Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Jejak Cinta di Kota Hujan

Jejak Cinta di Kota Hujan

Stupid Cupid

5.0
Komentar
2
Penayangan
17
Bab

Naya, seorang penulis muda yang tengah mengalami kebuntuan ide, memutuskan untuk pindah ke sebuah kota kecil yang selalu diselimuti hujan. Di kota yang sepi namun penuh dengan atmosfer magis itu, Naya berharap menemukan inspirasi untuk novel terbarunya. Tak disangka, di sebuah kafe lokal yang sering dia kunjungi, Naya bertemu dengan Arga, seorang barista yang pendiam dan misterius. Ada sesuatu tentang Arga yang membuat Naya penasaran-seolah-olah dia menyembunyikan sebuah rahasia besar. Ketika Naya mulai jatuh cinta pada Arga, sebuah fakta mengejutkan terungkap: Arga ternyata adalah seorang penulis terkenal yang telah lama menghilang dari dunia publik karena sebuah skandal besar. Terombang-ambing antara cintanya yang semakin dalam dan keinginan untuk mengungkap kebenaran, Naya dihadapkan pada pilihan sulit. Apakah dia akan membeberkan identitas asli Arga demi keadilan, atau justru melindungi rahasia lelaki yang telah berhasil mengisi kembali hatinya?

Bab 1 Hujan yang Mengalirkan Cerita

Naya Priatama menatap keluar jendela kecil dari apartemen yang baru ia sewa di pinggiran kota kecil bernama Windfall. Kota itu terkenal dengan hujannya yang tiada henti, seolah awan kelabu tak pernah mau beranjak dari langit. Hujan gerimis yang jatuh dengan ritme lembut mengiringi pikirannya yang sedang buntu. Setiap tetes air yang menimpa kaca jendela seakan berbisik, menantang imajinasinya yang sudah lama terjebak dalam kebuntuan.

"Apa yang sedang kucari di sini?" gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.

Naya datang ke kota ini dengan harapan besar. Setelah kesuksesan novel debutnya, ia merasa tekanan untuk menghasilkan karya kedua yang lebih baik. Namun, seiring waktu, ide-ide yang dulu mengalir bebas kini seakan terhenti. Inspirasi yang ia harapkan akan muncul dari tempat baru ini tampak menghindarinya, seolah menguji ketabahan dan kemampuannya sebagai seorang penulis.

Apartemennya sederhana-hanya terdiri dari ruang tamu kecil, dapur yang terhubung dengan ruang makan, dan satu kamar tidur. Tidak banyak yang bisa ia lakukan di tempat itu selain menulis, dan itulah yang ia inginkan. Tidak ada gangguan, tidak ada keramaian, hanya dia dan laptopnya.

Namun, saat ini, bahkan laptopnya terasa seperti musuh. Layar putih kosong yang menunggu untuk diisi kata-kata hanya membuat Naya semakin frustasi. Setiap kali ia mencoba mengetik, kata-kata yang muncul terasa tidak memadai, tidak cukup kuat untuk melanjutkan ceritanya.

Naya menarik napas panjang, mencoba meredakan kekesalannya. Ia memutuskan untuk keluar, mencari udara segar, atau mungkin, inspirasi yang selama ini menghindar. Setelah mengenakan jaket tebal dan membawa payung, ia melangkah keluar dari apartemen menuju pusat kota yang hanya berjarak beberapa menit berjalan kaki.

Windfall bukanlah kota besar, tetapi memiliki pesona yang unik. Jalan-jalan kecil yang berkelok, deretan toko-toko kuno dengan papan nama yang sudah mulai pudar, dan penduduk lokal yang ramah meskipun tampak sedikit tertutup. Naya merasa ada sesuatu yang istimewa di tempat ini-sebuah energi yang sulit dijelaskan, seolah setiap sudut kota menyimpan cerita tersendiri.

Saat hujan semakin deras, Naya mempercepat langkahnya. Ia menemukan dirinya berhenti di depan sebuah kafe kecil yang tampak hangat dan mengundang. Papan kayu di depan pintu bertuliskan "Café Aria" dengan huruf kursif yang anggun. Tanpa berpikir panjang, ia membuka pintu kafe dan disambut dengan aroma kopi yang menenangkan.

Suasana di dalam kafe sangat kontras dengan cuaca di luar. Dindingnya dihiasi dengan rak-rak penuh buku, musik jazz lembut mengalun di latar belakang, dan beberapa pelanggan duduk menikmati minuman mereka sambil membaca atau berbincang pelan. Tempat ini langsung memberikan Naya perasaan nyaman yang sudah lama ia cari.

Naya melangkah menuju meja kosong di dekat jendela, tempat ia bisa melihat hujan yang terus turun di luar. Ia baru saja duduk ketika seorang pria mendekatinya. Dia mengenakan seragam barista berwarna hitam dengan celemek cokelat muda, rambutnya yang hitam pekat sedikit berantakan, namun menambah pesonanya. Matanya tajam, tetapi ada sesuatu yang misterius dalam tatapannya.

"Selamat sore," sapanya dengan suara rendah dan tenang. "Ada yang bisa saya bantu?"

Naya menatapnya sejenak sebelum tersadar dari lamunannya. "Oh, selamat sore. Saya akan pesan latte, tolong."

Barista itu mengangguk pelan. "Baik, satu latte. Apakah Anda ingin menambahkan sesuatu yang lain?"

Naya menggeleng. "Tidak, itu saja. Terima kasih."

Sebelum pria itu berbalik, Naya merasakan dorongan untuk bertanya lebih jauh. Namun, ia menahan diri dan hanya mengangguk sopan. Pria itu berjalan kembali ke barista counter, meninggalkan Naya dengan pikirannya.

Ada sesuatu yang menarik tentang pria itu-sesuatu yang membuat Naya ingin tahu lebih banyak. Tapi apa? Mungkin cara dia membawa dirinya, atau mungkin tatapannya yang dalam seolah menyimpan cerita yang tak terkatakan.

Sambil menunggu pesanannya, Naya mencoba membuka laptopnya dan menulis beberapa kalimat. Namun, pikirannya terus mengembara pada barista misterius itu. Apakah dia penduduk asli di kota ini? Atau mungkin dia juga seseorang yang datang ke sini untuk melarikan diri dari sesuatu, seperti dirinya?

Tak lama kemudian, latte pesanannya tiba, diantarkan oleh barista yang sama. Dia meletakkan cangkir di atas meja dengan hati-hati, lalu berkata, "Semoga Anda menikmati minuman ini."

Naya mengangguk dan memberikan senyum kecil. "Terima kasih."

Pria itu kembali ke posisinya di belakang counter, tetapi Naya masih merasa ada sesuatu yang aneh. Selama sisa sore itu, Naya duduk di kafe, mencoba menulis dan mengamati sekelilingnya. Namun, perhatian utamanya tetap tertuju pada barista yang sesekali melirik ke arah Naya, seolah menyadari bahwa ia sedang diperhatikan.

Waktu berlalu dengan cepat. Naya akhirnya memutuskan untuk pulang ketika hujan mulai reda sedikit. Ia menyimpan laptopnya dan berdiri, bersiap untuk meninggalkan kafe. Namun, sebelum ia benar-benar melangkah keluar, sesuatu menarik perhatiannya-sebuah buku catatan tebal berwarna hitam yang tergeletak di atas meja di belakang counter. Sebagian kecil dari halaman dalamnya terlihat, seolah-olah sengaja dibiarkan terbuka.

Naya merasa ada sesuatu yang aneh pada buku itu. Mungkin karena posisinya yang terlalu mencolok, atau mungkin karena instingnya sebagai penulis yang membuatnya penasaran. Tanpa berpikir panjang, ia mendekati counter dan memutuskan untuk berbicara dengan barista itu.

"Maaf," panggilnya pelan. Pria itu menoleh, sejenak terlihat kaget dengan keberadaan Naya yang tiba-tiba di dekatnya.

"Ya?" jawabnya.

"Saya tidak bisa menahan rasa penasaran saya," kata Naya sambil menunjuk ke buku catatan hitam itu. "Apakah itu milik Anda?"

Pria itu terlihat sedikit ragu, namun akhirnya ia mengangguk. "Ya, itu buku catatan saya. Mengapa?"

Naya tersenyum sedikit malu. "Saya hanya penasaran. Sebagai penulis, saya sering membawa buku catatan sendiri untuk mencatat ide-ide yang datang tiba-tiba. Jadi, saya merasa terhubung setiap kali melihat seseorang membawa buku catatan."

Pria itu tertawa kecil, sebuah suara yang jarang didengar Naya sepanjang pertemuan mereka. "Begitukah? Menulis adalah sebuah seni yang membutuhkan dedikasi, dan saya rasa kita semua yang terlibat di dalamnya memiliki rasa persaudaraan yang sama."

Naya mengangguk setuju. "Benar sekali. Saya sering merasa bahwa hanya dengan menulis, saya bisa benar-benar mengekspresikan diri."

Percakapan mereka mulai mengalir lebih lancar, dan Naya merasa semakin tertarik pada pria ini. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Naya, dan pria itu akhirnya menyebutkan namanya, Arga. Namun, ada sesuatu dalam cara Arga berbicara yang membuat Naya merasa bahwa dia sedang menyembunyikan sesuatu. Cara dia memilih kata-katanya, bagaimana dia menghindari pertanyaan yang terlalu pribadi, semua itu menambah rasa misteri yang sudah melingkupi dirinya.

Sebelum Naya pergi, Arga tiba-tiba berkata, "Jika Anda tertarik, Anda bisa datang ke sini lagi. Mungkin kita bisa berbagi ide-ide menulis."

Naya terkejut dengan tawaran itu, tetapi ia menerimanya dengan senang hati. "Tentu saja, saya akan sangat senang. Terima kasih."

Sepanjang perjalanan pulang, Naya merasa ada sesuatu yang berubah. Pertemuannya dengan Arga memberikan perasaan yang baru, seperti lembaran cerita yang siap untuk ditulis. Namun, di balik semua itu, ada rasa penasaran yang tak bisa diabaikan-siapakah Arga sebenarnya? Dan apa yang ia sembunyikan?

Saat Naya tiba di apartemennya dan mulai menulis, pikirannya terus kembali pada sosok Arga. Ia mencoba menggali lebih dalam apa yang ia rasakan, namun setiap kali ia merasa hampir menemukan jawabannya, pikiran itu kembali melesat, menyisakan lebih banyak pertanyaan.

Pagi berikutnya, Naya kembali ke Café Aria, berharap bisa bertemu dengan Arga lagi. Namun, kali ini suasana di kafe berbeda. Tidak ada Arga, hanya seorang barista lain yang tampak asing bagi Naya.

Naya merasa kecewa, namun ia memutuskan untuk tetap tinggal dan menulis. Setelah beberapa jam, ia memutuskan untuk bertanya kepada barista yang bekerja di sana. "Maaf, apakah Arga hari ini tidak masuk

kerja?"

Barista itu mengerutkan kening, tampak bingung. "Arga? Saya tidak yakin siapa yang Anda maksud."

Naya terkejut. "Barista yang bekerja di sini kemarin, dia yang melayani saya."

Barista itu tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, "Maaf, tapi saya sudah bekerja di sini sejak pagi, dan saya tidak melihat ada orang bernama Arga yang bekerja di sini."

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Stupid Cupid

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku