Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Ketagihan Ibu Tiri

Ketagihan Ibu Tiri

Fajar Merona

5.0
Komentar
42.1K
Penayangan
83
Bab

Bacaan Khusus Dewasa

Bab 1 Pesona Ibu Tiri, 1

Pagi itu tanpa sengaja pandanganku tertumbuk ke sebuah flashdisk berwarna merah yang tergeletak di dekat pintu depan. Iseng kuambil dengan yakin bahwa flashdisk itu bukan milik suamiku, karena flashdisk punya suamiku selalu yang berwarna hitam.

Lalu punya siapa flashdisk ini? Apa isinya?

Rasa penasaran menjalar. Lalu kubawa flashdisk itu ke dalam kamarku. Kuaktifkan laptopku sambil memasukkan flasdisk itu ke USB.

Ternyata flashdisk itu punya Tito, anak tiriku yang sekarang sedang sekolah. Tadinya aku sangka flashdisk itu berisi hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan ujian, karena dia sudah duduk di bangku kelas 3 SMA. Ternyata bukan.

Isinya beberapa video dewasa. Aaah, apakah Tito sudah layak menyimpan video-video sepanas ini? Bukankah usianya baru 17 tahun? Haruskah aku tegur dan kunasihati dia agar tidak menyimpan hal-hal yang belum waktunya diketahui? Ataukah kusembunyikan saja flashdisk ini atau aku buang sekalian ke dalam got?

Tiba-tiba perhatianku tertuju ke folder yang berjudul “Mami.” Apa isinya? Bukankah aku yang biasa dipanggil mami olehnya? Apakah folder itu berisi sesuatu yang menyangkut diriku?

Dengan penasaran kubuka folder itu. Ternyata isinya tulisan mengenai diriku. Jujur, aku berdebar-debar membacanya :

^*^

Sejak ibu kandungku tiada, mami hadir dalam kehidupan Papi. Waktu Papi menikah dengan Mami, umurku baru 7 tahun. Aku senang-senang saja punya ibu tiri yang harus kupanggil Mami itu. terlebih setelah bertahun-tahun dia menjadi pengganti ibuku. Aku merasa benar-benar mendapat pengganti ibu kandungku, yang menyayangi diriku, yang selalu memperlakukanku dengan lemah-lembut dan sebagainya.

Setahuku, pada waktu Mami resmi menjadi istri Papi, usianya baru 20 tahun. Sedangkan Papi sudah 40 tahun. Perbedaan usia yang sangat jauh. Tapi kelihatannya mereka enjoy-enjoy saja. Dalam hal itu aku salut juga pada Papi, karena beliau mampu mendapatkan seorang gadis yang masih belia untuk dijadikan istrinya.

Waktu aku masih kecil, sosok mami tak pernah kuperhatikan secara khusus. Aku cuma tahu bahwa dia seorang ibu tiri yang baik, yang memperlakukanku seperti anak kandungnya sendiri. Tapi setelah aku di SMA, diam-diam aku mulai sering memperhatikan ibu tiriku itu. Bahwa dia seorang wanita muda yang cantik, bertubuh tinggi semampai, berkulit putih bersih sangat menggairahkan.

Pagi itu aku mau minta uang kepada mami, untuk keperluan sekolah. Memang Papi sudah menyuruhku agar segala keperluanku harus meminta kepada mami, supaya hatinya enak, katanya.

Papi sudah berangkat kerja, mami masih di kamarnya. Seperti biasa, aku buka saja pintu kamar mami, lalu masuk ke dalam. Tapi apa yang kulihat? Ooooh, aku benar-benar dibuat terkejut lalu terpana karena mami masih tidur terlentang di tempat tidurnya, dengan kimono terbuka lebar sehingga sepasang kakinya yang putih mulus itu tak tertutup apa-apa.

Tampak jelas dari telapak kaki sampai ke pangkal pahanya. Tapi yang teramat mendebarkan adalah bagian di antara kedua pangkal pahanya itu oooh, mami tidur tanpa mengenakan celana dalam. Maka bagian yang berbulu lebat hitam itu tampak jelas di mataku.

