Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
My Husband is My Cousin

My Husband is My Cousin

Dianfafa

5.0
Komentar
512
Penayangan
2
Bab

Zafira Hasna Nafisah, biasa dipanggil Hasna. Gadis belia yang baru lulus SMK. Bermata agak sipit, hidung pesek, tapi bila tersenyum bisa membuat orang lain iri dengan lesung pipit di kedua pipinya. Hasna merupakan anak ketiga di keluarganya, dan menjadi anak yang paling di sayang di antara kedua kakak laki-lakinya. Hidup di tengah keluarga yang serba berkecukupan, tak membuatnya hidup bahagia, karena kedua kakaknya yang otoriter terhadap dirinya. Melarang ke mana-mana tanpa ada salah satu kakak yang menemani. Membuat teman laki-laki di sekolah takut mendekatinya. Begitu lulus, Hasna bercita-cita ingin melanjutkan kuliahnya di luar kota. Tapi di tentang oleh kedua orang tua dan kedua kakaknya. Hanya sang kakek lah yang mengijinkannya kuliah di luar kota. Tapi dengan syarat, Hasna harus mau menikah sama lelaki pilihan kakek, yang tak lain adalah Rizqi Nahlan Syauqi, anak paman Sudradjat, saudara sepupunya sendiri. Akankah Hasna menerima perjodohan tersebut? Menikah muda demi mencapai cita-citanya.

Bab 1 Syarat Kakek

Zafira Hasna Nafisah tidak pernah mengira kalau keputusannya untuk melanjutkan sekolahnya di luar kota ditentang keras oleh kedua orang tuanya, bahkan kedua kakaknya pun ikut mendukung keputusan papanya.

“Hasna pengin mandiri, Pa. Sekali ini saja kabulkan permintaan Hasna.” Papanya menggeleng sambil menahan amarahnya. Bukan karena tidak sayang, tapi sebagai orang tua mana tega seorang papa membiarkan putrinya ada di luar kota tanpa ada pengawasan dari kedua kakak atau keluarganya.

“Boleh ya, Ma. Hasna bisa kok jaga diri. Lagian Hasna mau kuliah sambil mondok juga. Jadi nanti Hasna tinggalnya di pondok bukan di kost-an,” rayu Hasna bergelanjut manja ke mama sambil menatapnya. Sama seperti papa, mamanya pun menolak keinginan Hasna dengan menggelengkan kepalanya. Membuat Hasna reflek melepaskan tangannya dari lengan mamanya.

“Ma, Pa, Hasna pengin mandiri. Selama ini kemana pun Hasna pergi selalu saja ada Kak Hasan atau Kak Husein yang menemani. Kalau begitu terus, kapan Hasna bisa maju Pa Ma? Sekali ini saja biarkan Hasna mewujudkan cita-cita Hasna di luar tanpa harus dikawal Kak Hasan dan Kak Husein.”

“Papa tetap tidak setuju. Di sini kan ada universitas yang sesuai dengan jurusan yang kamu inginkan. Ada pondok pesantren juga kalau kamu pengin mondok, jadi tidak perlu kuliah di luar kota,” tegas sang Papa membuat Hasna diam tanpa bisa menjawab apa yang dikatakan papanya. Sebenarnya ada benarnya juga papa melarangnya untuk melanjutkan kuliahnya di luar kota. Tapi kalau dia masih tetap di satu kota yang sama dengan kedua kakaknya, sampai kapanpun dia akan selalu merasa tertekan dengan sikap kedua kakaknya yang otoriter terhadap dirinya.

“Mau ke mana? Papa belum selesai ngomong?” Hasna yang sudah bersiap beranjak dari sofa pun menatap papanya dengan kesal, kemudian balik duduk di sofa kembali dengan muka ditekuk.

Kakek Bramantyo yang sedang istirahat siang pun merasa terganggu dengan percakapan antara anak dan cucunya. Beranjak keluar kamar, kemudian ikut bergabung mengobrol di ruang tengah. “Ada apa sih ribut-ribut?” tanyanya saat sudah berada di tengah-tengah anak dan cucunya.

Hasna menoleh ke arah kakeknya, kemudian berlari serta memeluk sang Kakek, “Hasna pengin kuliah ke luar kota, Kek. Tapi Papa sama Mama tidak setuju,” ucap Hasna terlihat sedih. Kakek hanya manggut-manggut kemudian tersenyum penuh arti, menatap anak dan menantunya, “Biarkan Hasna meraih cita-citanya.”

“Tapi, Yah.” Kakek Bramantyo mengangkat tangan kanannya, saat anaknya Pramono mau mengajukan protes tapi tidak dengan Hasna yang langsung memasang wajah ceria ketika sang Kakek memperbolehkannya kuliah di luar kota.

“Beneran, Kek? Hasna boleh melanjutkan kuliah di luar kota?” tanyanya dengan senyum tersungging di bibirnya. Kakek Bramantyo ikutan tersenyum juga sambil menganggukkan kepalanya.

“Tapi ada syaratnya?” ucap sang Kakek kemudian, membuat Hasna bingung dengan kening berkerut.

“Syarat apa Kek?” tanya Hasan yang tiba-tiba muncul dari arah ruang tamu, meletakkan tas kantornya di meja kemudian duduk di samping mamanya sambil menarik dasinya ke bawah. Begitu juga dengan Husein melakukan hal sama seperti yang Hasan lakukan dan duduk di samping papanya.

Papa menarik napas panjang, mengatakan kalau adiknya Hasna berkeinginan untuk melanjutkan kuliahnya di luar kota. Ucapan papanya membuat Hasan dan Husein serentak menggelengkan kepalanya.

“Kalau mau melanjutkan kuliah, ngapain harus ke luar kota? Di sini juga ada kok universitas yang sesuai dengan jurusan yang kamu inginkan,” ucap Hasan tegas sambil menatap wajah Hasna yang terlihat murung kembali.

“Terus yang diajukan Kakek tadi syarat apa?” tanya Husain yang penasaran dengan kata-kata syarat yang diucapkan kakeknya barusan.

“Kakek kalian mengijinkan Hasna kuliah di luar kota tapi dengan syarat,” ucap papa Pramono terdengar tidak rela kalau Hasna melanjutkan kuliah di luar kota, karena bagaimana pun juga Hasna adalah putri semata wayangnya, mana tega dia membiarkan putrinya jauh dari dirinya.

“Syarat,” ucap Hasan dan Husain bersamaan dengan wajah agak terkejut, menatap wajah sang Kak Kakek yang menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.

“Bagaimana Hasna?” tanya sang Kakek, menoleh ke arah Hasna yang masih kelihatan bingung. Namun tak lama Hasna terlihat tenang, berusaha menyakinkan dirinya bahwa syarat yang diajukan kakeknya tidak terlalu sulit untuknya.

“Memang apa sih Kek syaratnya? Insyaallah Hasna terima,” tantang Hasna menyakinkan, kakeknya tersenyum begitu mendengar jawaban yang diucapkan Hasna. Kakek Bramantyo segera merogoh telepon selularnya yang ada di dalam saku. Kemudian menghubungi seseorang, “Nanti malam ajak putra dan istrimu ke sini,” ucap kakek di dalam telepon tanpa basa basi, kemudian langsung mematikan sambungan telepon secara sepihak.

“Fat, tolong kamu persiapkan perjamuan untuk nanti malam. Sudah semua bubar, saya mau istirahat, jangan ada yang ganggu,” ucapnya kepada Fatma mamanya Hasna. Kemudian beranjak berdiri, sebelum kakek melangkahkan kakinya, tangannya dicekal Hasna yang memintanya untuk mengatakan syarat apa yang harus Hasna terima.

Kakek Bramantyo lagi-lagi tersenyum, “Nanti juga kamu tahu,” ucapnya kakeknya kemudian melenggang pergi menuju kamarnya kembali.

Setelah kepergian kakek Bramantyo, semua orang yang ada di ruang tengah pun saling memandang satu sama lain. Tanpa bisa menjelaskan apa maksud dari perkataan kakeknya tadi. Terutama Hasna yang masih terlihat bingung dengan syarat yang diajukan Kakeknya, “Kakek tadi menghubungi siapa ya, Ma? Apa ada kaitannya dengan syarat yang akan diberikan pada Hasna?”

Mamanya mengangkat kedua bahunya kemudian beranjak pergi ke ruang dapur untuk memasak makanan yang akan dihidangkan nanti malam. Tidak hanya Hasna, kedua kakaknya juga jadi kepikiran tentang siapa yang di telepon kakeknya tadi.

Malam pun tiba, Hasna yang masih merasa penasaran pun segera menghampiri sang Kakek yang baru saja mendudukkan dirinya di kursi ruang tengah. Membuat si empunya tersenyum, seakan mengerti apa yang akan ditanyakan Hasna, cucu kesayangannya.

“Sebenarnya kita nunggu siapa sih, Kek?” tanya Hasna semakin penasaran karena sang Kakek tidak juga mengatakan siapa yang diundang ke rumah malam ini. Mama Fatma sibuk menata makanan di meja, sedangkan papa dan kedua kakaknya berada di ruang kerja yang lagi membahas pekerjaan kantor.

Keluarga Hasna memang terbilang dari keluarga berada. Mempunyai dua cabang kantor yang dikelola si kembar, Hasan dan Husein. Sedangkan kantor pusat kendalinya ada di bawah papa Pramono. Mamanya selain sibuk mengurus keluarga juga disibukkan dengan toko roti yang sedang dirintisnya selama sepuluh tahun belakangan ini.

“Kek.” Belum sempat Hasna mengutarakan keinginannya, tiba-tiba saja pintu depan sudah diketuk seseorang dari luar. Melalui isyarat matanya, Kakek Bramantyo meminta Hasna untuk segera membuka pintu. Hasna menggerutu, melangkahkan kakinya dengan malas untuk membuka pintu.

“Paman Iskandar,” ucap Hasna riang begitu tahu siapa yang datang ke rumahnya. Kemudian mencium tangan pamannya dengan takjim, dan juga memeluk serta mencium tangan bibi Fatimah. Tapi keceriaan itu tidak berlangsung lama, saat mata Hasna bersitatap dengan saudara sepupunya Syauqi. Seperti ada kilatan amarah di dalam dadanya. Tapi sebisa mungkin dia tahan, karena ada paman dan bibinya.

“Hasna,,, masak tamunya dibiarkan berdiri di depan pintu?” tegur mamanya mengingatkan, tapi begitu tahu siapa tamunya, mamanya langsung tersenyum sumringah, “Masyaallah, Mbak Fatimah Mas Iskandar to tamunya. Ayo masuk-masuk,” pintanya sambil memeluk bibi Fatimah.

Tidak hanya mama Fatma, papa Pramono dan kedua kakak Hasna pun terlihat kaget dengan kedatangan paman Iskandar, kakak dari papa Pramono. Mereka segera berpelukkan satu sama lain. Bahkan kedua kakak Hasna langsung bercengkrama dengan saudara sepupunya, Syauqi. Dan, inilah yang bikin Hasna tidak suka. Kalau kakek dan kedua orang tuanya sibuk dengan paman dan bibinya. Kedua kakaknya pun sibuk dengan saudara sepupunya yang terkesan cuek saat dia ikutan nimbrung.

Setelah beberapa saat merasa dicuekin, akhirnya Hasna angkat bicara, “Kakek, kapan acara makannya? Hasna sudah lapar dari tadi.” Ucapan Hasna seketika membuat yang lainnya tersenyum geli karena melihat bibir Hasna yang dimanyunkan sambil menopang dagu. Tapi tidak dengan Syauqi yang terlihat diam tanpa mau melihat wajah Hasna.

Mereka pun beranjak ke meja makan. Menyantap berbagai makanan yang dihidangkan mama Fatma. Ada ayam goreng, tempe, tahu, sayur lodeh, sayur asem, sop, kering tempe, sambal terasi dan juga kerupuk. Yang kebetulan masakan kesukaan semua yang ada di ruangan tersebut.

Setelah selesai menyantap hidangan makan malam, Hasna segera mengutarakan rasa penasarannya ke kakeknya, begitu semua keluarganya duduk di ruang tengah, “Kek, sebenarnya syaratnya apa sih kalau misalnya Hasna kuliah di luar kota?” tanya Hasna sambil duduk menyamping menghadap kakek Bramantyo.

Bukannya menjawab, kakek Bramantyo malah menoleh ke arah Syauqi yang duduk di sofa paling pojok bersama Hasan dan Husein. “Syauqi, kamu masih meneruskan usaha kulinermu kan di Solo?”

Syauqi menganggukkan kepalanya, “Alhamdullah masih Kek, dan rencananya mau buka cabang lagi di daerah Malioboro, Yogyakarta.”

“Berarti sudah siap kan menafkahi seorang istri.” Ucapan kakek membuat Syauqi dan juga lainnya terkejut. Tapi tidak dengan paman Iskandar dan bibi Fatimah yang terlihat tersenyum penuh arti.

“Kok diam? Sudah siap belum?” tanya kakek dengan geram karena melihat Syauqi yang tak kunjung menjawab pertanyaannya.

“Insyaallah siap Kek,” ucap Syauqi mantap setelah tersadar dari lamunannya. Membuat kakek dan kedua orang tuanya tersenyum bahagia.

“Berarti sudah siap kan melamar Hasna?”

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku