/0/24872/coverorgin.jpg?v=032e324468bb6285672c751841582adb&imageMogr2/format/webp)
Di tengah ratusan makam umat manusia, seorang wanita muda sedang terisak di depan pusara yang masih basah. Tangisnya terdengar begitu memilukan, sesekali ia menyebut kata ‘papa’ dengan lirih. Mengusap-usap papan nisan yang bertuliskan nama ‘Firman’ itu.
“Sudahlah, Alin! Tidak usah lebay, papamu itu memang sudah pantas mati. Hidup pun tidak berguna, hanya akan menyusahkan saja.” Heera berkata dengan pedas.
Ucapan Heera sangat melukai perasaan Alin. Laki-laki yang dimaki itu adalah orang yang paling berharga bagi Alin.
“Kenapa tante berbicara seperti itu? Yang meninggal ini papa aku tant, papa kak Friska juga. Suami tante!” ucap Alin dengan suara serak.
Sejak Firman dinyatakan meninggal, Alin tak henti-hentinya menangis. Ia benar-benar sudah tidak memiliki sandaran dalam hidup. Pertama, sang mama yang hilang tanpa kabar berita sejak ia berusia 7 tahun. Tidak ada yang tahu bagaimana keadaan mama Alin—Nuri sampai saat ini. Kini, sang ayah juga pergi meninggalkan Alin selamanya. Rapuh! Itulah yang dirasakan oleh Alin sekarang.
“Papa sudah bangkrut. Jadi tak ada gunanya hidup,” sahut Friska yang sibuk memerhatikan kukunya.
“Kalian memang manusia tidak punya hati, apa hanya harta yang ada di dalam benak kalian?” sergah Alin.
Alin tidak terima orang yang ia sayangi dihina oleh orang lain. Terlebih lagi oleh keluarga sendiri.
Alin dan Friska merupakan saudara tiri, sedangkan Heera adalah ibu tiri Alin.
“Jangan sok suci kamu! Semua orang butuh uang untuk bertahan hidup,” hardik Heera.
“Biarkan saja dia di sini, Ma! Lebih baik kita pulang,” ajak Friska.
Mereka meninggalkan Alin seorang diri, ntah bagaimana ia akan pulang nanti.
Hampir satu jam Alin duduk menatap kosong gundukan tanah itu, ia masih belum percaya sang papa tidak lagi ada di dunia.
Saat matahari mulai turun, Alin berpamitan pada papanya. Ia berusaha untuk mengikhlaskan agar Firma bisa tenang di alam sana.
“Assalamualaikum!” Langkah Alin terhenti ketika mendapati dua orang laki-laki berbeda usia sedang bergabung dengan kakak dan tantenya.
Tak ada yang menjawab salam Alin, dua orang pria asing itu malah fokus memerhatikan Alin dari atas ke bawah.
“Kamu siapa? Kenapa sangat mirip dengan Firman?” tanya pria paruh baya.
“Saya Alin, Om. Salah satu putri papa,” jawab Alin sopan.
Sok manis banget, sih. Batin Friska.
“Mari duduk!” ajak Riga.
Alin memilih duduk di sofa single yang berada di antara mereka.
“Tuan ada keperluan apa kemari?” tanya Heera mengalihkan pandangan Riga.
“Sebelumnya saya minta maaf, jika yang saya sampaikan nanti kurang berkenan.
“Namun, apa yang akan saya katakan merupakan janji kami dulu—
Riga menjeda ucapannya, ia menelisik satu persatu ekspresi para wanita itu.
“Saya dan Firman pernah berjanji untuk menjodohkan putra-putri kami setelah dewasa,” lanjut Riga.
Mendengar penuturan Riga, Heera dan Friska saling pandang. Mereka seperti mendapatkan angin segar untuk mempertahankan predikat orang kaya.
Mereka dapat memastikan jika pasangan ayah dan anak di hadapan mereka merupakan orang terpandang. Apalagi, Friska sejak awal sudah tertarik pada putra Riga. Meskipun terlihat dingin, ia begitu memesona di mata Friska.
“Saya tidak keberatan, Tuan. Bila perlu pernikahan dilaksanakan segera,” jawab Heera antusias.
Dasar gila harta! hardik Evano—putra Riga dalam hati.
Riga hanya tersenyum tipis, “Maaf nyonya! Tapi putri anda ada dua, siapa yang akan dinikahkan dengan putra saya, Evano?”
Riga sangat berharap Alin yang akan menikah dengan Evano. Meskipun baru kali ini bertemu dengan putri-putri dari sahabatnya itu, Riga dapat menilai Alin jauh lebih baik dari Friska.
“Jelas Friska lah, Tuan!” cetus Heera merangkul sang anak.
Mendengar jawaban Heera, Alin hanya diam saja. Ia juga tidak berharap menikah karena perjodohan. Alin memiliki mimpi bisa menghabiskan sisa hidup dengan pria yang mencintai dan menerima ia apa adanya.
/0/3097/coverorgin.jpg?v=7ef0508c8c95b2cdf07975a973103fcf&imageMogr2/format/webp)
/0/5311/coverorgin.jpg?v=59b60b7841882e7d86a3a9bf8a621b1c&imageMogr2/format/webp)
/0/20364/coverorgin.jpg?v=60cce906eb063103581e7133cb34449c&imageMogr2/format/webp)
/0/9012/coverorgin.jpg?v=f260db6223f210b09f9a147b67e089a0&imageMogr2/format/webp)
/0/5830/coverorgin.jpg?v=d8f75d2c907f8de2d4767cfea49bce0d&imageMogr2/format/webp)
/0/2717/coverorgin.jpg?v=64c442755da9ee07da24919e70fdd390&imageMogr2/format/webp)
/0/23567/coverorgin.jpg?v=9a8ed5028fee34ee4ecfd7647d1db02a&imageMogr2/format/webp)
/0/16399/coverorgin.jpg?v=1e15c1b5d5554d21af64e257ce86aabf&imageMogr2/format/webp)
/0/17032/coverorgin.jpg?v=66b37eb8b1c7502e6e58caeab2c07925&imageMogr2/format/webp)
/0/19903/coverorgin.jpg?v=40bdb6995faa3cfc90193fe0ec8af057&imageMogr2/format/webp)
/0/18319/coverorgin.jpg?v=8658d886ce623d3b85471d091e38e670&imageMogr2/format/webp)
/0/4932/coverorgin.jpg?v=1f82d8a484a698b61660562affa2c593&imageMogr2/format/webp)
/0/2455/coverorgin.jpg?v=2c8a7b723e48a4f2527f44499f8fb291&imageMogr2/format/webp)
/0/10937/coverorgin.jpg?v=95294e4cff5a968434adf67880f651ef&imageMogr2/format/webp)
/0/7624/coverorgin.jpg?v=0410042db671154295af3e6899b3452a&imageMogr2/format/webp)
/0/27795/coverorgin.jpg?v=0afa9402bd1af0c73652b3de5c7588c0&imageMogr2/format/webp)
/0/18164/coverorgin.jpg?v=35c68854b15b7735abe204e6bbd48ada&imageMogr2/format/webp)
/0/14222/coverorgin.jpg?v=f38c423e0a6e5a8941e3c9af64fe2f85&imageMogr2/format/webp)
/0/2662/coverorgin.jpg?v=01b14c6d7af7cd05447318af8fafabd8&imageMogr2/format/webp)
/0/18149/coverorgin.jpg?v=ce5e371452e62983befb8ab77b2a6654&imageMogr2/format/webp)