Ini kisah hidupku yang dilahirkan dari seorang wanita yang menjual dirinya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Cacat mental dari kecil dan belum tersembuhkan hingga kini. Aku tidak ingin dilahirkan ke dunia jika kenyataan yang harus ku terima sungguh kejam seperti ini. Bukan salahku, bukan inginku. Aku hanya gadis yang dititipkan pada rahim wanita yang memiliki pekerjaan menyimpang di lingkungan masyarakat. Pada satu titik aku berpikir bahwa ibuku lebih mahal dan masih punya harga diri dibandingkan dengan sepasang kekasih yang bertindak seperti suami istri tanpa status yang melekat pada hubungan mereka. Rela memberikan segalanya hanya karena sebuah alasan "Takut Kehilangan" dan ujung-ujungnya tak dinikahi. Namun yang terlihat lebih dinilai negative daripada yang tidak terlihat. Kemana pun aku pergi aku akan di cap anak jalang dari mulut-mulut wanita yang seakan tanpa dosa. Netra penuh angkuh memandang rendah diriku. Sungguh aku seperti manusia yang tidak layak hidup berdampingan dengan manusia lainnya. "Kira-kira siapa ayahnya?" "Apakah hasil dari banyak lelaki?" Kalimat demi kalimat menyakitkan seakan mencabik-cabik batinku. Hingga membuatku menjadi wanita introvert dan mengurung diri dalam ruangan segi empat yang bagiku adalah surga bagi jiwa lara dan sepi ini. Perihal jodoh yang senantiasa mengganggu pikiranku, aku tidak menginginkan hal itu. Namun, tiba-tiba dia datang tanpa diundang dan diinginkan. Mungkin ini hanya ilusi dari gadis naïf yang tak pernah jatuh hati sepertiku. Edward Watinson Hareld, lelaki tertampan dan terkaya di ibukota menghampiriku dan memintaku menjadi kekasihnya. Apakah putri dari seorang wanita yang tidak diterima masyarakat ini pantas menerima cintanya?. Ataukah ada maksud lain dari Edward mendekatiku? Yang jelas tentang cinta aku tidak pantas menerimanya. Pada kenyataannya aku di mata mereka hanyalah binatang jalang tanpa logika dan harga diri. Dan jika memang ada cinta, tentunya aku tidak berada di bumi ini lagi. "Kamu adalah maklhuk terindah yang pernah ku temui. Percaya dirilah... Semesta pun cemburu kala redup di bibirmu berubah tawa. Senyumanmu adalah lengkungan terindah dan ternyaman, Lily." Edward Watinson Hareld. "Mawar yang yang baru saja keluar kuncupnya kini layu sebelum mekar. Begitu pun aku padamu. Belum sempat menjalin kasih namun patah lebih dulu karena status sosial kita." Liliani Emiliana.
Seperti biasa, pagiku akan selalu sama. Bunyi alarm yang sudah menjadi teman terbaik membangunkanku dari nyenyak tidur panjangku. Bumi masih gelap, suara sang jago tidak terdengar seperti cerita-cerita dongeng yang seringkali ku baca. Mungkin ayam-ayam sudah dijadikan lauk makan malam di kota besar ini. Atau mungkin ruangan yang ditempatiku ini kedap suara.
"Lily..." Suara parau dan lemah dari arah dapur. Aku sudah biasa mendengar itu. Bahkan waktunya hampir sama namaku akan senantiasa disebut. Kuusap mataku untuk sekedar mengembalikan semua jiwaku yang masih ingin terlelap dalam mimpi indah yang selalu hadir dalam tidurku. Dengan gontai ku hampiri ibu yang duduk meringkuk di lantai cukup dingin. Setiap kali aku menghampirinya, aroma alkohol dan aroma lainnya membuatku mual. Pagiku senantiasa sama. Menyambut ibuku pulang dari petualang panjangnya, malam demi malam.
Setiap anak pasti akan senang meyambut ibunya pulang. Namun tidak denganku, aku sangat membenci hal itu. Bahkan aku ingin malam panjang dan tidak ingin pagi datang.
"Kamu sudah bangun, Sayang?" Suara parau dengan napas terengah-engah itu sontak membuatku memalingkan wajah ke samping. Aroma yang senantiasa aku hindari. Perlahan aku membantu ibu berdiri dan mengambil tangan kanannya lalu dilingkarkan di pundakku. Tubuh ibu cukup berat. Namun karena sudah terbiasa memapahnya ke tempat tidur, rasa berat itu menjadi terbiasa. Dengan tertatih-tatih aku membimbing ibu memasuki kamar.
"Hahaha..." Gelak tawa ibu seperti neraka bagiku. Entah apa yang membuatnya tertawa, aku pun tak tahu. Setiap pagi dalam pulangnya, ibu akan tertawa dan terdengar sangat mengerikan bagiku. Layaknya Mak Lampir yang tertawa. Aku hanya menghela napas kesal membiarkan keresahan dalam hati sirna. Namun berulang kali aku mencoba, lara dalam hati sepertinya sudah nyaman menetap dalam lubuk ini.
Aku membaringkan tubuh ibu di atas king size yang sudah ku rapikan sebelumnya. Dengan telaten high hills hitam miliknya ku lepas satu persatu dan menaruhnya di lantai. Selimut yang cukup tebal ku tarik dan menutupi tubuh ibu yang memakai pakaian yang lebih pantas disebut kurang kain itu.
Raut wajah dengan mata yang mulai keriput itu terlihat sedikit tersenyum namun seperti tidak iklas. Entah apa yang mengganjal di hatinya. Ku jelajahi wajah ibu sampai kakinya.
"Dia adalah ibuku. Dia adalah surgaku-" dan lagi butiran bening itu mengalir tanpa permisi dari kedua kelopak mataku. "Sekotor apa pun dirimu, tetaplah rahimmu tempat aku berkembang, Bu." Dengan mengabaikan segala aroma yang tidak ku sukai, dengan lembut ku kecup kening yang masih banyak pelu itu. Tangan refleks ibu memegang kepalaku. Dapat ku rasakan tangan itu mengelus pelan ubun-ubunku. Rasanya masih sama. Nyaman dan menenangkan.
"Selamat istirahat, Bu," ucapku lembut di samping telinganya. Tidak ada reaksi dari ibu. Detik berikutnya ibu membalikkan badan dan memeluk guling di sampingnya. Ia membelakangiku dengan tubuh bergetar. Menangiskah ia?
Tidak ingin membuat tidur ibu terganggu, aku pun keluar dari kamarnya dengan perasaan sedih dan haru. Pertama kalinya ku lihat ibu menangis. Dan pertama kali juga ku kecup kening itu.
Sebenci-bencinya aku pada ibuku, tetap jauh di dalam lubuk hatiku ada rasa cinta yang mendalam bagi ibu yang tak mampu aku utarakan dan tunjukan. Walau jarang sekali aku mengatakan bahwa aku mencintaimu tapi aku selalu paham setiap tarikan nafasmu. Arti dari setiap senyum dalam lamunan panjangmu. Aku ingin memulihkan apa yang sudah kita lewati ini. Ingin memulihkan apa yang telah kita lalui dan hidup dengan lebih baik.
Drt...drt..
Suara alarm menyadarkanku dari pikiran penat dan lara ini. Suara alarm pertanda sudah pukul lima. Aku harus menyiapkan sarapan dan berangkat ke sekolah.
Hari ini adalah hari kelulusan. Tiga tahun aku bergelut di sekolah menengah atas. Tidak memedulikan perkataan dan pandangan sekitar, aku tetap melanjutkan sekolahku. Dan akhirnya hari ini adalah hari penentuan apakah aku bisa menyelesaikan studiku atau tidak.
Nasi yang sudah ku masak malam ku keluarkan dari rice cooker dan mendinginkannya. Bumbu nasi goreng yang sudah kusiapkan dan wajan sudah ku panaskan. Tidak membutuhkan waktu lama, aroma semerbak memenuhi dapur rumahku. Telur mata sapi dan daging ayam sudah ku goreng dan dihidangkan di meja.
Tepat pukul tujuh, aku sudah siap dengan seragam sekolah dan duduk menikmati nasi goreng buatanku sendiri. Aku tidak suka susu dan lebih memilih teh. Susu membuat perut kembung dan mual. Setelah merasa kenyang, piring dan senduk langsung aku bersihkan. Rumah dan taman sudah rapih. Bunga sudah ku siram dan semuanya tumbuh mekar dengan subur.
Cuaca pagi ini sangat cerah. Aku menutup pintu pagar sebelum meninggalkan rumah. Dengan senyum semangat aku melangkah menuju halte bus. Hanya memerlukan waktu lima menit aku sudah sampai di sana.
Pohon Mimba adalah tempat andalanku menunggu bus. Aku lebih memlih berdiri agak jauh dari kerumunan orang. Bukan karena takut tapi menghindari pandangan menjijikan dari manusia yang sok suci itu. dalam jarak sepuluh meter pun beberapa orang saling berbisik dengan ekor mata mengarah padaku. Bukan hal baru. Aku mengambil headset dan memasang musik di ponselku. Lagu Mikrokosmos milik BTS adalah lagu favoritku. Selain menenangkan, kata-katanya mampu membuatku teguh dan terus melangkah ke depan. Aku memandang langit biru dengan bibir tersenyum. Menghirup lebih dalam udara pagi yang masih minim polusi itu. Terasa segar dan menyehatkan.
Lima belas menit kemudian bus pun datang. Semua orang naik ke dalam bus. Aku memilih naik terakhir dan membuatku tidak mendapat tempat duduk.
"Lihat anak jalang datang." Suara seorang gadis dari kursi tengah. Rambutnya diwarna merah menyala. Lipstiknya sangat kontras dengan warna rambutnya. Melihatnya membuat perutku mual. Namun aku tidak ingin nasi gorengku terbuang sia-sia akibat dandanan gadis itu. Aku terus berjalan menuju kursi belakang yang tersisa satu-satunya. Di sampingnya terdapat seseorang entah wanita atau pria aku pun tak tahu. Ia menutup tubuhnya dengan jaket. Suara dengkurannya meyakinkanku bahwa ia sedang tidur. Dengan hati-hati aku duduk di sampingnya. Melepaskan ransel dari pundak dan memangkunya. Bus mulai berjalan dan beberapa tatapan yang sebelumnya tertuju padaku satu persatu mulai sibuk dengan kesibukannya.
KREKKK!!
Kepalaku terbentur di kursi dapan akibat rem mendadak dari sopir bus. Aku mengusap kepalaku yang sedikit perih. Terdengar beberapa umpatan dan pertanyaan yang ditujukan pada sopir bus.
"Maaf, ada tukang ojek yang belok tanpa aba-aba." Suara sopir bus terdengar gugup. Ia juga terkejut tentunya. Bus kembali melaju dan aku pun memperbaiki posisi duduk dan berniat menyandarkan kepalaku di kursi.
Seketika aku langsung berdiri karena merasakan benda asing di belakangku. Seorang lelaki dengan seragam SMP yang duduk di samping menatap aneh ke arahku. Aku tidak memedulikannya dan mencoba menoleh ke belakang ingin melihat benda apa yang ada di sana.
Pahatan Tuhan yang luar biasa pada wajah pria yang masih tertidur pulas. Rahang tegas dan hidung mancung. Orang tuanya pasti cantik dan ganteng sehingga anaknya sungguh rupawan seperti ini. Aku sudah banyak menonton drama dan film, namun lelaki ini sungguh tampan dan berkharisma.
"Apakah ada sesuatu di wajahku?" Aku terlonjat kaget ketika mendengar baritone berat milik lelaki itu. sejak kapan ia membuka mata? Apakah aku terlena dan melamun?
Buku lain oleh Kakarlak
Selebihnya