Aku tak tahu apakah Mami terbiasa tidur tanpa celana dalam atau tengah malam dia buang air dan malas mengenakan kembali celana dalamnya, entahlah. Yang jelas aku jadi gemetaran dan buru-buru keluar lagi dari kamar mami, dengan perasaan yang tak menentu.

Gilanya, setelah berada di dalam kamarku lagi, jiwaku jadi dikuasai hasrat yang tak terkendalikan. Penisku ngaceng berat membayangkan indahnya kalau aku bisa menyentuh dan menggeluti bagian tubuh di antara kedua pangkal paha mami yang tampak sangat merangsang itu.

Ooooh kenapa aku jadi begini?

^*^

Panjang lebar Tito memujiku dalam tulisan itu. Banyak lagi yang dia tulis di catatan rahasia ini. Kesimpulannya, Tito jadi sering membayangkan diriku. Bahkan pada suatu malam dia pernah bermimpi didekati olehku dalam keadaan sama-sama telanjang. Lalu dia melakukan sesuatu yang sering dibayangkannya. Dan esoknya dia mendapati celananya basah, akibat mimpi itu.

Dalam catatan itu pun dia mengakui bahwa kalau lamunan tentang diriku tak terkuasai lagi, dia melakukan masturbasi, sambil membayangkan tengah menggeluti tubuhku. Bahkan Tito pernah melakukan onani berkali-kali dalam semalam, untuk meredakan khayalannya tentang diriku, mami tirinya.

Semuanya itu membuatku jadi serba salah. Tadinya aku akan menegur Tito, karena aku temukan video porno di dalam flashdisknya itu. Tapi tulisan di flashdisk itu, yang berisi kekagumannya terhadap diriku, membuatku jadi kikuk. Maka kuambil keputusan untuk meletakkan kembali flashdisk itu di tempatnya semula, lalu aku akan bersikap pura-pura tidak tahu saja.

Namun di hari-hari berikutnya, aku mulai sering memperhatikan Tito secara diam-diam. Mulai memikirkan apa yang sedang terjadi pada dirinya.

Dan gilanya, aku mulai membayangkan serunya jika tubuhku digeluti oleh anak muda yang anak tiriku sendiri itu. Maklum, aku baru berusia 30 tahun, sementara suamiku sudah 50 tahun. Sesekali memang aku suka membayangkan sosok muda yang perkasa, yang tidak loyo seperti suamiku. Tapi sungguh, tadinya aku tak pernah membayangkan sosok muda itu anak tiriku sendiri. apalagi usia Tito baru 17 tahun.

Bang Martin, suamiku tidak impoten. Tapi ya potensi lelaki yang usianya sudah setengah abad, tentu beda dengan yang masih muda.

Setiap kali berhubungan sex dengan suamiku, aku selalu tidak puas. Tapi aku tak pernah menggerutu ataupun memperlihatkan sikap tidak puas. Karena tenggang rasaku cukup kuat. Karena di sisi lain, aku mempunyai kepuasan duniawi darinya. Apa pun yang kuinginkan, selalu dikabulkan. Bahkan kehidupan orang tuaku di kampung, sangat diperhatikan oleh suamiku.

Rumah baru dibangunkan. Perabotan serba mahal dibelikan. Sehingga derajat orang tuaku jadi meningkat setelah aku menikah dengan Bang Martin. Kehidupanku sendiri tak pernah kekurangan. Rumahku cukup megah, di daerah perumahan paling elit di kotaku. Mobil untuk keperluan pribadiku sudah dibelikan. Perhiasan yang mahal-mahal pun sudah menjadi milikku. Maka tiada alasan bagiku untuk tidak merasa puas menjadi istri Bang Martin.

Tapi kenapa sejak membaca file dari flashdisk Tito, pikiranku jadi sering melayang-layang tak menentu? Kenapa aku jadi sering memperhatikan gerak-gerik Tito secara diam-diam?

Hari demi hari berlalu dengan pesatnya. Tanpa terasa sebulan telah berlalu. Dan kesempatan yang diam-diam kutunggu pun tiba.

Bang Martin terbang ke Kaltim, untuk mengurus bisnisnya. Biasanya dia bisa lebih dari sebulan berada di Kaltim. Kali ini pun rencananya 40 hari dia akan berada di sana.

Rasanya aku tak sabar lagi menunggu kesempatan ini.

Lalu kuputar otakku. Kuputar sampai sore…sampai Tito tampak sudah pulang dari sekolahnya.

Aku pun keluar dari kamarku. Menghampiri pintu kamar Tito. Tadinya aku cuma mau mengajak makan di luar padanya. Tapi ketika kubuka pintu kamarnya, o my God…dia baru menanggalkan seluruh seragam sekolahnya, mau mengganti dengan pakaian rumah…dan…aku benar-benar terkejut ketika melihat bagian tubuh anak tiriku yang di bawah perutnya itu.

Mungkinkah abg berusia 17 tahun bisa memiliki penis sepanjang dan sebesar itu? Jauh lebih tinggi tegap daripada punya ayahnya. Tapi cepat aku ingat cerita suamiku, bahwa mendiang ibu kandung Tito itu wanita Pakistan. Mungkin anatomi Tito banyak menuruni garis ibunya. Sementara suamiku asli Indonesia, maka penisnya pun biasa-biasa saja.

“Kita makan di luar aja yu,” kataku pada Tito yang tampak kaget dan cepat-cepat menutupi kemaluannya dengan kedua tangannya.

“I…iya Mam…” sahutnya tergagap. Dan aku bersikap seolah tak melihat sesuatu yang aneh.

Beberapa saat kemudian aku dan anak tiriku sudah berada di dalam mobil yang melesat ke arah utara. Sengaja kubiarkan Tito yang nyetir mobilku. Karena sekarang dia sudah punya SIM. Dan cara nyetirnya sudah cukup halus.

“Papi ngasih duit gak?” tanyaku ketika sedanku sudah berada di Jalan Setiabudhi.

“Enggak Mam,” sahut Tito, “Papi bilang kalau ada kebutuhan minta sama mami aja.”

“Iya.” Aku mengangguk-angguk kecil.

Sementara ingatanku melayang pada yang kulihat sekilas tadi. Sebentuk penis remaja yang terkulai lemas tapi panjang dan gede banget. Gak kebayang seperti apa kalau penis anak tiriku itu sudah tegang….hmmm…gila, diam-diam aku jadi horny nih.

Tito membelokkan mobil ke pekarangan restoran langgananku.

“Di sini kan makannya, mam?” tanyanya sebelum mematikan mesin mobilku.

“Iya. Kamu juga udah lapar kan?”

“Hehee….iya, Mam. Kan pulang sekolah tadi belum makan.”

Lalu kami melangkah memasuki restoran itu.

Pada saat menunggu makanan pesanan datang, aku tatap wajah Tito. Emang tampan wajah anak tiriku itu. Maklum darah campuran dengan Pakistan. Tubuhnya tinggi semampai, hidungnya mancung, matanya bundar dan kulitnya sawo matang.

“Udah lama gak ke Ciater ya,” kataku, “Nanti pulangnya ke sana yu,” lanjutku.

“Iya Mam,” Tito mengangguk dengan senyum ceria, “Aku paling seneng berendem di Ciater.”

“Tapi ini sudah sore, pulangnya pasti malem nanti.”

“Di Ciater kan rame terus buka dua puluh empat jam, Mam. Makin malam makin rame, sampe subuh masih aja banyak orang yang datang. Tapi….”

“Kenapa?”

“Kita gak bawa handuk dan sabun Mam.”

“Beli aja di sini. Kan di samping restoran ini ada minimart tuh…”

“Oh, iya… iya Mam. Sekarang aja belinya Mam, sambil nunggu pesanan kita datang.”

“Iya.” Aku mengangguk sambil mengeluarkan ATM.

“Pake debit aja. Beli handuk dua, sabun cair dan shampoo yang biasa mami pakai ya. Nomor pinnya hapalkan.”

“Iya Mam.”

“Oh iya, sekalian beli buat cemilan juga, To.”

“Iya,” Tito berdiri dan bergegas keluar dari restoran.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Fajar Merona

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku