Di balik rumah tangga yang tampak sempurna, seorang suami diam-diam menjalani hubungan dengan teman masa mudanya. Saat rahasia ini terbongkar, ia dihadapkan pada kemarahan istri dan keluarga yang harus ia perbaiki atau ia tinggalkan.
Kehidupan Arya dan Laras tampak sempurna di luar. Mereka adalah pasangan yang selalu menjadi contoh bagi banyak orang-sepasang suami istri yang mesra, dengan dua anak yang ceria dan rumah yang selalu dipenuhi tawa. Setiap kali mereka menghadiri acara sosial, banyak yang mengagumi mereka sebagai pasangan yang ideal. Tapi seperti yang sering terjadi, tidak semua yang tampak sempurna di permukaan adalah cerminan dari kenyataan yang ada di dalam.
Pagi itu, seperti biasa, Arya duduk di meja makan, menikmati secangkir kopi sambil membaca koran. Laras, yang baru saja selesai menyiapkan sarapan, berjalan mendekat dan menyapa suaminya dengan senyum hangat. "Selamat pagi, sayang," katanya lembut.
Arya mengangkat wajahnya, tersenyum balik, dan menciumnya di pipi. "Selamat pagi, kamu tampak cantik pagi ini."
Namun, di balik senyum itu, ada sesuatu yang tersembunyi. Arya merasa cemas-bukan karena Laras, tapi karena dirinya sendiri. Di bawah cincin pernikahan yang melingkar di jari manisnya, ada rahasia yang tak bisa ia ungkapkan. Sebuah rahasia yang telah mengganggu pikirannya selama beberapa bulan terakhir.
Sejak bertemu kembali dengan Maya, teman masa mudanya, perasaan yang telah lama terkubur mulai tumbuh kembali. Maya bukan sekadar kenangan-dia adalah bagian dari hidup Arya yang selalu ada di sana, meski di antara mereka tak pernah ada hubungan yang lebih dari sekadar pertemanan. Namun, setelah pertemuan mereka di reuni sekolah beberapa bulan yang lalu, semuanya berubah.
Saat itu, Arya merasa seolah kembali ke masa lalu, saat Maya adalah gadis yang selalu bisa membuat hatinya berdebar. Mereka menghabiskan waktu bersama, berbicara tentang kenangan lama, dan seiring berjalannya waktu, Arya merasa ada yang hilang dalam hidupnya-sesuatu yang hanya bisa diberikan oleh Maya.
Ketika perasaan itu datang kembali, Arya berusaha menolaknya. Ia mencoba untuk fokus pada keluarganya, pada Laras dan anak-anak mereka. Tetapi Maya hadir lagi dalam hidupnya, bukan hanya sebagai kenangan, tapi sebagai bagian dari hari-harinya. Pesan singkat, telepon, hingga pertemuan-pertemuan singkat yang tak pernah diketahui oleh Laras.
Setiap kali ia berhubungan dengan Maya, Arya merasa terjauh dari Laras. Ada rasa bersalah yang selalu membayangi setiap kebahagiaan yang ia rasakan bersama Maya. Namun, di saat yang sama, ia juga merindukan kedamaian yang selama ini ia temukan dalam pelukan Laras.
Hari itu, seperti hari-hari biasa, Laras mulai sibuk dengan pekerjaan rumah tangga dan anak-anak. Arya yang sibuk dengan tugas kantor, memilih untuk diam sejenak, memikirkan tentang pertemuannya yang akan datang dengan Maya. Ia tahu, semakin lama ia mengabaikan perasaannya, semakin besar godaan yang akan datang. Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus hidup dalam dua dunia yang berbeda.
Laras datang ke meja makan, menaruh piring berisi roti panggang dan telur. "Aku ingin kita pergi makan malam bersama malam ini," katanya. "Hanya kita berdua."
Arya tersenyum tipis, mencoba untuk tidak menunjukkan kegelisahannya. "Tentu, itu terdengar menyenangkan. Aku akan pastikan untuk tidak ada gangguan pekerjaan."
Laras duduk di sebelahnya, menatap Arya dengan penuh perhatian. "Kamu kelihatan seperti punya banyak pikiran akhir-akhir ini, sayang. Apakah ada yang salah?"
Arya terdiam sejenak. Ia ingin mengatakan semuanya, ingin mengungkapkan betapa ia merasa terpecah antara dua dunia yang tidak bisa ia gabungkan. Namun, kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya. "Tidak ada yang salah, Laras. Aku hanya sedikit sibuk belakangan ini."
Laras tersenyum, meski tatapannya mengandung sedikit keraguan. "Aku harap itu hanya itu. Jangan lupa, kita selalu bisa berbicara tentang apa pun, kan?"
Arya mengangguk, merasa semakin terjebak dalam kebohongannya sendiri. "Tentu."
Di balik senyum itu, ia tahu bahwa ia sedang berdiri di persimpangan jalan yang tak bisa ia mundurkan. Setiap detik yang berlalu, ia semakin terperangkap dalam rahasia yang ia simpan rapat-rapat. Dan semakin ia berusaha untuk mempertahankan kehidupannya yang tampak sempurna ini, semakin berat beban yang harus ia tanggung. Sebuah janji telah terpecah, dan ia tidak tahu bagaimana cara untuk menyatukannya kembali.
Pagi itu, udara di rumah mereka terasa hangat, tetapi tidak cukup untuk menghangatkan hati Arya. Ia menyadari, semakin ia berusaha menyembunyikan perasaannya, semakin besar jurang yang tercipta antara dirinya dan Laras. Meski ia berusaha untuk tampil normal, ada perasaan bersalah yang terus menghantui dirinya. Ia tahu bahwa rahasia yang ia simpan terlalu besar untuk dipertahankan dalam jangka waktu yang lama.
Laras menyajikan sarapan pagi dengan senyuman, tampak bahagia dan penuh semangat. Namun, senyum itu tidak menyentuh mata Arya. Laras, yang sudah cukup lama mengenal suaminya, mulai merasa ada yang berbeda-sesuatu yang tak terungkapkan.
"Sayang, kamu pasti lelah ya," Laras berkata sambil duduk di seberang meja, menyendokkan telur orak-arik ke piring Arya. "Aku bisa lihat kamu mulai kelelahan. Mungkin kita bisa pergi berlibur minggu depan? Hanya kita berdua."
Arya menatap Laras, sedikit tersentak oleh usulnya. Liburan? Itu adalah ide yang bagus, sesuatu yang bisa membawa mereka lebih dekat, tetapi di benaknya, ada pertanyaan yang lebih besar. Apakah itu akan cukup untuk menyelamatkan mereka dari kehancuran yang ia bawa? Atau justru hanya akan menambah kesulitan?
"Aku... Aku pikir itu ide yang bagus," jawab Arya dengan suara pelan, mencoba terdengar semangat, meski hatinya terombang-ambing. "Tapi aku punya beberapa tugas kantor yang harus diselesaikan minggu depan. Mungkin... kita bisa merencanakannya lain waktu?"
Laras memandangnya dengan sedikit kerutan di dahi, tetapi dia tidak berkata apa-apa. Sebaliknya, dia hanya mengangguk dan melanjutkan makan, meskipun terlihat tidak puas dengan jawaban suaminya.
Arya merasakan kegelisahan yang tak terungkapkan. Laras tahu ada yang salah, tetapi ia memilih untuk tidak menekankan hal itu. Itu yang selalu ia lakukan-memberikan ruang kepada Arya, memberi kepercayaan bahwa suaminya selalu memiliki alasan yang baik. Tetapi Arya tahu, jika terus seperti ini, kepercayaan itu akan hancur.
Di tengah kesunyian itu, ponsel Arya bergetar di meja. Ia menatapnya sejenak, dan meskipun ia tahu siapa yang mengirim pesan, ia tetap menunda membuka pesan itu. Namun, suara getaran ponsel yang semakin keras seakan memanggilnya.
"Apa itu?" Laras bertanya, suaranya ringan, namun Arya bisa mendengar sedikit ketegangan di sana.
Arya cepat-cepat mengambil ponselnya, menekan tombol layar dan melihat nama yang tertera: Maya. Ia menelan ludah, merasakan jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya. Namun, dia berusaha untuk tetap tenang.
"Oh, itu hanya pesan dari teman lama," jawab Arya, menyembunyikan kegugupannya dengan senyum datar. "Hanya ingin tahu kabar."
Laras menatap Arya dengan tatapan yang dalam, hampir seperti bisa menembus kedalaman pikirannya. "Teman lama?" Laras mengulangi kata-kata itu perlahan, seolah memikirkan sesuatu. "Teman dari... reuni kemarin, kan?"
Arya mengangguk, berusaha terlihat santai. "Iya, Maya. Dia cuma... tanya-tanya tentang acara reuni lagi."
Laras tidak langsung menjawab. Ia mengangkat gelas berisi jus jeruk, meminumnya perlahan, matanya masih tertuju pada Arya. "Kamu sepertinya sering berbicara dengannya akhir-akhir ini. Apakah kamu merasa nyaman ngobrol dengannya?" tanya Laras, suara lembut namun tajam, seperti mencoba mengukur apa yang sedang ada di pikiran suaminya.
Arya mendapati dirinya terdiam beberapa detik lebih lama dari yang seharusnya. Kenapa Laras bisa merasakannya? Kenapa ia merasa seolah setiap kata yang ia ucapkan berpotensi mengungkapkan kebohongannya? Ini adalah momen yang ia takuti-momen di mana Laras akan melihat lebih dalam dan menemukan kenyataan yang selama ini ia sembunyikan.
"Aku... tidak tahu. Mungkin hanya kebetulan," jawab Arya, berusaha terdengar meyakinkan, meskipun suaranya terasa kosong. "Tapi aku janji, kamu tidak perlu khawatir. Kamu tahu aku hanya punya satu hati, kan?"
Laras tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak mencapai matanya. "Aku tidak khawatir, Arya," katanya pelan. "Aku hanya... merasa ada yang berbeda. Aku tidak tahu, mungkin aku yang terlalu berpikir."
Mereka berdua terdiam. Laras menatap Arya dengan penuh pengertian, sementara Arya mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Dalam hatinya, ia tahu ini adalah detik-detik yang paling penting dalam hidupnya. Bagaimana ia bisa menghadapinya? Apakah ia akan mengungkapkan semuanya pada Laras, atau terus melanjutkan kebohongannya, meski itu berarti merusak segalanya?
Di luar jendela, suara anak-anak yang bermain di halaman belakang terdengar ceria. Tetapi di dalam rumah itu, ada sesuatu yang retak. Sesuatu yang tak bisa disembunyikan selamanya.
Laras akhirnya berdiri dan mengumpulkan piring kotor dari meja makan. "Aku harap kamu tahu, Arya," katanya dengan suara lembut, "aku percaya padamu. Tapi, aku juga berharap kamu bisa lebih terbuka padaku, terutama kalau ada yang mengganggumu. Kamu tahu kita selalu bisa saling berbicara."
Arya merasa dadanya sesak. "Aku tahu, Laras," jawabnya, suara hampir berbisik. "Aku hanya... aku hanya butuh waktu."
Laras memandangnya satu kali lagi sebelum pergi ke dapur, meninggalkan Arya dengan pikirannya sendiri yang semakin membelit.
Arya menatap cincin pernikahannya, perhiasan sederhana yang begitu bermakna-sebuah simbol dari janji yang telah ia buat kepada Laras. Namun, setiap detik yang berlalu terasa semakin berat, seperti cincin itu menjadi semakin berat di jari manisnya. Dan saat itulah Arya menyadari satu hal yang tak bisa ia hindari: janji yang ia buat telah terpecah, dan ia tidak tahu bagaimana cara untuk menyatukannya kembali.
Bersambung...
Buku lain oleh EMBUN ABADI
Selebihnya