Seorang pria yang terlihat bahagia dengan pernikahannya diam-diam menjalin hubungan dengan sahabat istrinya. Ketika kebenaran terungkap, dampaknya menghancurkan kehidupan semua orang yang terlibat.
Aditya dan Melani berjalan bersama menuju pintu rumah mereka yang megah, tangan mereka saling menggenggam dengan erat. Pemandangan sore yang indah dengan sinar matahari yang perlahan menghilang, seolah menyelimuti kehidupan mereka dengan kesan yang sempurna. Namun, jika ada yang melihat lebih dekat, mereka akan tahu bahwa ada sesuatu yang tidak terlihat dalam senyum manis di wajah mereka.
"Pulang lebih cepat hari ini?" tanya Melani, suaranya lembut, namun ada kelelahan yang samar di balik kata-katanya.
"Ya, aku ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersamamu," jawab Aditya sambil tersenyum, tapi sorot matanya sejenak menghindar, seakan ada sesuatu yang mengganjal.
Mereka masuk ke dalam rumah, dan Aditya segera meletakkan tas kerjanya di meja. Melani mengikuti, matanya menilai wajah suaminya yang tampak sedikit berbeda hari itu. Sesuatu yang tidak bisa ia tangkap dengan pasti.
"Aditya, ada yang berbeda denganmu hari ini. Kamu kelihatan lelah," kata Melani, sambil melepaskan sepatu dan duduk di sofa. Pandangannya terfokus pada suaminya.
Aditya berhenti sejenak dan menghela napas. "Hanya sedikit tekanan di kantor. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, sayang."
Melani mengangguk, meskipun ia tidak sepenuhnya yakin. Ia tahu Aditya tidak pernah berkata begitu sebelumnya. Biasanya, ia lebih terbuka tentang pekerjaannya. Namun, akhir-akhir ini, ada sesuatu yang berbeda. Aditya lebih tertutup, lebih sibuk dengan telepon dan email yang terus masuk. Melani mencoba untuk tidak berpikir terlalu banyak, tapi keraguan itu terus berkembang dalam pikirannya.
"Kita akan makan malam bersama malam ini?" tanya Melani dengan suara ceria, berusaha mengubah topik pembicaraan.
"Tentu. Aku akan segera memesan makan malam. Kita harus merayakan akhir pekan ini." Aditya mengangguk cepat, berusaha terlihat lebih santai. Namun, Melani bisa merasakan ketegangan yang semakin jelas di sekitarnya.
Tidak ada yang lebih penting bagi Melani selain keluarga mereka. Ia merasa bangga dengan pernikahannya, dan meskipun beberapa kali ada perasaan tidak nyaman, ia selalu meyakinkan dirinya bahwa ini hanyalah fase yang akan berlalu. Tapi ketegangan itu semakin terasa, meski ia berusaha menepisnya.
"Aditya, aku merasa ada yang perlu kita bicarakan." Melani berdiri dan menghampiri suaminya, meletakkan tangan di pundaknya.
Aditya menoleh dengan sedikit terkejut, namun segera menyembunyikan raut wajahnya yang gelisah. "Ada apa, sayang?"
"Aku hanya merasa, entah kenapa, akhir-akhir ini kita... terpisah. Seperti ada tembok di antara kita." Suara Melani pelan, namun ada kekuatan di balik kata-katanya.
Aditya terdiam, matanya fokus pada Melani sejenak. "Kamu terlalu banyak berpikir," jawabnya, suaranya tenang, tapi nada itu terdengar agak dingin. "Semua baik-baik saja. Kita hanya sibuk, itu saja."
Melani mengangguk, namun hatinya terasa berat. "Aku berharap itu benar," gumamnya.
Dalam hati, ia merasa cemas, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaannya tanpa merusak suasana. Ia ingin Aditya melihat betapa pentingnya perasaan dan kedekatan mereka, namun sepertinya ia mulai merasa tersisih.
Saat Aditya melangkah menuju ruang makan untuk memesan makan malam, Melani hanya bisa menatapnya dari belakang. Ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tidak bisa ia sentuh, namun ia tahu itu ada. Seperti bayang-bayang gelap yang semakin mendekat.
Beberapa hari kemudian, Aditya menerima telepon dari seseorang yang tidak bisa ia abaikan. Ia menjawabnya dengan suara terendah, memastikan Melani tidak mendengar pembicaraan itu.
"Apakah kamu sudah siap?" suara itu terdengar dari ujung telepon.
"Ya, aku akan bertemu denganmu malam ini." Aditya meneguk ludah, lalu menutup telepon dengan cepat, berharap tidak ada yang mencurigai.
Di balik semua ini, Melani masih berusaha untuk mempertahankan keseimbangan hidupnya. Tapi perasaan tidak nyaman itu terus menghantuinya. Apakah ia terlalu banyak berpikir? Atau ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi?
Hari demi hari berlalu, dan tanpa Melani sadari, bayang-bayang pengkhianatan mulai mengintai dari tempat yang paling tidak terduga.
Setelah makan malam yang terasa sepi dan penuh keheningan, Melani duduk di ruang tamu, menatap api yang menyala di perapian. Suasana rumah itu terasa hangat, namun ada jarak yang semakin lebar di antara dirinya dan Aditya. Ia mencoba untuk tidak terlalu memikirkan perasaan cemas yang semakin mengganggunya.
Namun, malam itu, matanya tak bisa lepas dari ponsel Aditya yang tergeletak di atas meja. Ponsel itu bergetar beberapa kali, dan meskipun ia berusaha untuk tidak memperhatikannya, ada sesuatu dalam hatinya yang mengatakan bahwa ia perlu melihatnya.
Dengan hati-hati, Melani mengambil ponsel itu. Layar menunjukkan nama yang tidak dikenalnya, "Rina."
"Rina?" Melani bergumam, kebingungan. Ia tahu bahwa Rina adalah sahabat dekatnya, seorang wanita yang selalu ada untuk mereka berdua. Namun, mengapa Rina menelepon Aditya malam-malam begini?
Melani menatap ponsel itu sejenak. Hatinya berdebar, tetapi ia mencoba menenangkan diri. "Mungkin hanya urusan pekerjaan," pikirnya. Namun, perasaan tidak enak itu kembali muncul.
Saat ia hendak menaruh ponsel kembali, sebuah pesan masuk.
"Aditya, jangan lupa janji kita nanti malam. Aku tunggu di tempat biasa."
Melani merasa seolah-olah dunia berhenti berputar. Jantungnya berdetak kencang, tubuhnya terasa kaku. Ia tak bisa mengalihkan pandangannya dari pesan itu. Tangan Melani gemetar saat membaca kalimat tersebut, dan satu pertanyaan muncul di pikirannya: "Apa yang sedang terjadi di antara mereka?"
Ia segera meletakkan ponsel itu kembali ke meja dengan hati yang berat, mencoba untuk menenangkan diri. Melani menatap Aditya yang tengah duduk di kursi sebelah, matanya kosong menatap televisi, meskipun jelas pikirannya sedang berada di tempat lain.
"Aditya," suara Melani nyaris tak terdengar. "Siapa Rina bagimu?"
Aditya menoleh dengan kaget, seakan tidak mendengar pertanyaan itu sebelumnya. Namun, ia tersenyum tipis, mencoba untuk menunjukkan sikap santai. "Dia hanya sahabatmu, kan? Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Melani mengangguk, meskipun hatinya berkata sebaliknya. "Tapi kenapa pesan-pesan itu terasa aneh? Mengapa kalian terus berkomunikasi begitu intens?"
Aditya tampak terdiam. Ia mengubah posisi duduknya, menatap Melani dengan pandangan yang sedikit gelisah. "Kamu terlalu berpikir banyak, sayang. Rina adalah temanmu, dan tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."
Melani menatapnya tajam, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan adanya jarak yang sangat jelas di antara mereka. "Aditya, aku merasa ada yang disembunyikan dari aku."
Aditya menghela napas panjang, lalu berdiri. "Melani, aku lelah. Aku tidak ingin ada pembicaraan seperti ini malam ini."
"Tapi kita harus bicara, Aditya!" suara Melani sedikit meninggi. Ia tidak bisa menahan perasaan yang sudah menumpuk dalam dirinya. "Kenapa kamu selalu menghindari pertanyaan tentang Rina? Apa yang terjadi di antara kalian?"
Aditya menatapnya, wajahnya semakin gelap. "Tidak ada yang perlu dijelaskan. Cobalah untuk percaya padaku, Melani."
"Aku ingin percaya padamu, Aditya. Tapi kamu membuatnya sangat sulit."
Dengan itu, Aditya pergi begitu saja, meninggalkan Melani yang merasa bingung dan patah hati. Ia menatap pintu yang tertutup, seolah tahu bahwa malam ini, dunia mereka tidak akan pernah sama lagi.
Keesokan paginya, suasana rumah masih terasa kaku. Melani dan Aditya saling menghindar, tidak banyak bicara. Namun, dalam hati Melani, semakin tumbuh keraguan yang semakin kuat. Ia tidak bisa lagi berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.
Melani mengingat kembali pesan yang ia temukan di ponsel Aditya. "Aku tunggu di tempat biasa." Tempat biasa? Apa maksudnya? Apa yang seharusnya terjadi di tempat itu?
Ia tak bisa menahan rasa penasaran yang semakin membesar. Keputusan yang sulit datang menghampirinya.
Jika ia ingin mengetahui kebenaran, Melani harus bertindak. Namun, apakah ia siap menghadapi kenyataan yang mungkin jauh lebih menyakitkan dari apa yang ia bayangkan?
Sementara itu, Aditya tetap diam, tampak gelisah. Ia tahu bahwa perasaan Melani mulai berubah, namun ia memilih untuk tidak membuka mulut. Setiap kali ia mendekati topik itu, ia merasa semakin terperangkap dalam kebohongan yang telah ia bangun.
Rina-sahabat yang seharusnya bisa dipercaya-telah menjadi bagian dari bayang-bayang pengkhianatan yang membayangi setiap langkah mereka. Dan Aditya tahu, ia hanya bisa berdoa agar semuanya tidak terbongkar.
Bersambung...
Buku lain oleh Avrilia Nadhifa
Selebihnya