Tantri harus kehilangan hartanya karena hutang suami yang lari bersama dengan wanita selingkuhannya. Miris dan pilu mewarnai kisah Tantri. Akankah dia bahagia atau malah sebaliknya?
***
Aku terhuyung ke belakang, beruntung di belakangku ada sebuah kursi sehingga aku tidak jadi jatuh. Aku menangis sejadi jadinya, perasaanku hancur berkeping-keping. Syukurlah handphone itu masih dalam genggamanku.
Di sana terpapar jelas foto foto suamiku Mas Yadi bersama seorang wanita muda. Itu inbok dari sahabatku Lina, aku memang menyuruhnya Lina menyelidiki keberadaan Mas Yadi, karena sudah beberapa hari ini dia tidak pulang dan tidak ada kabar apapun. Padahal sebelum ini kami baik baik saja tidak punya masalah dalam rumah tangga. Sebegitu pintarnya dia
menyembunyikan hal ini dariku. "Apa salahku mas?" ratapku luruh di lantai.
Ke empat anakku segera berlari menghampiriku.
"Mama kenapa? Mama tidak apa apa, kan?" tanya sisulung Alya yang berumur delapan belas tahun.
Tika anakku nomor dua segera mengambil hape dari tanganku dan dia terdiam. Matanya berkaca kaca. Tika memang yang paling dekat dengan mas Yadi dan anaknya sensitif mudah menangis.
"Kenapa kak?" tanya Bimo ingin tahu. Dia dan sibungsu Fatih mendekati Tika.
"Ayah dik, ayah..." Tika tergugu.
Kedua anak laki laki ku saling pandang dan tak bisa berkata apa apa. Mereka memang masih belum mengerti di usia yang baru menginjak dua belas dan sepuluh tahun.
Alya segera memapahku berdiri dan membawaku duduk di sofa ruang tengah.
"Ma, mama yang sabar, ya. Mama harus kuat." Alya memijit bahuku yang terduduk lemas.
***
Namaku Tantri seorang pengusaha di bidang kuliner nasi uduk dan makanan siap saji lainnya. Usaha ku tergolong sukses dengan cabang usaha sudah tiga di kota ini juga beberapa warteg di pinggiran kota.
Suamiku bernama mas Yadi, kami menikah sudah sembilan belas tahun dan dikaruniai empat orang anak, dua perempuan dan dua laki laki. Mas Yadi bekerja sebagian developer di sebuah perusahaan yang bergerak dibidang perumahan, Karirnya bagus karena dia bertangan dingin, setiap proyek selalu diselesaikannya dengan sukses. Makanya ekonomi keluarga kami tergolong berada. Mas Yadi selalu menafkahi ku dan anak-anak dan menyuruhku menggunakan uangku untuk memperluas cabang usahaku.
Bagi anak-anak dia adalah ayah yang baik. Mas Yadi orangnya baik dan tidak neko neko, pernikahan kami memang karena dijodohkan. Tapi itu tidak menjadi masalah bagi kami, karena cinta akan datang seiring berjalannya waktu.
Setiap harinya mas Yadi berangkat pagi jam delapan kembali pada sore harinya jam lima. Begitu setiap harinya. Sehingga tidak ada sedikit pun kecurigaanku padanya. Aku yang sibukpun masih sempat menyiapkan sarapan dan melayani kebutuhannya dan anak anak. Aku tak ingin mengabaikan tugasku sebagai seorang istri dan ibu walaupun kami punya asisten rumah tangga. Setelah semua pekerjaanku beres, barulah aku pergi ke Restro milikku.
Untuk urusan handphone pun mas Yadi tidak pernah main rahasia rahasiaan. Handphonenya tidak pernah dikunci, kadang anak anak bebas memainkan game dari Handphone nya itu dan dia tidak pernah marah.
Pernah suatu hari dia meminta uang untuk biaya operasi mata ibu mertuaku, memang ibu mertuaku mengalami katarak sudah lama. Kabetulan aku lagi ada uang maka aku memberinya, toh ibunya adalah ibuku juga. Aku pun selalu bilang kalau hendak mengirimi ibuku uang di kampung. Walau beliau tidak butuh karena ibu cuma tinggal sendiri sedang ayah sudah tiada, tetap saja beliau aku kirimi setiap bulannya.
Namun, kini semua berubah total dalam jangka waktu yang singkat. Mas Yadi tak pernah pulang lagi ke rumah. Dia menghilang bagaikan ditelan bumi. Nomor hapenya tak bisa lagi dihubungi.
***
"Lin, maaf sebelumnya aku mengganggu waktumu," ucapku sore itu pada Lina--sahabat baikku. Sambil menggendong bocah kecil berusia delapan bulan, Lina--wanita cantik berhijab modern itu tersenyum lebar.
"Kamu ini, Tan. Macam minta tolong pada orang lain saja... Ada apa?" tanyanya sambil mengayun bayinya yang sedikit rewel. Setiap Lina hendak duduk, bayi perempuan itu akan menangis keder.
"Mas Yadi sudah beberapa hari ini tak pulang. Nomor hapenya tak bisa dihubungi. Aku tak tahu harus mencarinya kemana lagi. Di kantor pun dia sudah tidak aktif."
"Kamu tenang, akan aku usahakan mencari keberadaan Mas Yadi. Kebetulan aku besok off dan kebetulan ibu juga datang, jadi baby Nayla ada yang jaga," ucap Lina menyerah. Dia terpaksa pamit buru-buru karena baby Nayla semakin rewel. Akupun mengerti, kubiarkan Lina berlalu dengan Toyota Aylanya.
***
Lina memencet bel rumah mewah berasitektur Eropha itu gamang. Berkali-kali dia menggigit bibirnya cemas berharap siempunya rumah segera membuka pintu itu.
Tak lama seorang wanita paruh baya dengan memakai jarik dan konde di rambut panjangnya keluar dengan tergesa-gesa.
"
***
Aku terhuyung ke belakang, beruntung di belakangku ada sebuah kursi sehingga aku tidak jadi jatuh. Aku menangis sejadi jadinya, perasaanku hancur berkeping-keping. Syukurlah handphone itu masih dalam genggamanku.
Di sana terpapar jelas foto foto suamiku Mas Yadi bersama seorang wanita muda. Itu inbok dari sahabatku Lina, aku memang menyuruhnya Lina menyelidiki keberadaan Mas Yadi, karena sudah beberapa hari ini dia tidak pulang dan tidak ada kabar apapun. Padahal sebelum ini kami baik baik saja tidak punya masalah dalam rumah tangga. Sebegitu pintarnya dia
menyembunyikan hal ini dariku. "Apa salahku mas?" ratapku luruh di lantai.
Ke empat anakku segera berlari menghampiriku.
"Mama kenapa? Mama tidak apa apa, kan?" tanya sisulung Alya yang berumur delapan belas tahun.
Tika anakku nomor dua segera mengambil hape dari tanganku dan dia terdiam. Matanya berkaca kaca. Tika memang yang paling dekat dengan mas Yadi dan anaknya sensitif mudah menangis.
"Kenapa kak?" tanya Bimo ingin tahu. Dia dan sibungsu Fatih mendekati Tika.
"Ayah dik, ayah..." Tika tergugu.
Kedua anak laki laki ku saling pandang dan tak bisa berkata apa apa. Mereka memang masih belum mengerti di usia yang baru menginjak dua belas dan sepuluh tahun.
Alya segera memapahku berdiri dan membawaku duduk di sofa ruang tengah.
"Ma, mama yang sabar, ya. Mama harus kuat." Alya memijit bahuku yang terduduk lemas.
***
Namaku Tantri seorang pengusaha di bidang kuliner nasi uduk dan makanan siap saji lainnya. Usaha ku tergolong sukses dengan cabang usaha sudah tiga di kota ini juga beberapa warteg di pinggiran kota.
Suamiku bernama mas Yadi, kami menikah sudah sembilan belas tahun dan dikaruniai empat orang anak, dua perempuan dan dua laki laki. Mas Yadi bekerja sebagian developer di sebuah perusahaan yang bergerak dibidang perumahan, Karirnya bagus karena dia bertangan dingin, setiap proyek selalu diselesaikannya dengan sukses. Makanya ekonomi keluarga kami tergolong berada. Mas Yadi selalu menafkahi ku dan anak-anak dan menyuruhku menggunakan uangku untuk memperluas cabang usahaku.
Bagi anak-anak dia adalah ayah yang baik. Mas Yadi orangnya baik dan tidak neko neko, pernikahan kami memang karena dijodohkan. Tapi itu tidak menjadi masalah bagi kami, karena cinta akan datang seiring berjalannya waktu.
Setiap harinya mas Yadi berangkat pagi jam delapan kembali pada sore harinya jam lima. Begitu setiap harinya. Sehingga tidak ada sedikit pun kecurigaanku padanya. Aku yang sibukpun masih sempat menyiapkan sarapan dan melayani kebutuhannya dan anak anak. Aku tak ingin mengabaikan tugasku sebagai seorang istri dan ibu walaupun kami punya asisten rumah tangga. Setelah semua pekerjaanku beres, barulah aku pergi ke Restro milikku.
Untuk urusan handphone pun mas Yadi tidak pernah main rahasia rahasiaan. Handphonenya tidak pernah dikunci, kadang anak anak bebas memainkan game dari Handphone nya itu dan dia tidak pernah marah.
Pernah suatu hari dia meminta uang untuk biaya operasi mata ibu mertuaku, memang ibu mertuaku mengalami katarak sudah lama. Kabetulan aku lagi ada uang maka aku memberinya, toh ibunya adalah ibuku juga. Aku pun selalu bilang kalau hendak mengirimi ibuku uang di kampung. Walau beliau tidak butuh karena ibu cuma tinggal sendiri sedang ayah sudah tiada, tetap saja beliau aku kirimi setiap bulannya.
Namun, kini semua berubah total dalam jangka waktu yang singkat. Mas Yadi tak pernah pulang lagi ke rumah. Dia menghilang bagaikan ditelan bumi. Nomor hapenya tak bisa lagi dihubungi.
***
"Lin, maaf sebelumnya aku mengganggu waktumu," ucapku sore itu pada Lina--sahabat baikku. Sambil menggendong bocah kecil berusia delapan bulan, Lina--wanita cantik berhijab modern itu tersenyum lebar.
"Kamu ini, Tan. Macam minta tolong pada orang lain saja... Ada apa?" tanyanya sambil mengayun bayinya yang sedikit rewel. Setiap Lina hendak duduk, bayi perempuan itu akan menangis keder.
"Mas Yadi sudah beberapa hari ini tak pulang. Nomor hapenya tak bisa dihubungi. Aku tak tahu harus mencarinya kemana lagi. Di kantor pun dia sudah tidak aktif."
"Kamu tenang, akan aku usahakan mencari keberadaan Mas Yadi. Kebetulan aku besok off dan kebetulan ibu juga datang, jadi baby Nayla ada yang jaga," ucap Lina menyerah. Dia terpaksa pamit buru-buru karena baby Nayla semakin rewel. Akupun mengerti, kubiarkan Lina berlalu dengan Toyota Aylanya.
***
Lina memencet bel rumah mewah berasitektur Eropha itu gamang. Berkali-kali dia menggigit bibirnya cemas berharap siempunya rumah segera membuka pintu itu.
Tak lama seorang wanita paruh baya dengan memakai jarik dan konde di rambut panjangnya keluar dengan tergesa-gesa.
"Mana majikanmu, Mbok?" tanya Lina saat melihat rumah itu sepi tak ada seorangpun yang nampak.
"Nyonya dan tuan mau melelang rumah ini, Bu?"
Lina terkejut, wajahnya berubah menjadi kesal. "Benar-benar keterlaluan mereka." Lina menghentakkan kedua kakinya.
"Kemana mereka pindah?"
"Saya tidak tahu, Bu. Mereka merahasiakan pada siapapun."
Lina mengeluarkan handphone nya kembali menghubungi nomor yang sejak semalam sudah tidak aktif lagi. Lagi-lagi Lina kesal, nomor itu memang sengaja tak diaktifkan lagi, mungkin dibuang pemiliknya.
"Apa sudah rumah ini sudah laku?"
Mbok itu menggeleng. "Kalau sudah laku, saya tak mungkin di sini, Bu,"
"Iya juga, Ya," pikir Lina. "Nanti kalau majikan Mbok datang, suruh dia menghubungi saya, Ya. Ini nomor saya, suruh telpon ke sini." Lina menyerahkan selembar kartu nama. Lina memang seorang marketing di sebuah perusahan periklanan sehingga kartu nama menjadi barang penting baginya.
Lina segera pamit dengan perasaan kecewa yang menggelayuti hatinya.
TBC...
Bab 1 Kabar buruk
25/05/2022
Bab 2 Penyelidikan
25/05/2022
Bab 3 Berduka
25/05/2022
Bab 4 Pindah
25/05/2022
Bab 5 Si Sulung
25/05/2022
Bab 6 Pendekatan lelaki misterius
25/05/2022
Bab 7 Langkah awal yang buruk
25/05/2022
Bab 8 Taubat
25/05/2022
Bab 9 Terima bujukan
25/05/2022