Cerita ini mengisahkan tentang pernikahan antara seorang anak majikan dengan pembantu baru yang ibunya adalah pembantu lama dan memiliki banyak jasa untuk keluarga majikan. Pak Handoko memiki anak kandung yang buta, dan anak tiri yang tidak buta. Anak tirinya menyukai wanita yang akan dinikahkan dengan anak kandungnya itu. Dalam cerita tersebut, Ihsan, anak kandung Pak Handoko sebenarnya sudah tidak buta lagi, tapi karena ada yang tidak beres, dia berpura-pura tetap buta. Hingga akhirnya, orang yang pertama kali mengetahuinya adalah Harmoni, wanita yang menjadi istrinya.
Panas terik, keringat berjatuhan, bahkan ramai dan padatnya jalan raya, tak menyudutkan semangat dari gadis sederhana berambut panjang itu. Harmoni.
Dia mendapat panggilan dari seorang yang dulu pernah begitu berjasa dalam keluarganya. Yaitu, Pak Handoko.
Pak Handoko adalah mantan majikan dari Bu Marni, Ibunya Harmoni. Dulu, Bu Marni pernah dibantu berkali-kali oleh sang majikan. Akhirnya, saat mendapat panggilan untuk bekerja lagi, Bu Marni mengutus putrinya untuk menggantikannya, karena ia sedang sakit.
Harmoni berjalan tanpa menghiraukan rasa haus dan laparnya. Tujuannya hanya satu, yaitu tiba di rumah Pak Handoko.
"Permisi, numpang lewat, dong!" Harmoni sedikit mendorong orang yang berdiri di depannya itu.
Bruugh ....
Pria yang ditabrak itu tersungkur, rupanya kekuatan Harmoni bisa melumpuhkan pria itu dalam sekejap.
"Astaga! Maaf, Mas. Saya tidak sengaja, saya tak bermaksud untuk membuat Mas terjatuh," kata Harmoni tulus.
"Minta maaf? Kamu sudah mendorongku, sudah mempermalukanku. Lalu sekarang kamu minta maaf? Nggak bisa!" tak disangka, dengan begitu dingin, pria itu marah dan tak mau memaafkan Harmoni.
"Saya benar-benar tak sengaja, Mas. Saya minta maaf, saya siap melakukan apapun untuk Mas, agar Mas mau memaafkan saya," kata Harmoni semakin memelas. Tujuannya untuk tiba lebih cepat di rumah Pak Handoko, kini semakin jauh.
"Serius? Kamu mau melakukan apapun?" tanya pria itu.
"Iya, Mas. Saya siap!" tegas Harmoni.
"Antarkan saya pulang, saya ini buta. Pastikan agar saya tiba di rumah dengan selamat," ucap pria itu tersenyum sinis. Harmoni kaget, dari tadi dia tak merasa kalau pria itu buta. Kini dia merasa semakin bersalah.
"Astaga, Mas, ternyata Mas ini buta, ya, kalau begitu, saya akan segera mengantarkan Mas." Harmoni lalu menuntun tangan pria itu.
Tangan kekar yang terbalut jam tangan mewah itu, membuat Harmoni sedikit ragu. 'Apa benar pria ini buta?' batinnya. Tapi Harmoni tak bisa memastikan, karena mata pria itu tertutup kacamata hitam.
"Taksi ...!" teriak Harmoni, mencoba menghentikan taksi yang melaju kencang. Tangan kirinya melambai ke arah jalan, sedangkan yang satunya lagi memegang erat tangan pria buta itu.
"Santai aja, kali, buru-buru amat," ketus pria itu, saat mendengar Harmoni terus berteriak 'Taksi'.
"Iya, Mas, soalnya setelah mengantar Mas, saya mau ke suatu tempat," jawab Harmoni. Tak lama kemudian, sebuah taksi berhenti di depan mereka.
"Sini, saya bantu, Mas." Harmoni menuntun tangan pria itu dan membukakan pintu mobil untuknya.
Taksi yang ditumpangi terus melaju, hingga tiba di depan sebuah rumah mewah bak istana.
"Stop, kita sudah sampai, kamu ikut masuk, ya?" tawar pria dingin itu mencoba sedikit ramah.
"Maaf, Mas, saya benar-benar nggak bisa. Ini sudah terlambat." Harmoni menolak halus tawaran itu. Dia hanya bisa menatap pria itu masuk rumah dengan bantuan tongkat. Hatinya sedikit terenyuh.
"Astaga ...! Aku lupa menanyakan siapa namanya? Aduh, kok aku bisa lupa, sih?" kata Harmoni setelah pria yang diantarkan itu lenyap ke dalam rumahnya.
"Jalan, Pak!" kata Harmoni lesu pada sopir taksi.
"Tujuannya kemana, Mbak?"
"Sebentar, saya cari alamatnya dulu." Harmoni mencari-cari sesuatu di dalam tasnya. Kertas yang bertuliskan alamat, dan tak terpikir olehnya untuk menghafal alamat itu.
"Astaga, alamatnya hilang! Sepertinya jatuh di tempat tadi. Pak, kita putar balik, ya. Saya mau cari di titik awal tadi, pasti jatuh di sana," kata Harmoni begitu yakin.
"Iya, Mbak."
**************
"Nah, aku bilang juga apa, jatuhnya di sini," kata Harmoni pada dirinya sendiri. Dia lalu masuk taksi tadi, dan menyerahkan selembar sobekan kertas bertuliskan alamat Pak Handoko. Taksi pun kembali melaju, memecah kepadatan jalan.
"Loh, kok berhenti di sini, Pak?" tanya Harmoni. Dia heran, sopir taksi itu menghentikan taksinya di depan gerbang yang tadi sempat didatanginya.
"Iya, Mbak. Alamat yang Mbak kasih itu, memang di sini," jelas sopir taksi.
"Oh, gitu, ya. Kalau saya tahu alamatnya di sini, kita nggak perlu susah-susah balik, ya, Pak?"
"Iya, Mbak,"
********
"Permisi ...." Harmoni melangkah pelan memasuki rumah mewah itu.
"Harmoni, ya?" tanya seorang wanita yang sepertinya menunggu kedatangan Harmoni.
"Iya, saya Harmoni, saya ke sini atas panggilan Pak Handoko," jawab Harmoni dengan sopan.
"Oh, kalau begitu, silakan masuk, Bapak sudah menunggu." Ajak wanita itu, lalu melangkah dan diikuti oleh Harmoni. Harmoni mengira-ngira, kalau wanita ini seumuran dengan Ibunya.
"Pak, Harmoni sudah tiba," ucap wanita itu menunjukkan Harmoni kepada seorang pria setengah baya yang terlihat sangat berwibawa. Nyali Harmoni menciut, begitu melihat wajah dingin pria setengah baya itu.
"Jadi, kamu yang namanya Harmoni? Perkenalkan, saya Handoko, majikan Ibu kamu dulu." Pak Handoko mengulurkan tangannya dengan ramah.
"Saya Harmoni, Pak." Jawab Harmoni menyambut uluran tangan Pak Handoko. Sungguh tak pernah terbayang dalam benak Harmoni, kalau mantan majikan Ibunya itu, sungguh ramah dan hangat.
"Jadi, begini Harmoni, semenjak berhentinya Ibu kamu menjadi asisten rumah tangga di sini, rumah ini tak pernah aman. Maksud saya, setiap ada ART baru, pasti ada saja barang atau uang hilang. Saya tak asal tuduh, rumah ini memiliki CCTV yang tak pernah ada orang tahu di mana tempatnya." Pak Handoko diam sejenak, untuk menyeruput minuman yang tersedia di atas meja.
"Jadi, saya sangat berharap, kalau kamu mau bisa bekerja di sini seperti Ibumu. Jujur dan amanah," sambung Pak Handoko sambil tersenyum sangat manis. Seperti, tersembunyi niat lain dalam senyumnya.
"Iya, Pak. Saya datang jauh-jauh ke sini memang untuk menggantikan ibu saya," jawab Harmoni.
"Baiklah kalau begitu, nanti saya perkenalkan kamu dengan orang-orang yang ada di rumah ini," kata Pak Handoko.
"Pak, pria itu tinggal di sini, juga?" tanya Harmoni mulai penasaran.
"Pria yang mana?"
"Pria yang tadi bersama saya itu,"
"Saya tidakk tahu kamu bersama siapa, Harmoni," jawab Pak Handoko bingung.
"Oh, maaf, Pak. Sepertinya saya salah orang." Harmoni menunduk, sedikit malu telah bertanya tentang pria pada majikannya.
"Iya, sudah. Ayo! Saya kenalkan dengan penghuni rumah." Pak Handoko berdiri, lalu mengajak Harmoni jalan-jalan di dalam rumah.
"Sepertinya orang-orang sedang istirahat. Kamu istirahat juga, dulu. Bawa barang-barang kamu, ya, nanti Bapak antar ke kamar kamu,"
"Iya, Pak."
**********
Malam telah tiba, ini adalah malam pertama Harmoni berada di rumah orang lain. Dia menyangka hanya dirinya yang menjadi ART di rumah itu, ternyata dugaannya salah, dia bersama sepuluh ART.
"Bu, ada berapa orang yang tinggal di rumah ini, ya?" tanya Harmoni pada rekannya sesama ART.
"Di sini, ada enam majikan, Neng. Ada Tuan Handoko, Nyonya Alexa, Aden Ridho, Aden Ihsan, Non Naomi, dan Non Friska, Neng," jelas wanita yang usianya terlihat mamasuki setengah abad itu.
"Oh, gitu, ya. Bu, maaf, ya, kalau boleh bertanya, saya memanggil Ibu, siapa, ya?" tanya Harmoni bingung.
"Panggil saja Ibu Sari, Ibu bagian memasak. Di sini ART-nya memiliki bagian masing-masing, lho, Neng," kata ART yang bernama Ibu Sari itu.
"Wah, hebat, dong. Saya bagian apa, ya, Bu?" tanya Harmoni penasaran.
"Belum ditentukan kayaknya, Neng. Sepertinya mengurus segala keperluan salah satu dari anak Pak Handoko, deh, Neng. Seperti Ibunya Neng dulu, Bu Marni," kata ibu Sari menjelaskan panjang lebar.
"Bu Sari kenal Ibu saya?" tanya Harmoni senang.
"Kenal dong, dia itu orangnya baik banget, kesayangannya Pak Handoko dan mendiang Bu Maharani," jawab Bu Sari.
"Makanan sudah matang semua, nih, Bu. Kapan mau dibawa ke ruang makan?" tanya Harmoni mengalihkan pembicaraan.
"Astaga, sampai lupa, segera dong, Neng. Bantuin Ibu bawa, ya?" pinta Bu Sari.
"Dengan senang hati, Bu." Harmoni bertugas membawa gelas dan minumannya.
Bersambung