Di dunia yang telah berubah akibat invasi monster dari gerbang dimensi, kehidupan manusia tak lagi sama. Para Awakener dan Hunter kini menjadi pahlawan, sementara orang biasa hanya bisa bertahan sebaik mungkin. Retnasari, seorang ibu rumah tangga berusia 35 tahun, menjalankan penginapan kecil di pinggiran kota bersama suaminya dan dua anak mereka. Sayangnya, bisnis mereka merosot karena orang-orang lebih memilih tinggal di zona aman atau markas guild. Kenaikan pajak dan sepinya pelanggan membuat mereka terancam bangkrut. Di tengah keputusasaan, suaminya mengusulkan sebuah cara tak terduga untuk menarik pelanggan dan menyelamatkan bisnis mereka-sebuah ide yang Sari tolak mentah-mentah di awal. Namun, dengan tekanan ekonomi yang semakin menghimpit, akankah Sari tetap bertahan pada prinsipnya, ataukah ia akan tergoda untuk menerima jalan yang ditawarkan? ⚠️ PERINGATAN: Novel ini mengandung konten dewasa, eksplisit, dan tema sensitif yang tidak cocok untuk pembaca di bawah umur. Harap baca dengan kebijaksanaan sendiri.
Dulu, hidup itu sederhana. Bangun pagi, membuka penginapan, melayani tamu, dan menghitung pemasukan sebelum tidur. Hidup memang tidak selalu mudah, tapi setidaknya masih bisa ditebak.
Namun, semua berubah lima tahun lalu ketika gerbang pertama muncul di seluruh dunia.
Awalnya, orang-orang mengira itu hanya fenomena anomali biasa yang terjadi akibat pemanasan global. Namun, sebelum para pakar bisa mengeluarkan teori mereka, monster-monster keluar dari gerbang.
Mereka menghancurkan segalanya. Kota yang dulu ramai berubah menjadi ladang pembantaian. Militer dikerahkan, tetapi mereka tidak cukup kuat. Dunia seakan berada di ambang kehancuran.
Di tengah kekacauan itu, beberapa manusia tiba-tiba mendapatkan kekuatan melalui kebangkitan.
Sebagian orang, entah karena keberuntungan atau takdir, memperoleh kemampuan supernatural. Mereka menyebut diri mereka Awakener.
Kekuatan yang didapatkan setelah kebangkitan bermacam-macam. Ada yang bisa mengendalikan api, ada yang tubuhnya menjadi lebih kuat dari baja, dan ada yang mampu menggunakan sihir maupun menguasai senjata layaknya master bela diri.
Setelah munculnya para Awakener, pemerintah dunia mendirikan Asosiasi Hunter untuk membantu mengarahkan mereka dalam usaha memburu monster dan menutup gerbang.
Dengan kehadiran Awakener dan Asosiasi Hunter, keadaan dunia perlahan kembali stabil. Kota-kota besar berhasil direbut kembali, dan manusia bisa bernapas lega meski hanya sementara.
Gerbang terus bermunculan, dan monster tidak pernah berhenti menyerang. Hanya saja, sekarang orang-orang sudah terbiasa. Dunia tidak lagi sama, tapi manusia, seperti biasa, tetap bisa bertahan dalam keadaan sekritis apa pun.
Namun, tidak semua orang cukup beruntung untuk menjadi Awakener.
Termasuk aku.
Kalau saja aku ini karakter utama dalam novel atau komik, pasti ceritanya akan berbeda. Biasanya, protagonis akan menjadi seorang pria lajang yang tiba-tiba mendapatkan kekuatan luar biasa setelah kebangkitan.
Setelah sukses dengan karier Hunter-nya, ia akan membangun harem berisi wanita-wanita cantik dari berbagai ras, hingga berniat mendominasi dunia dengan kekuatannya.
Tapi sayangnya, aku bukan karakter utama seperti itu.
Aku hanya seorang wanita paruh baya berusia 35 tahun. Aku sudah menikah, punya dua anak, dan pekerjaanku bukan memburu monster atau menaklukkan gerbang dimensi.
Aku hanyalah pemilik penginapan kecil di pinggiran kota yang berada dalam masalah karena terancam bangkrut akibat kekurangan pengunjung.
Di dunia baru ini, siapa yang mau menginap di tempat yang keamanannya tidak terjamin seperti penginapan ku?
Orang-orang biasa lebih memilih tinggal di dalam zona aman, sementara para Awakener dan Hunter lebih suka bermalam di markas guild yang jauh lebih mewah dan memiliki fasilitas lengkap.
Kalau begini terus, aku dan keluargaku mungkin akan kehilangan segalanya.
Dan di sinilah aku sekarang, duduk di meja makan, menatap suamiku yang baru saja mengusulkan ide gila untuk menyelamatkan usaha kami.
Aku menatap Hanif tajam, mencoba memastikan kalau aku tidak salah dengar.
"Apa?" tanyaku, suaraku terdengar lebih dingin dari yang kuperkirakan.
Hanif menggaruk kepalanya, jelas merasa canggung, tapi tetap mencoba menjelaskan. "Aku tidak bilang kamu harus tidur dengan mereka, Sari. Maksudku... cuma pelayan ekstra. Lebih ramah, lebih perhatian. Mungkin sesekali sentuhan kecil, biar mereka betah."
Darahku langsung naik ke kepala. "Pelayan ekstra? Sentuhan kecil?" Aku mendengus, tanganku mengepal di atas meja. "Hanif, kau pikir aku bodoh? Kita berdua tahu ke mana arahnya ini. Sentuhan kecil hari ini, lalu besok kau minta aku masuk ke kamar mereka? Itu yang kau mau?"
Aku menggebrak meja membuat semua benda di atasnya bergetar.
Hanif mengangkat tangannya, seakan berusaha menenangkan aku. "Bukan begitu! Aku... Aku cuma berpikir kita butuh sesuatu yang bisa menarik pelanggan. Kita butuh daya tarik lebih agar mendatangkan lebih banyak pelanggan."
Aku menyipitkan mata, mengamati wajahnya. Hanif memang selalu agak... lain. Sejak dulu, aku tahu dia punya fetish aneh.
Dia suka mengintip. Bukan hanya sekali dua kali aku menangkap basah dia diam-diam mengawasi dari celah pintu pada kamar yang disewa sepasang lelaki dan perempuan. Saat itu, kupikir dia hanya iseng, tidak lebih.
Tapi sekarang?
Dia benar-benar memintaku memberikan layanan istimewa dengan alasan untuk menyelamatkan penginapan.
Aku berdiri dari kursi, kursi kayu itu menggeser lantai dengan suara nyaring. "Tidak. Kita tidak akan melakukan itu. Aku tidak peduli seberapa sepinya tempat ini, aku tidak akan menjual diriku demi menarik pelanggan."
Hanif membuka mulutnya, mungkin ingin membela diri lagi, tapi aku sudah mengangkat tangan. "Cukup. Kita sudah membahasnya. Aku tidak ingin mendengar hal seperti ini lagi."
Dia akhirnya mengangguk, meski raut wajahnya jelas menyiratkan ketidakpuasan.
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan amarahku. "Sudah waktunya membuka kedai, bekerjalah seperti biasa dan buang jauh-jauh pikiran motormu itu selama bekerja,"
Hanif tidak membantah lagi, hanya menghela napas pelan dan mengangguk. Wajahnya menunjukkan kekecewaan yang mendalam.
'Apa dia sebegitu inginya melihatku bersama pria lain?' batinku merasakan keanehan padanya.
***
Sejak pukul enam pagi, kedai ini sudah dibuka. Namun, hingga matahari semakin naik, tak satu pun pelanggan yang datang.
Aku duduk di balik meja kasir, menopang dagu, menatap kosong ke arah dapur di mana Hanif sedang mengaduk sesuatu di atas wajan.
Aroma masakan menyebar ke seluruh ruangan, tapi tetap saja, tidak ada satu pun orang yang datang untuk mencicipinya.
Aku menghela napas panjang. Kalau begini terus, bagaimana kami bisa bertahan?
Untuk pertama kalinya sejak pertengkaran tadi pagi, aku kembali memikirkan usulan Hanif.
Bukan berarti aku setuju, hanya saja... mungkin ada benarnya. Kedai ini terlalu biasa. Penginapan kami juga tidak punya daya tarik.
Di dunia seperti ini, di mana semua orang mencari kenyamanan dan hiburan setelah lelah bertarung atau berdagang, tempat ini tak lebih dari sekadar bangunan tua yang nyaris tak dilirik.
Tapi tetap saja...
"Lagi pula, mana ada orang yang mau pada wanita sepertiku?"
Aku bukan wanita muda berkulit halus seperti gadis-gadis penghibur di kota utama. Mereka punya pakaian indah, tubuh ramping, dan senyum menggoda yang bisa membuat pria manapun jatuh hati. Aku? Aku hanyalah seorang ibu berusia 35 tahun dengan tubuh yang sudah melahirkan dua anak.
"Yah, meskipun aku masih merasa percaya diri dengan bentuk tubuhku," gumamku saat melihat pantulan tubuhku di cermin.
Sebelum pikiranku semakin jauh, pintu kedai tiba-tiba terbuka.
Bunyi lonceng kecil di atas pintu terdengar, dan aku segera menghapus ekspresi murungku. Dengan senyum ramah, aku menyambut tamu pertama hari ini.
"Pak Darwoto, selamat datang!"
Seorang pria tua dengan perut buncit dan janggut berantakan masuk dengan langkah santai. Dia mengenakan mantel panjang khas pedagang keliling, dengan tas besar yang menggantung di punggungnya.
"Hehehe, Sari, kau makin cantik saja," ujarnya dengan suara serak.
Aku hanya tersenyum kecil. Sudah biasa. Darwoto memang seperti ini.
Dia adalah pedagang keliling yang sering singgah di penginapanku setiap kali melewati kota ini.
Dan setiap kali datang, dia selalu merayuku dengan kalimat-kalimat mesum dan tangan usilnya yang selalu mencari kesempatan.
Saat aku berbalik untuk mengambil teh dan pesanan Darwoto, tiba-tiba aku merasakan sentuhan di bokongku.
Seketika tubuhku menegang. Namun, aku tetap mempertahankan senyumku.
"Hush, Pak Darwoto, tangan Anda nakal sekali," ujarku sambil tertawa kecil dengan ekspresi malu.
"Hehehe, jangan marah, Sari. Kau kan tahu aku suka bercanda," katanya, duduk di bangku kayu dengan ekspresi puas.
Aku hanya bisa menghela napas. Mengusirnya bukan pilihan. Dia adalah pelanggan tetap yang selalu membawa uang. Di saat seperti ini, kehilangan pelanggan setia akan menjadi kerugian besar.
Setelah makan, dia meneguk tehnya dengan puas.
Darwoto menatapku dengan tatapan menginginkan . "Jadi, Sari... bagaimana kalau malam ini kau mampir ke kamarku? Aku bayar mahal."
Untuk kesekian kalinya dia menanyakan hal yang sama. Aku merasakan tatapan Hanif di belakang seakan memintaku untuk menyetujui ajakan pria tua ini
Tapi aku tersenyum tipis, menolak dengan cara halus. "Ah, Pak Darwoto, selalu pandai bercanda." Setelah mengatakan itu aku segera mengambil piring kotor dan segera bergegas ke dapur.
Aku masih tersenyum kaku saat menolak tawaran Darwoto, berharap percakapan ini segera berakhir. Tapi ternyata, dia tak langsung menyerah seperti biasanya.
"Bukan cuma itu yang mau kubicarakan, Sari," katanya, meletakkan cangkir tehnya. "Kudengar dari sumber yang bisa dipercaya... gubernur akan menaikkan pajak kota."
Tanganku yang sedang mencuci piring tiba-tiba berhenti. Aku menoleh, menatap Darwoto tajam.
"Apa?" suaraku nyaris bergetar.
Dia mengangguk, wajahnya lebih serius dari sebelumnya. "Katanya, mulai bulan depan. Pajak bangunan, pajak usaha, semuanya naik. Dan seperti biasa, alasannya demi keamanan. Buat membayar lebih banyak Hunter supaya kota ini tetap aman dari monster."
Aku hampir saja membelah piring yang ada di tanganku kalau tidak segera sadar. Aku menggertakkan gigi, menahan amarah yang berkumpul di dadaku.
Keamanan? Pajak? Omong kosong!
"Ini bukan pajak," gumamku, lalu menoleh ke Darwoto. "Ini pemerasan."
Aku meletakkan piring dengan kasar ke rak, airnya masih menetes. "Kita sudah susah payah bertahan hidup, dan sekarang mereka mau menambah beban kita?"
Saat ini, penginapan kami sepi. Pendapatan kedai bahkan nyaris tidak cukup untuk biaya sehari-hari. Aku sudah cukup terpaksa membiarkan kedua putraku bekerja demi menambah penghasilan keluarga. Dan sekarang pajak mau dinaikkan?
Aku mengepalkan tangan. "Brengsek!"
Hanif, yang mendengar suaraku dari dapur, mengintip dengan ekspresi waspada. "Ada apa, Sari?"
Aku menoleh, lalu menghela napas panjang, mencoba meredam amarahku. "Tidak ada," kataku singkat. Lagipula jikapun Hanif tahu masalahnya, dia tidak akan menemukan solusinya.
***
Langit mulai berubah jingga saat kedua putraku pulang.
Rian, anak sulungku yang berusia 18 tahun, masuk lebih dulu. Tubuhnya tinggi, meski sedikit kurus karena kurang makan yang cukup. Bajunya penuh debu, mungkin karena seharian mengangkat barang di pasar.
Di belakangnya, Sani, anak bungsuku yang baru 13 tahun, terlihat lebih lelah. Dia masih membawa sekeranjang buah yang belum sempat terjual.
"Bu, kami pulang," kata Rian, suaranya terdengar lelah.
Aku tersenyum tipis, menyambut mereka dengan tangan terbuka. "Ayo duduk, Ibu sudah siapkan makan malam."
Sani mengangguk pelan, menaruh keranjang buah di sudut ruangan sebelum merebahkan kepalanya di meja. "Aku capek banget, Bu," gumamnya.
Aku mengelus rambutnya lembut, perasaan bersalah menyelip di hatiku. Mereka masih terlalu muda untuk bekerja sekeras ini.
Saat melihat mereka kelelahan seperti ini, aku tidak tega membayangkan harus meminta mereka bekerja lebih keras lagi demi menutupi pajak yang akan naik.
Lalu, tanpa sadar, aku kembali teringat ucapan Hanif.
Pelayan ekstra.
Aku menggigit bibirku, menolak membiarkan pikiranku berbelok ke arah itu lagi. Tapi kenyataan tetaplah kenyataan.
Kami butuh uang.
Dan aku masih belum tahu harus melakukan apa.