ada sedikit ketakutan dalam sorot matanya. Namun, tak ada jalan kembali. Dengan tenang Arkana pun membalas.

"Hm ... menurutmu sendiri bagaimana?"

Bukannya menjawab Arkana justru balik bertanya, membuat geraman itu tak terelakan.

"Ini tidak lucu, Akmal! Apa maksud semua ini? Kamu menipuku?"

"Menipumu?" Arkana tertawa sinis. "Bukannya kamu yang menipuku lebih dulu, Nayla?"

"Apa maksudmu? Aku tidak pernah_____"

"Pernah!" potong Arkana menatap tajam. "Jujur saja kamu baik padaku hanya untuk memanfaatkan kinerja dan uang gajianku, bukan?"

"Aaaa---itu...."

"Itu apa? Ayo, katakan! Sudah berapa kali kamu meminjam uangku dan meminta untuk bergantian Ship?"

Arkana menuding Nayla dengan tidak hormat, menunjuk-nunjuk wajahnya untuk lebih mempermalukan di hadapan khalayak ramai yang kini menonton sambil berbisik-bisik mencemooh.

"Kamu bilang Pak Anton yang menyuruh?" Arkana tertawa sinis kala mengingat

"Yang benar, Hoi! Dia saja mati gaya saat aku mengajukan diri untuk menjadi pelayan Minimarket."

Dapat Arkana lihat Nayla kehabisan kata-kata, bahkan sebelum bisa membela diri. Ya, memang tidak ada lagi yang bisa diperbaiki. Faktanya sikap Nayla memang busuk, racunnya lebih mematikan dari ular berbisa.

"Kenapa diam? Kamu malu belangmu sudah ketahuan? Dasar, Wanita Ular!"

Arkana meludah jijik. Sungguh, dia tidak terkesan meskipun kini Nayla meneteskan air mata akan penghakiman bertubi-tubi yang menyerangnya.

"Hiks, kamu jahat sekali, Akmal! Aku bersumpah akan membalas rasa sakit hati ini!"

Setelahnya Nayla berlari meninggalkan Arkana yang tersenyum penuh kemenangan.

"Aku lebih membencimu, Nayla. Jangan kira aku tidak tahu. Dalang yang membuatku dibenci oleh para pegawai lain adalah karena kamu terus menjatuhkan citraku seakan-akan akulah yang jahat."

Malam pun berlalu dengan Arkana yang menatap sendu langit tanpa bintang.

"Game Over lagi, ya?"

***

"Hei, Faza! Tumben kau nongkrong di sini? Biasanya sibuk dengan dunia sendiri," tanya James pada Arkana yang sibuk memainkan ponselnya.

Setelah meninggalkan taman kota, Arkana memang memilih untuk bersantai di markas Geng-nya. Tentu saja, dia melakukan itu setelah melepas riasan make up versi Akmal.

"Ayo, jangan mengabaikan begitu!"

Sambil merengek James mengguncang-guncang bahu kerasnya. Dengan amat terpaksa, Arkana pun memusatkan perhatian pada si pria bersurai merah yang menjadi teman kuliahnya dulu.

"Sedang ingin saja. Aku bosan di rumah."

Pada akhirnya Arkana memilih jawaban setengah berbohong. Bukan dia tidak percaya pada lingkungan oertemanannya, hanya saja Arkana terlalu malas untuk mengungkap perihal masalah hati.

"Pasti lagi ada masalah perusahaan, ya?" tebak Rion sambil menunggu game selesai loading. Di sisinya terdapat banyak makanan ringan yang sesekali dicomot oleh James.

"Ya, begitulah. Aku istirahat dulu."

Arkana beranjak pergi menuju salah satu ruangan yang menjadi tempat pribadinya. Benar-benar mengabaikan teriakan dan kegaduhan yang ditimbulkan oleh ketiga temannya.

Bagaimanapun suasana hati Arkana sekarang tidak mendukung untuk bergabung dalam kesenangan mereka.

"Wah, sepertinya dia akan semedi lagi."

Cibiran James dihadiahi lemparan bungkus snack oleh Rion, sedangkan teman mereka yang lain hanya menatap pintu tertutup dengan pandangan sulit diartikan.

Sementara itu, Arkana kini tengah menyandarkan diri di penyangga kursi sambil memejamkan mata perlahan. Raut wajah pria tampan berusia 27 tahun itu jelas dipenuhi kekalutan.

Saat dia membuka mata, manik tajamnya menatap kosong langit-langit ruangan. Hal itu memberi kesan menerawang jauh.

"Katakan! Kapan aku bisa bertemu dengan wanita sepertimu lagi?" gumam Arkana melirih.

"Apakah dunia ini hanya berisi wanita perundung? Ke mana perginya Sang Pahlawan?"

Sang CEO Muda sibuk bernostalgia sambil memikirkan sesosok gadis yang dulu pernah menemaninya.

"Ah, tidak. Kamu juga sama seperti mereka. Kamu membully-ku. Aku sangat membenci kenyataan itu. Tapi aku ...."

Arkana mendengkus mentertawakan kebodohannya sendiri. Seharusnya dia tidak perlu merindukan gadis yang telah membuangnya seperti sampah hanya karena alasan sepele seperti finansial.

Dengan mengepalkan tangan erat di atas meja, Arkana mendesis tajam. "Di mana kamu, Felic?" gertaknya

"Jangan jadi pengecut dengan bersembunyi dariku. Keluarlah, Sialan!"

BRAK!

Bersambung.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh MegaKembar

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku