Membawa Kabur Benih Presdir

Membawa Kabur Benih Presdir

mega setiawati

5.0
Komentar
1.2K
Penayangan
22
Bab

Aurora winters harus menyembunyikan kegembiraannya, suaminya Julian Ryder tak menginginkan kehadiran seorang bayi dalam pernikahannya. sedangkan Aurora winters terkejut ketika dia harus menerima kenyataan jika dirinya hamil, dia tak menginginkan menggugurkan kandungannya. dia memikirkan bagaimana cara menyembunyikan bayinya dari sang suami.

Bab 1 Jangan pernah hamil!

"Aku tidak menginginkan kehadiran seorang bayi! Aku ingin kau tetap cantik seperti ini tanpa tangisan bayi di rumah ini!"

Julian Ryder membisikkan kalimat itu tepat di telinga Aurora setelah mereka baru saja menuntaskan hasrat mereka.

Aurora membeku. Kata-kata suaminya menusuk hatinya lebih dalam daripada pisau.

Suamiku tak menginginkan bayi ini?

Lantas aku harus bagaimana?

Aurora menatap kosong ke langit-langit kamar. Pikirannya berputar cepat, mencari jalan keluar dari situasi ini. Perutnya memang masih rata saat ini, tapi tidak lama lagi itu akan berubah. Dia tidak akan bisa menyembunyikannya selamanya.

Julian tidak ingin anak. Itu jelas.

Tapi dia ingin mempertahankan bayinya.

"Kau kenapa, sayang?" suara Julian membuyarkan lamunannya. "Wajahmu pucat dan bingung. Apa yang sedang kamu pikirkan?"

Aurora tersentak. Dia berusaha tersenyum, meskipun bibirnya terasa kaku.

"Oh, aku baik-baik saja, sayang."

Julian mengernyit. "Kau yakin?"

Aurora mengangguk cepat. Dia tidak bisa membiarkan Julian mencurigainya.

Tapi sampai kapan?

Rahasia ini akan semakin sulit disembunyikan seiring waktu.

"Sebenarnya apa yang kamu sembunyikan, sayang?" Julian menatapnya tajam. "Aku tidak suka kau berbohong."

Aurora merasakan tengkuknya meremang. Pria ini selalu bisa merasakan jika ada sesuatu yang tidak beres.

"Aku tidak menyembunyikan apa pun," katanya, mencoba terdengar santai. "Aku hanya lelah."

Julian memandangnya dalam diam. Seolah mencoba membaca pikirannya.

"Kalau begitu, istirahatlah," ujarnya akhirnya. "Aku ingin istriku selalu sehat dan cantik."

Aurora memaksakan senyum. Tapi hatinya terasa nyeri.

---

Malam itu, Aurora tidak bisa tidur. Dia hanya berbaring di samping Julian yang sudah tertidur pulas.

Tangannya menyentuh perutnya yang masih rata.

"Aku akan melindungimu," bisiknya pelan.

Tapi bagaimana caranya? Jika Julian tahu, pria itu mungkin akan memaksanya menggugurkan bayi ini.

Tidak. Dia tidak bisa membiarkan itu terjadi.

Aurora harus mencari cara untuk menyembunyikan kehamilannya selama mungkin.

---

Keesokan paginya, Aurora merasa mual begitu bangun dari tempat tidur. Dia buru-buru ke kamar mandi, menutup pintu, lalu muntah.

Nafasnya tersengal. Tubuhnya gemetar.

Dia sudah tahu ini akan terjadi, tapi mengalaminya langsung membuat semuanya terasa lebih nyata.

Dia benar-benar hamil.

Aurora menatap bayangannya di cermin. Wajahnya pucat, matanya sembab. Perlahan, dia mengambil test pack yang sudah dia sembunyikan di laci kamar mandi.

Dia sudah melakukan tes ini beberapa kali sebelumnya, tapi dia ingin memastikan lagi.

Beberapa menit kemudian, dua garis merah yang jelas muncul di sana.

Aurora menghela napas panjang.

Tidak ada lagi keraguan.

Dia harus melindungi bayinya, bagaimanapun caranya.

---

Aurora sedang duduk di ruang makan ketika Julian berjalan menghampirinya.

"Kau tampak lebih baik," katanya, mencium puncak kepalanya. "Aku khawatir melihatmu pucat semalam."

Aurora tersenyum kecil. "Aku hanya perlu istirahat."

Julian menarik kursi dan duduk di sampingnya. "Hari ini aku ada beberapa urusan bisnis. Aku mungkin pulang agak malam."

Aurora mengangguk. Itu kabar baik. Jika Julian pergi, dia bisa mencari cara untuk menjaga kehamilannya tetap tersembunyi.

Setelah sarapan, Julian pergi seperti yang dikatakannya. Begitu pria itu menghilang di balik pintu, Aurora segera mengambil ponselnya dan menghubungi sahabatnya, Liana.

"Liana, aku butuh bantuanmu."

Suara di seberang terdengar khawatir. "Ada apa, Aurora?"

"Aku hamil," bisiknya pelan. "Tapi Julian tidak boleh tahu."

Liana terdiam beberapa saat. "Kau serius?"

"Ya. Aku harus menyembunyikannya selama mungkin."

Liana menghela napas. "Ini berbahaya, Aurora."

"Aku tahu," jawabnya lirih. "Tapi aku tidak punya pilihan lain."

---

Beberapa hari berlalu. Aurora berusaha keras untuk bersikap normal di depan Julian. Dia memakai pakaian longgar, menolak makan terlalu banyak agar tidak menambah berat badan dengan cepat, dan memastikan untuk tidak menunjukkan gejala kehamilannya di depan suaminya.

Namun, semakin lama, semakin sulit.

Mual di pagi hari semakin parah. Tubuhnya terasa lebih lelah dari biasanya. Dan yang lebih buruk, Julian mulai curiga.

"Kau semakin sering menghindariku," kata Julian suatu malam.

Aurora berusaha tersenyum. "Aku hanya lelah, sayang."

"Terlalu sering lelah," gumam Julian. Dia menatapnya tajam. "Apa kau sakit?"

Aurora merasakan napasnya tercekat.

"Tidak," jawabnya cepat. "Aku baik-baik saja."

Julian masih menatapnya curiga. "Kau tahu aku tidak suka jika kau menyembunyikan sesuatu dariku."

Aurora menahan napas.

Dia harus lebih hati-hati.

---

Suatu sore, Aurora pergi menemui dokter kandungan secara diam-diam.

"Kandungan Anda sehat," kata dokter itu sambil tersenyum. "Saat ini usia kehamilan Anda sudah memasuki minggu ke delapan."

Delapan minggu.

Aurora merasakan emosinya meluap. Ada kehidupan di dalam dirinya.

Tapi saat dia berjalan keluar dari klinik, tubuhnya menegang.

Di seberang jalan, sebuah mobil hitam terparkir.

Aurora bisa merasakan tatapan seseorang mengawasinya.

Jantungnya berdetak cepat.

Apakah Julian sudah tahu?

Dengan tangan gemetar, Aurora segera pergi dari tempat itu.

Dia tidak boleh ketahuan.

Malam itu, Aurora tidak bisa tidur.

Bayangan mobil hitam itu terus menghantuinya.

Apakah itu hanya kebetulan? Atau seseorang benar-benar mengawasinya?

Dia berbalik dan menemukan Julian berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan ekspresi dingin.

Tubuh Aurora langsung membeku.

"Apa yang kau sembunyikan Aurora winters? Ingat Aku tidak suka kau berbohong!"

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Juliana
5.0

21+ Dia lupa siapa dirinya, dia lupa siapa pria ini dan bahkan statusnya sebagai calon istri pria lain, yang dia tahu ialah inilah momen yang paling dia tunggu dan idamkan selama ini, bisa berduaan dan bercinta dengan pria yang sangat dia kagumi dan sayangi. Matanya semakin tenggelam saat lidah nakal itu bermain di lembah basah dan bukit berhutam rimba hitam, yang bau khasnya selalu membuat pria mabuk dan lupa diri, seperti yang dirasakan oleh Aslan saat lidahnya bermain di parit kemerahan yang kontras sekali dengan kulit putihnya, dan rambut hitammnya yang menghiasi keseluruhan bukit indah vagina sang gadis. Tekanan ke kepalanya Aslan diiringi rintihan kencang memenuhi kamar, menandakan orgasme pertama dirinya tanpa dia bisa tahan, akibat nakalnya lidah sang predator yang dari tadi bukan hanya menjilat puncak dadanya, tapi juga perut mulusnya dan bahkan pangkal pahanya yang indah dan sangat rentan jika disentuh oleh lidah pria itu. Remasan dan sentuhan lembut tangan Endah ke urat kejantanan sang pria yang sudah kencang dan siap untuk beradu, diiringi ciuman dan kecupan bibir mereka yang turun dan naik saling menyapa, seakan tidak ingin terlepaskan dari bibir pasangannya. Paha yang putih mulus dan ada bulu-bulu halus indah menghiasi membuat siapapun pria yang melihat sulit untuk tidak memlingkan wajah memandang keindahan itu. Ciuman dan cumbuan ke sang pejantan seperti isyarat darinya untuk segera melanjutkan pertandingan ini. Kini kedua pahanya terbuka lebar, gairahnya yang sempat dihempaskan ke pulau kenikmatan oleh sapuan lidah Aslan, kini kembali berkobar, dan seakan meminta untuk segera dituntaskan dengan sebuah ritual indah yang dia pasrahkan hari ini untuk sang pujaan hatinya. Pejaman mata, rintihan kecil serta pekikan tanda kaget membuat Aslan sangat berhati hati dalam bermanuver diatas tubuh Endah yang sudah pasrah. Dia tahu menghadapi wanita tanpa pengalaman ini, haruslah sedikit lebih sabar. "sakit....???"

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku