Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
DUA CINTA SATU PENGKHIANATAN

DUA CINTA SATU PENGKHIANATAN

eskayeer

5.0
Komentar
9
Penayangan
5
Bab

Seorang pria yang telah menikah lama merasa tergoda oleh cinta baru dari wanita yang jauh lebih muda. Saat rahasia hubungan terlarang itu terungkap, ia menyadari bahwa cintanya yang lama masih lebih berarti daripada yang ia kira.

Bab 1 Kehidupan yang Tampak Sempurna

Doni duduk di teras rumahnya, menatap kosong ke halaman depan yang rapi. Angin sore membelai lembut wajahnya, dan suara burung-burung yang bersahutan biasanya membuat hatinya tenang. Tapi tidak hari ini. Di dalam, Dina sibuk menyiapkan makan malam seperti biasa, rutinitas yang tak pernah berubah sejak mereka menikah lima belas tahun yang lalu.

Doni tahu, banyak orang yang iri melihat kehidupannya. Pekerjaan stabil, rumah yang nyaman, istri yang setia, dan dua anak yang manis. Dari luar, semuanya terlihat sempurna. Tapi di dalam hatinya, Doni merasa ada yang hilang-sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Kesenangan yang dulu ia rasakan dari kebersamaan dengan Dina kini memudar.

Dina muncul di pintu teras, tersenyum sambil mengelap tangannya dengan handuk kecil. "Mas, makan malamnya hampir siap. Anak-anak juga sudah mandi," katanya lembut.

Doni tersenyum tipis. "Oke, sebentar lagi aku masuk," jawabnya sambil menoleh, meski pikirannya jauh melayang.

Dina mengamati suaminya sejenak, merasakan sesuatu yang berbeda. "Mas baik-baik saja? Kamu kelihatan... capek."

Doni menggeleng, menutupi rasa gelisah yang mulai merayap di hatinya. "Aku baik-baik saja, cuma kepikiran kerjaan sedikit."

Dina tersenyum lagi, kali ini dengan ekspresi yang sedikit khawatir. "Kalau butuh cerita, aku di sini, Mas. Kita bisa ngomongin apa saja, seperti dulu."

"Ya, aku tahu. Terima kasih," kata Doni, tetapi kata-katanya terdengar hampa bahkan di telinganya sendiri.

Setelah Dina masuk ke dalam rumah, Doni memejamkan mata sejenak. Pernikahan ini, pikirnya, sudah berjalan terlalu lama di jalur yang sama. Setiap hari seakan diulang, tak ada yang berubah. Pagi mereka sarapan bersama, bekerja, pulang, makan malam, lalu tidur. Tak ada gairah seperti dulu, tak ada keintiman yang membuat hatinya berdebar.

Tiba-tiba, bayangan Clara melintas di pikirannya-wanita muda di kantor yang baru beberapa bulan ini bekerja di bawah timnya. Clara berbeda. Energinya, tawanya, caranya memandang dunia seolah segalanya masih penuh kemungkinan. Doni merasa muda kembali setiap kali berbicara dengannya.

Mungkin ini yang hilang, pikir Doni. Sesuatu yang membuat hidupnya lebih berwarna. Tapi pikiran itu dengan cepat dia singkirkan. **Tidak. Clara bukan bagian dari hidupku. Aku sudah punya Dina.**

Namun, bayangan Clara menolak hilang begitu saja.

Di dalam rumah, Dina sibuk menyiapkan meja makan. Ia menatap ke arah jendela, melihat Doni yang masih duduk di teras. Selama ini ia berpikir kehidupan rumah tangga mereka baik-baik saja, tapi beberapa bulan belakangan, Dina merasakan perubahan kecil pada suaminya. Senyumnya yang dulu selalu hangat kini terasa lebih jarang. Mereka masih berbicara, masih bercanda, tapi ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tak pernah bisa ia sentuh lagi.

Dina menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya. Mungkin ini cuma fase. Semua pernikahan pasti melewati masa-masa sulit.

Anak-anak berlari ke ruang makan, membuyarkan lamunannya. "Bu, kita makan apa hari ini?" tanya Rani, putri sulung mereka.

"Mie goreng kesukaan kalian," jawab Dina sambil tersenyum, menyembunyikan kekhawatiran di balik wajah ramahnya.

Saat makan malam, suasana terasa sunyi. Hanya suara denting sendok dan garpu yang mengisi ruangan. Dina beberapa kali mencoba memulai percakapan, tapi Doni menjawab singkat dan lebih banyak terdiam.

"Mas, besok kita ada acara makan malam keluarga di rumah Mama. Jangan lupa, ya," kata Dina mencoba mengalihkan suasana.

Doni hanya mengangguk tanpa menatap. "Ya, aku ingat."

Dina menatap suaminya dalam-dalam, berharap ada sesuatu yang bisa ia lakukan untuk mengembalikan kehangatan mereka. Tapi Doni tampak semakin jauh, seakan dunia di sekitarnya sudah tidak lagi menarik.

Setelah selesai makan, Doni segera bangkit dari meja dan masuk ke kamar tanpa banyak bicara. Dina duduk di ruang makan yang kini kosong, menatap piring-piring yang belum sempat dirapikan. Ia merasa sesuatu di hatinya hancur perlahan. Namun, ia menahan perasaan itu, seperti ia selalu lakukan.

Di kamar, Doni duduk di ujung ranjang, menatap foto pernikahan mereka di dinding. Senyum bahagia di wajahnya dan Dina saat itu terasa begitu jauh dari kenyataan yang ia rasakan sekarang. **Apa yang sebenarnya aku inginkan?**

Handphone-nya bergetar di meja samping tempat tidur. Sebuah pesan muncul di layar dari Clara:

"Hai, Pak Doni. Bagaimana harimu? Besok ada meeting, ya?"

Doni meraih ponselnya, dan tanpa berpikir panjang, ia mulai mengetik balasan.

Doni menatap layar ponselnya sejenak, jari-jarinya berhenti di atas keyboard. Pesan dari Clara mengingatkannya pada hal-hal yang selama ini ia coba abaikan-bahwa ada sesuatu yang membuatnya kembali merasa hidup. Tapi ini salah. Aku tahu ini salah.

Namun, seperti ada daya tarik yang lebih kuat dari rasa bersalahnya, Doni mengetik balasan:

"Hari ini cukup melelahkan, Clara. Besok ya, kita diskusi lebih lanjut soal meeting."

Ia menekan tombol "kirim" dan merasa beban di dadanya sedikit berkurang, meskipun dalam lubuk hati, ia sadar bahwa ia sedang berada di ambang jurang yang dalam.

Di sisi lain, Dina masih di dapur, membereskan piring-piring kotor sambil menahan perasaan yang kian berat. Saat ini, ia merindukan Doni yang dulu-pria yang selalu tersenyum penuh perhatian, yang sering mengejutkannya dengan pelukan tanpa alasan atau obrolan hangat sebelum tidur. Tapi kini, ada jarak di antara mereka, dan Dina tak tahu bagaimana caranya mendekati Doni lagi.

Malam semakin larut. Setelah menyelesaikan pekerjaannya di dapur, Dina masuk ke kamar dan menemukan Doni sudah berbaring di tempat tidur, membelakanginya. Suasana begitu dingin, tidak ada sentuhan, tidak ada kehangatan yang biasa mereka bagi sebelum tidur.

Dina menarik napas panjang sebelum berkata dengan nada hati-hati, "Mas, kita baik-baik saja, kan?"

Doni terdiam sejenak, suara Dina membangunkannya dari lamunannya. Ia tahu Dina pasti merasakan perubahan dalam dirinya, tapi Doni tak tahu harus menjawab apa.

"Kenapa tanya begitu?" jawab Doni akhirnya, dengan suara lemah, masih membelakangi Dina.

Dina mendekat, duduk di tepi ranjang. "Aku cuma merasa akhir-akhir ini kamu... berbeda. Apa ada sesuatu yang mengganggumu?"

Doni merasa detak jantungnya bertambah cepat. **Apa aku harus jujur? Haruskah aku mengaku pada Dina tentang perasaanku yang tak seharusnya pada Clara?** Tapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya.

"Aku cuma... banyak pikiran, Din. Kerjaan di kantor makin menumpuk, dan kadang aku cuma butuh waktu untuk sendiri," jawab Doni, setengah jujur.

Dina menunduk, menggenggam kedua tangannya yang dingin. "Kamu tahu, Mas, kamu selalu bisa cerita sama aku. Kita kan dulu selalu bicara soal apapun. Aku cuma... aku cuma ingin kita seperti dulu lagi."

Ada jeda panjang di antara mereka. Kata-kata Dina merayap masuk ke dalam hati Doni, menimbulkan rasa bersalah yang semakin berat. Dina tidak pantas diperlakukan seperti ini.

Doni menarik napas panjang, akhirnya berbalik menghadap Dina, meski ia masih tak mampu menatap mata istrinya.

"Aku minta maaf, Din. Aku tahu belakangan ini aku agak jauh. Tapi aku nggak mau kamu khawatir, ya? Aku akan coba lebih terbuka. Cuma beri aku waktu."

Dina tersenyum kecil, meskipun ada perasaan yang belum terjawab sepenuhnya di hatinya. "Aku percaya sama kamu, Mas. Aku cuma nggak mau kita makin jauh."

Doni tersenyum tipis, lalu membelai rambut Dina. "Aku juga nggak mau kita jauh," katanya pelan.

Namun, dalam hatinya, Doni tahu masalahnya lebih besar dari sekadar pekerjaan atau waktu. Ada hal yang harus ia hadapi, keputusan yang akan menentukan masa depan pernikahannya. Tapi untuk malam ini, ia memilih untuk menenangkan hati Dina, dan menunda menghadapi kenyataan yang semakin sulit ia abaikan.

Bersambung...

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh eskayeer

Selebihnya

Buku serupa

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Cris Pollalis
5.0

Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."

Cinta yang Tersulut Kembali

Cinta yang Tersulut Kembali

Calli Laplume
4.9

Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku