Seorang pria kaya yang tampak bahagia dengan keluarganya menjalani kehidupan ganda dengan seorang wanita yang lebih muda. Ketika hubungan mereka semakin dalam, kekasih gelapnya menuntut lebih, mengancam seluruh stabilitas hidupnya.
Adrian Setiawan, seorang pria paruh baya yang tampak sempurna dalam segala aspek hidupnya. Ia adalah seorang pengusaha sukses, dengan istri cantik bernama Maya dan seorang putri kecil yang menggemaskan, Alia. Dari luar, keluarga ini tampak bahagia, seolah-olah kehidupan Adrian adalah mimpi yang diidamkan banyak orang. Tapi hanya Adrian yang tahu, di balik senyumnya yang tenang, ada rahasia besar yang terus mengintai kebahagiaannya.
- Pagi di Meja Sarapan
Di pagi hari yang cerah, Adrian sedang duduk di meja makan bersama Maya dan Alia. Ia mencoba menutupi kegelisahannya dengan senyum hangat, menganggap pagi ini seperti pagi biasanya. Maya menyiapkan sarapan dan tersenyum sambil menuangkan teh untuknya.
Maya: "Sarapanmu siap, sayang. Semalam kerja lembur lagi? Kamu kelihatan lelah."
Adrian tersenyum tipis, menahan rahasia yang menghantui pikirannya.
Adrian: "Iya, sedikit lembur. Kamu tahu kan, proyek baru ini butuh perhatian ekstra."
Alia (dengan senyum polos): "Ayah, besok bisa antar aku ke taman bermain, kan? Janji ya?"
Adrian menatap Alia dengan penuh kasih, lalu mengangguk.
Adrian: "Tentu, sayang. Ayah pasti akan antar kamu."
Namun di dalam hatinya, Adrian merasa berat. Janji itu terasa seperti kebohongan kecil yang mungkin saja ia tidak dapat tepati. Meski begitu, ia tetap menyunggingkan senyum untuk putri kecilnya.
Setelah sarapan, Adrian bergegas pergi ke kantor. Di dalam mobil, pikirannya kembali melayang pada seseorang yang bukan Maya, yaitu Rina. Rina adalah wanita muda yang dikenalnya beberapa bulan yang lalu. Pertemuan pertama mereka terasa seperti kebetulan, namun semakin hari, Adrian mulai terjerat pesonanya. Walaupun ia tahu betapa berbahayanya melanjutkan hubungan dengan Rina, hasratnya terlalu kuat untuk diabaikan.
Ponsel Adrian bergetar, pesan dari Rina muncul di layarnya:
"Pagi, Mas. Semoga harimu indah. Ada waktu ketemu malam ini?"
Adrian menatap pesan itu, merasa bersalah namun juga tertarik.
Adrian (berbisik pada diri sendiri): "Kenapa harus jadi serumit ini..."
Ia merasakan jantungnya berdebar. Antara rasa takut ketahuan dan rasa ingin terus dekat dengan Rina, Adrian tahu bahwa kehidupannya sedang berada di ambang bahaya. Namun, ia membalas pesan itu dengan cepat:
"Malam ini. Adrian berdalih pada Maya bahwa ia harus bertemu klien penting. Maya tampak mengerti dan tidak mencurigai apapun, walaupun belakangan ini ia sering melihat perubahan pada suaminya.
Maya: "Hati-hati, ya. Kalau bisa jangan pulang terlalu larut."
Adrian: "Pasti, aku janji."
Sesampainya di restoran mewah di pusat kota, Adrian melihat Rina sudah menunggunya di salah satu meja pojok. Rina mengenakan gaun elegan berwarna merah, membuatnya terlihat mempesona. Begitu Adrian duduk, Rina tersenyum lebar.
Rina: "Akhirnya kamu datang juga. Aku hampir saja berpikir kamu akan membatalkan lagi."
Adrian: "Tidak mungkin aku membatalkan, Rina. Kamu tahu aku selalu ingin ada di sini."
Rina tertawa kecil, tatapannya penuh makna. Mereka mengobrol ringan, namun di balik setiap kata, ada ketegangan dan daya tarik yang tak terbantahkan. Adrian tahu bahwa hubungan ini adalah rahasia besar yang dapat menghancurkan hidupnya, namun ia juga tak bisa menahan diri untuk tak bersama Rina.
Rina: "Adrian, sampai kapan kita akan seperti ini? Sembunyi-sembunyi, bertemu hanya sesekali..."
Adrian menunduk sejenak, tahu bahwa Rina mulai menuntut lebih.
Adrian: "Rina, aku tahu... tapi kamu mengerti situasiku, kan? Aku punya keluarga."
Rina: "Keluarga yang kamu sendiri tahu sudah tak lagi membuatmu bahagia. Jika tidak, kamu tak akan ada di sini bersamaku sekarang."
Kata-kata Rina menyentuh titik lemah Adrian. Ia memang merasa ada kekosongan dalam rumah tangganya, namun ia tidak pernah berpikir akan mengisinya dengan cara seperti ini.
Adrian: "Ini tidak sesederhana itu, Rina. Kamu tahu aku peduli padamu... tapi ini rumit."
Rina meraih tangan Adrian, menggenggamnya erat.
Rina: "Aku tak butuh janji yang besar, Adrian. Hanya butuh kepastian bahwa aku tak sedang berjuang sendiri dalam hubungan ini."
Adrian terdiam. Di satu sisi, ia ingin menenangkan Rina, namun di sisi lain, ia tahu bahwa janji yang ia berikan padanya bisa jadi hanya akan memperumit hidup mereka.
Setelah pertemuan dengan Rina, Adrian pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk. Begitu masuk, ia melihat Maya duduk di ruang tamu, tampak sedang membaca buku.
Maya: "Kamu pulang lebih awal. Bagaimana pertemuan dengan klien?"
Adrian berusaha tersenyum untuk menutupi kegelisahannya.
Adrian: "Baik, berjalan lancar."
Maya mendekat dan memeluknya, senyum hangat yang penuh kasih sayang.
Maya: "Aku senang kamu bekerja keras untuk kami. Aku selalu bersyukur punya suami seperti kamu."
Kata-kata Maya membuat hati Adrian terasa nyeri. Rasa bersalah menyelimutinya. Di dalam pikirannya, Adrian tahu bahwa ia berada di jalan yang salah, namun ia juga merasa tidak bisa kembali.
Adrian (dalam hati): "Apa aku benar-benar bahagia? Apa aku sudah membuat keputusan yang tepat?"
Adrian duduk di tepi ranjang, memandangi wajah istrinya yang tenang tertidur. Tanpa sadar, ia merasa bimbang dan takut kehilangan segalanya-Maya, Alia, bahkan mungkin juga Rina. Malam itu, ia terjebak dalam perenungan yang menghantui.
Keesokan paginya, Adrian bangun dengan kepala yang berat. Pikiran tentang pertemuannya dengan Rina semalam masih menghantui benaknya. Saat ia turun untuk sarapan, Maya sudah duduk di meja makan bersama Alia yang asyik mencoret-coret kertas gambar dengan krayon warna-warni.
Alia: "Ayah! Lihat, aku gambar keluarga kita!"
Alia menunjukkan kertas bergambar sederhana, namun penuh makna. Ada tiga sosok berpegangan tangan dengan senyuman lebar. Adrian menatap gambar itu dengan hati yang sedikit terguncang. Di gambar itu, ia melihat dirinya, Maya, dan Alia bersama-sama. Sebuah keluarga sempurna yang terlihat bahagia.
Adrian (tersenyum lemah): "Gambar yang indah, sayang. Ayah senang kamu menggambar keluarga kita."
Maya menatap Adrian sejenak, memperhatikan ekspresi lelah di wajah suaminya. Ia merasakan ada yang berubah dalam diri Adrian, tetapi ia mencoba mengabaikan perasaan itu dan melanjutkan sarapan mereka dengan suasana tenang.
Namun, di tengah percakapan ringan mereka, ponsel Adrian bergetar di atas meja. Ia buru-buru mengambilnya sebelum Maya atau Alia sempat melihat. Ada pesan dari Rina.
"Mas, pagi. Aku belum bisa berhenti memikirkan kita. Ada waktu untuk ketemu hari ini?"
Adrian merasakan desakan perasaan yang sulit dijelaskan. Sementara Maya dan Alia masih asyik berbicara, ia membalas pesan itu dengan cepat.
"Aku akan usahakan. Nanti aku kabari."
Ia memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku, berharap Maya tidak memperhatikan kegugupannya. Tapi ternyata Maya tidak melewatkan perubahan kecil di wajah suaminya.
Maya: "Siapa tadi, Mas? Kelihatan penting sekali sampai buru-buru dijawab."
Adrian hampir tersedak mendengar pertanyaan itu. Namun, ia cepat menguasai diri dan memberikan senyum santai.
Adrian: "Oh, hanya pesan dari kantor. Tim meminta revisi pada laporan proyek. Kamu tahu kan, semakin besar kliennya, semakin cerewet mereka."
Maya mengangguk perlahan, meskipun ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan Adrian. Namun, ia menekan perasaan curiganya dan memilih untuk percaya.
- Di Kantor
Sesampainya di kantor, Adrian langsung terlibat dalam rutinitas pekerjaan, namun pikirannya tidak sepenuhnya fokus. Di sela-sela pekerjaannya, ia terus memikirkan Rina, sosok yang memberinya perasaan berbeda yang sulit dijelaskan. Hubungan ini terasa seperti candu baginya, sesuatu yang tak bisa ia lepaskan begitu saja.
Sekitar tengah hari, Rina mengirimkan pesan lagi:
"Aku di kafe dekat kantormu, Mas. Kalau bisa, sempatkan bertemu sebentar, ya?"
Tanpa sadar, Adrian mendesah panjang. Ia tahu risikonya, tetapi rasa penasarannya lebih kuat. Ia ingin bertemu Rina, meskipun ada bagian dari dirinya yang merasa ini salah.
Akhirnya, ia mengambil keputusan cepat dan membalas pesan Rina.
"Baik, tunggu aku di sana."
- Pertemuan di Kafe
Adrian tiba di kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, tempat yang sering mereka gunakan untuk bertemu tanpa takut dikenali orang lain. Di sana, Rina sudah menunggunya dengan secangkir kopi di tangannya, senyum lembut menghiasi wajahnya.
Rina: "Aku takut kamu nggak datang, Mas."
Adrian (tersenyum kecil): "Maaf kalau kamu merasa begitu. Aku hanya butuh waktu sebentar untuk keluar dari kantor."
Rina memandang Adrian dengan tatapan penuh rasa sayang yang membuat Adrian merasa hangat. Perasaan bersalah dan ketertarikan bercampur menjadi satu dalam dirinya. Mereka berbicara tentang hal-hal ringan, namun di dalam percakapan mereka, ada ketegangan yang tak terucapkan.
Rina: "Mas, aku ingin lebih dari ini. Aku capek hanya jadi bayangan yang harus kamu sembunyikan."
Adrian terdiam, merasa tertampar oleh kata-kata Rina. Ia tahu bahwa hubungan ini semakin tak terkendali, dan semakin sulit untuk hanya sekedar "main-main."
Adrian: "Aku tahu, Rina. Tapi kamu tahu situasiku... Ini tidak mudah."
Rina menarik napas panjang, ekspresi wajahnya berubah menjadi lebih serius.
Rina: "Aku ingin ada kepastian, Mas. Aku bukan hanya butuh janji, aku butuh tindakan."
Adrian terdiam, merasa terjebak di antara cinta dan tanggung jawab. Waktu yang mereka habiskan bersama membuatnya semakin sulit menolak permintaan Rina, tetapi ia sadar bahwa melangkah lebih jauh hanya akan membawa lebih banyak konsekuensi.
Adrian: "Rina, beri aku waktu. Aku belum siap untuk membuat keputusan besar. Tapi, percayalah... aku peduli padamu."
Rina mengangguk pelan, meskipun matanya masih menunjukkan rasa kecewa. Tanpa disadari, kata-kata Adrian hanya membuatnya semakin berharap akan sesuatu yang mungkin tak bisa diwujudkan.
Setelah pertemuan itu, Adrian merasa pikirannya semakin kacau. Pulang ke rumah terasa seperti kembali ke kenyataan yang tak bisa ia hindari. Begitu masuk, Maya menyambutnya dengan senyum hangat, seperti biasa. Adrian berusaha membalas senyum itu, meskipun hatinya terasa berat.
Maya: "Bagaimana harimu, Mas?"
Adrian: "Lelah... Tapi semua berjalan baik."
Maya tersenyum, lalu menatap Adrian dengan penuh perhatian.
Maya: "Kalau begitu, kamu istirahat saja, ya. Aku dan Alia sudah tidur lebih awal malam ini."
Adrian mengangguk, mengucapkan terima kasih pada Maya sebelum beranjak ke kamar tidur. Di dalam kamar, ia duduk di tepi ranjang, menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang melayang-layang. Kenangan akan senyum Rina dan tatapan lembut Maya bergantian berkelebat di benaknya.
Di dalam hati, ia sadar bahwa pilihannya akan berdampak besar pada hidupnya dan orang-orang yang ia cintai. Namun, ia juga tahu bahwa dirinya kini berada di persimpangan jalan yang sulit dihindari.
Adrian (berbisik pada dirinya sendiri): "Apa yang sebenarnya aku cari... dan apa yang harus aku korbankan untuk menemukannya?"
Pikirannya penuh dengan perasaan bersalah yang semakin mendalam, karena ia tahu di balik kehidupan yang tampak sempurna ini, ada kebohongan yang mulai merongrong kebahagiaan sejati.
Bersambung...
Buku lain oleh BEGE
Selebihnya