Jejak Cinta di Kota Hujan
jannya yang tiada henti, seolah awan kelabu tak pernah mau beranjak dari langit. Hujan gerimis yang jatuh dengan ritme lembut mengiringi pikirann
di sini?" gumamnya, lebi
kedua yang lebih baik. Namun, seiring waktu, ide-ide yang dulu mengalir bebas kini seakan terhenti. Inspirasi yang ia harapk
makan, dan satu kamar tidur. Tidak banyak yang bisa ia lakukan di tempat itu selain menulis,
ntuk diisi kata-kata hanya membuat Naya semakin frustasi. Setiap kali ia mencoba mengetik,
gar, atau mungkin, inspirasi yang selama ini menghindar. Setelah mengenakan jaket tebal dan membawa payu
ngan papan nama yang sudah mulai pudar, dan penduduk lokal yang ramah meskipun tampak sedikit tertutup. Naya merasa ada se
cil yang tampak hangat dan mengundang. Papan kayu di depan pintu bertuliskan "Café Aria" dengan huruf kursif
usik jazz lembut mengalun di latar belakang, dan beberapa pelanggan duduk menikmati minuman mereka sambil
k ketika seorang pria mendekatinya. Dia mengenakan seragam barista berwarna hitam dengan celemek cokelat muda, rambutnya yan
gan suara rendah dan tenang
adar dari lamunannya. "Oh, selamat s
aik, satu latte. Apakah Anda ing
"Tidak, itu saj
h jauh. Namun, ia menahan diri dan hanya mengangguk sopan. Pria itu be
n tahu lebih banyak. Tapi apa? Mungkin cara dia membawa dirinya, atau mu
ikirannya terus mengembara pada barista misterius itu. Apakah dia penduduk asli di kota ini? Atau
rista yang sama. Dia meletakkan cangkir di atas meja dengan
memberikan senyum ke
isa sore itu, Naya duduk di kafe, mencoba menulis dan mengamati sekelilingnya. Namun, perhatian utamanya te
ap untuk meninggalkan kafe. Namun, sebelum ia benar-benar melangkah keluar, sesuatu menarik perhatiannya-sebuah buku catatan tebal berwarna
encolok, atau mungkin karena instingnya sebagai penulis yang membuatnya penasaran. Tanpa
leh, sejenak terlihat kaget dengan kebe
jawa
aya," kata Naya sambil menunjuk ke buku c
amun akhirnya ia mengangguk. "Ya,
ng membawa buku catatan sendiri untuk mencatat ide-ide yang datang tiba-tiba.
mereka. "Begitukah? Menulis adalah sebuah seni yang membutuhkan dedikasi, dan say
sering merasa bahwa hanya dengan menulis,
khirnya menyebutkan namanya, Arga. Namun, ada sesuatu dalam cara Arga berbicara yang membuat Naya merasa bahwa dia sedang menyembunyikan sesuatu. Car
ika Anda tertarik, Anda bisa datang ke sini la
a menerimanya dengan senang hati. "Tentu s
ikan perasaan yang baru, seperti lembaran cerita yang siap untuk ditulis. Namun, di balik semua it
ga. Ia mencoba menggali lebih dalam apa yang ia rasakan, namun setiap kali ia merasa ham
dengan Arga lagi. Namun, kali ini suasana di kafe berbeda. Tidak
nulis. Setelah beberapa jam, ia memutuskan untuk bertanya kepada b
rj
tampak bingung. "Arga? Saya tida
ng bekerja di sini kemarin
af, tapi saya sudah bekerja di sini sejak pagi, dan saya