Amina adalah seorang mahasiswa di salah satu universitas atas bantuan beasiswa di Skotlandia. Setelah dua tahun berlalu, keseharian Amina yang sedari awal memang sudah biasa-biasa saja, semakin lama kian menjadi terasa hambar. Bekerja paruh waktu sebagai asisten kedai bunga dan berjumpa dengan ragam pembeli tak mampu mengubah suasana hati yang kerap terasa sepi. Hingga pada suatu pagi yang cerah di awal musim semi, Tuhan menghadirkan sosok lelaki tampan berkacamata serta seorang gadis berpenampilan urakan. Mereka adalah Greyson dan Shamika, kakak beradik dengan dua kepribadian bertolak belakang yang akan menjungkirbalikkan dunianya.
Namanya Amina, Amina Shafira. Gadis dua puluh dua tahun yang berkuliah di salah satu Universitas terkemuka di ibukota Skotlandia.
Banyak orang mengenalnya dan mereka memiliki kesan yang cukup baik tentang sosok gadis berotak encer tersebut. Teman seangkatan dan beberapa senior terkadang kerap mengundangnya untuk makan di meja yang sama, atau sekadar menawarkan tumpangan pulang usai mata kuliah berakhir.
Si pemilik wajah oriental khas Asia, merupakan satu dari sekian banyak pelajar beruntung yang berhasil menjejakkan kaki di tanah Eropa ini berbekalkan beasiswa.
Selama dua tahun menetap di sana, kehidupannya tergolong aman, cukup nyaman dan berjalan biasa-biasa saja. Selain menunjang status sebagai seorang mahasiswa, Amina juga menghabiskan sebagian waktunya dengan bekerja paruh waktu di kedai kecil penjual bunga, menjadi seorang asisten di sana demi menopang kebutuhan yang kadang-kadang tak berkecukupan, tak mungkin juga ia menggantungkan seluruh kebutuhan sehari-hari dan hal remeh lainnya pada dana beasiswa, sementara ia hidup dalam kawasan serba mahal seperti ini. Dalam lingkungan di mana uang adalah satu-satunya alat yang dapat berbicara tentang segala-galanya.
Amina tinggal sendiri, di sebuah flat kecil dengan harga yang terbilang murah untuk mahasiswa sepertinya. Hunian yang terletak di lantai dua, terdiri dari satu kamar tidur berukuran kecil, kamar mandi, dan dapur yang terhubung dengan ruang tamu. Hal baik lainnya yang terjadi dalam hidupnya adalah, kedai bunga tempat ia bekerja terletak tepat di bawah lantai flatnya.
Kemudian, Tuhan tak berhenti di sana memberikannya keberuntungan, karena bos tempat ia bekerja sekaligus pemilik flat yang ia sewa tersebut adalah seorang wanita tua yang baik hati, bahkan tak segan menganggap Amina sebagai cucunya sendiri. Membuat gadis itu semakin sering berdoa dan bersyukur kepada Tuhan, atas nasib baik yang mengikutinya selama ini.
"Morning, Sweetheart!" sapa nyonya Agatha, begitu melihat Amina turun tangga dan menyangka anak itu sudah siap berangkat ke kampus. Rutinitas pagi seperti biasa, nyonya Agatha yang pagi-pagi sekali tiba dengan diantar oleh supirnya untuk membuka gerai lebih awal, sebelum diambil alih oleh Amina sepulangnya dari kuliah. Senyum wanita itu mengembang lebih lebar dari biasanya.
"Good morning, Ma'am" sahut Amina, tersenyum sekilas pada wanita cantik pemilik tempat tinggal sekaligus tempat kerjanya ini. Berjalan menghampiri begitu nyonya Agatha memintanya mendekat sembari membenahi ransel yang tersampir di bahu kiri.
"Tadi pagi aku membuat banyak, dan ini aku menyimpannya khusus untukmu. Ambillah," ujar beliau, mengeluarkan sesuatu dari dalam totebage dan diberikannya pada Amina. Sebuah kotak bekal transparan, sehingga ia dapat dengan jelas melihat isi di dalamnya berupa tiga potong french toast dengan topping nutella, beberapa butir blueberry dan strawberry.
Amina tak bisa menyembunyikan kerjab matanya yang berbinar-binar bahagia, tak lupa mengucapkan terima kasih berkali-kali. Karena memang bukan sekali dua kali ia menerima bekal serupa dari nyonya Agatha, tetap saja membuatnya merasa tak habis pikir dan bertanya-tanya, entah kebaikan macam apa yang pernah ia lakukan sehingga Tuhan membalasnya seperti sedemikian rupa.
"Thank you, Ma'am, i am truly very grateful. This must be really delicious." Sekali lagi Amina berterima kasih dengan pelafalan bahasa inggrisnya yang fasih, memuji dengan sepenuh hati, karena rasa dan kelezatan dari hasil masakan tangan tua berkeriput itu memang tak perlu diragukan lagi.
"Kalau begitu jangan sampai ada yang tersisa, eat a lot, habiskan semuanya, oke?" ucap nyonya Agatha, diusapnya sejenak pucuk kepala gadis mungil itu yang tertutup beanie. Amina mengangguk-angguk tanda mengerti.
"Tentu saja," katanya, kemudian pamit pergi demi mengejar bus untuk keberangkatannya hari ini.
Sepuluh menit berlalu, bus yang ia naiki berhenti di pemberhentian. Artinya, Amina harus berjalan kaki sebentar lagi untuk sampai ke fakultasnya, karena pintu gerbang kampus masih berjarak 15 meter dari tempatnya berdiri sekarang.
Ia sempat menghirup napas dalam-dalam sebelum memutuskan untuk menyeberang jalan, menikmati aroma pagi yang sesekali terselip harum roti bakar yang berasal dari kedai-kedai terdekat, bias mentari yang terasa cukup hangat pada musim semi pun ikut serta menyorot ke arahnya, membuat suasana hatinya berkali lipat menjadi lebih baik.
Sampai suara klakson yang terdengar beruntun bersamaan dengan decit rem yang memekakkan telinga seketika membuat ia terperanjat, refleksnya mendadak macet kala ia berpaling dan mendapati sebuah mobil berhenti tepat 12 kaki di sampingnya. Sontak menjadikan tungkainya melemas seperti jeli, tak lagi sanggup menopang berat badannya sendiri, jatuh lunglai, terjerembap dengan mata melotot horor dan raut wajah yang dipenuhi teror.
Amina dapat merasakan tremor yang sedang menyerangnya saat ini, tangan dan kakinya bergemetar hebat di luar kendali. Suara lalu-lalang di sekitarnya pun terabaikan begitu saja, masih shock pasca hampir ditabrak dan hampir mati.
'Tuhan, Tuhan, Tuhan!' racaunya dalam hati.
Amina masih linglung, bahkan saat beberapa mahasiswa yang menyaksikan kejadian tesebut mulai berdatangan dan berkerumun di sana untuk memastikan keadaannya. Ia belum bisa merespon pertanyaan mereka, dan Amina tak mampu sekadar berpikir soal mengapa tak ada seorang pun yang berniat memapahnya berdiri, pindah dari tengah-tengah jalan aspal ini.
Hingga seorang gadis datang menghampirinya, menyeruak di antara kerumunan, menatap langsung ke dalam bola matanya dengan rahang halus yang megetat geram dan sorot wajah menahan murka. Amina hampir yakin, bahwa gadis ini lah yang hampir saja menabraknya. Diam-diam ia menelan ludah susah payah, kerongkongannya terasa semakin menyempit, tercekat, ketika gadis itu mulai menyalak.
"Sialan! Apa kau buta? Menyeberang jalan begitu saja tanpa melihat-lihat kanan kiri?!"
Sementara Amina semakin menciut di tempat, mulai menyalahkan diri karena ini mungkin memang murni terjadi akibat kecerobohannya dan mulai berpikir untuk meminta maaf.
Orang-orang di sekitarnya tampak merasa iba dan kasihan melihat mahasiswa yang terkenal ramah dan baik hati ini masih tak berhenti dibentak-bentak, hanya mereka tak berani angkat bicara sekadar mencoba untuk menengahinya.
"Harusnya kutabrak saja kau tadi! Aku sudah terbiasa bertemu dengan orang ceroboh sepertimu yang bosan hidup! Aku tak sudi bertanggung jawab sekalipun kau celaka atau sesuatu menggangmu mentalmu setelah ini."
Kata-katanya begitu sadis dan kejam. Amina sampai meringis saking merasa terpojok separuh ketakutan, tak sadar pada sebentuk wajah oriental khas Asia milik gadis itu-terlihat hampir sama sepertinya-meski kulit gadis itu cenderung sedikit lebih gelap dan mengkilap.
Amina merasakan telinganya seolah berdenging dengan pandangan yang dalam sekejap berubah buram. Tak menyangka jika satu bentuk kesialan akan menimpanya sekarang. Setelah sekian lama, apa mungkin Tuhan sudah memutuskan untuk mencabut kartu keberuntungannya mulai dari saat ini?
"Bubar! bubar! Apa yang terjadi di sini? Kalian akan mengganggu pengendara lain! Ayo bubar sekarang juga, cepat! Jangan membuat kerumunan!"
Itu adalah suara Mister Bob, security gerbang kampus mereka. Samar-samar ia melihat beberapa orang yang perlahan-lahan bubar usai mendengar interupsi tersebut. Pun begitu, gadis yang menghardiknya barusan tampak tak akan segera pergi dari hadapannya, alih-alih berjongkok dan menatapnya dengan kening berkerut seolah penasaran pada sesuatu yang ia sendiri pun tak tahu.
Apa sekarang? Amina tak punya cukup energi untuk meladeni, ia tetap akan diam saja sekalipun gadis ini akan beteriak memaki ataupun berniat menghantam wajahnya karena ia bertindak seperti manusia tuli. Kepalanya pening luar biasa, dan dunia terlihat berputar di pelupuk mata.
Disadari saat tubuhnya oleng, rebah ke samping, satu sisi kepalanya hampir membentur kerasnya aspal jalanan andai telapak tangan seseorang tak lebih dulu membantali kepalanya. Bersamaan dengan aroma asing yang tercium di penghidunya. Harum parfum apakah ini? Jo malone? Bulgaria Omnia?
Amina merasakan tubuhnya melayang, dan yang pasti, seseorang yang membopongnya kini tentu bukan gadis pemarah yang beberapa saat lalu melotot ke arahnya, melainkan sosok pria asing berkacamata. Asing, seluruh kontur wajah itu asing di penglihatannya yang sekarang hampir sepenuhnya menghitam.
"Jangan takut, aku hanya akan membawamu ke rumah sakit."
Sayup-sayup Amina mendengar suara berat meski diucap dalam nada yang pelan, dan ia sama sekali tak sempat mengiyakan begitu gelap sudah lebih dulu mengambil alih kesadaran.
God! Gadis tadi itu bisa jadi benar, mungkin dia akan trauma setelah ini.
.
.
.
.
.
.
To be continue
Selasa, 21 Desember 2021
Bab 1 Amina Shafira
21/12/2021