Seorang pria yang telah menikah lama merasa tergoda oleh cinta baru dari wanita yang jauh lebih muda. Saat rahasia hubungan terlarang itu terungkap, ia menyadari bahwa cintanya yang lama masih lebih berarti daripada yang ia kira.
Doni duduk di teras rumahnya, menatap kosong ke halaman depan yang rapi. Angin sore membelai lembut wajahnya, dan suara burung-burung yang bersahutan biasanya membuat hatinya tenang. Tapi tidak hari ini. Di dalam, Dina sibuk menyiapkan makan malam seperti biasa, rutinitas yang tak pernah berubah sejak mereka menikah lima belas tahun yang lalu.
Doni tahu, banyak orang yang iri melihat kehidupannya. Pekerjaan stabil, rumah yang nyaman, istri yang setia, dan dua anak yang manis. Dari luar, semuanya terlihat sempurna. Tapi di dalam hatinya, Doni merasa ada yang hilang-sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Kesenangan yang dulu ia rasakan dari kebersamaan dengan Dina kini memudar.
Dina muncul di pintu teras, tersenyum sambil mengelap tangannya dengan handuk kecil. "Mas, makan malamnya hampir siap. Anak-anak juga sudah mandi," katanya lembut.
Doni tersenyum tipis. "Oke, sebentar lagi aku masuk," jawabnya sambil menoleh, meski pikirannya jauh melayang.
Dina mengamati suaminya sejenak, merasakan sesuatu yang berbeda. "Mas baik-baik saja? Kamu kelihatan... capek."
Doni menggeleng, menutupi rasa gelisah yang mulai merayap di hatinya. "Aku baik-baik saja, cuma kepikiran kerjaan sedikit."
Dina tersenyum lagi, kali ini dengan ekspresi yang sedikit khawatir. "Kalau butuh cerita, aku di sini, Mas. Kita bisa ngomongin apa saja, seperti dulu."
"Ya, aku tahu. Terima kasih," kata Doni, tetapi kata-katanya terdengar hampa bahkan di telinganya sendiri.
Setelah Dina masuk ke dalam rumah, Doni memejamkan mata sejenak. Pernikahan ini, pikirnya, sudah berjalan terlalu lama di jalur yang sama. Setiap hari seakan diulang, tak ada yang berubah. Pagi mereka sarapan bersama, bekerja, pulang, makan malam, lalu tidur. Tak ada gairah seperti dulu, tak ada keintiman yang membuat hatinya berdebar.
Tiba-tiba, bayangan Clara melintas di pikirannya-wanita muda di kantor yang baru beberapa bulan ini bekerja di bawah timnya. Clara berbeda. Energinya, tawanya, caranya memandang dunia seolah segalanya masih penuh kemungkinan. Doni merasa muda kembali setiap kali berbicara dengannya.
Mungkin ini yang hilang, pikir Doni. Sesuatu yang membuat hidupnya lebih berwarna. Tapi pikiran itu dengan cepat dia singkirkan. **Tidak. Clara bukan bagian dari hidupku. Aku sudah punya Dina.**
Namun, bayangan Clara menolak hilang begitu saja.
Di dalam rumah, Dina sibuk menyiapkan meja makan. Ia menatap ke arah jendela, melihat Doni yang masih duduk di teras. Selama ini ia berpikir kehidupan rumah tangga mereka baik-baik saja, tapi beberapa bulan belakangan, Dina merasakan perubahan kecil pada suaminya. Senyumnya yang dulu selalu hangat kini terasa lebih jarang. Mereka masih berbicara, masih bercanda, tapi ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tak pernah bisa ia sentuh lagi.
Dina menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya. Mungkin ini cuma fase. Semua pernikahan pasti melewati masa-masa sulit.
Anak-anak berlari ke ruang makan, membuyarkan lamunannya. "Bu, kita makan apa hari ini?" tanya Rani, putri sulung mereka.
"Mie goreng kesukaan kalian," jawab Dina sambil tersenyum, menyembunyikan kekhawatiran di balik wajah ramahnya.
Saat makan malam, suasana terasa sunyi. Hanya suara denting sendok dan garpu yang mengisi ruangan. Dina beberapa kali mencoba memulai percakapan, tapi Doni menjawab singkat dan lebih banyak terdiam.
"Mas, besok kita ada acara makan malam keluarga di rumah Mama. Jangan lupa, ya," kata Dina mencoba mengalihkan suasana.
Doni hanya mengangguk tanpa menatap. "Ya, aku ingat."
Dina menatap suaminya dalam-dalam, berharap ada sesuatu yang bisa ia lakukan untuk mengembalikan kehangatan mereka. Tapi Doni tampak semakin jauh, seakan dunia di sekitarnya sudah tidak lagi menarik.
Setelah selesai makan, Doni segera bangkit dari meja dan masuk ke kamar tanpa banyak bicara. Dina duduk di ruang makan yang kini kosong, menatap piring-piring yang belum sempat dirapikan. Ia merasa sesuatu di hatinya hancur perlahan. Namun, ia menahan perasaan itu, seperti ia selalu lakukan.
Di kamar, Doni duduk di ujung ranjang, menatap foto pernikahan mereka di dinding. Senyum bahagia di wajahnya dan Dina saat itu terasa begitu jauh dari kenyataan yang ia rasakan sekarang. **Apa yang sebenarnya aku inginkan?**
Handphone-nya bergetar di meja samping tempat tidur. Sebuah pesan muncul di layar dari Clara:
"Hai, Pak Doni. Bagaimana harimu? Besok ada meeting, ya?"
Doni meraih ponselnya, dan tanpa berpikir panjang, ia mulai mengetik balasan.
Doni menatap layar ponselnya sejenak, jari-jarinya berhenti di atas keyboard. Pesan dari Clara mengingatkannya pada hal-hal yang selama ini ia coba abaikan-bahwa ada sesuatu yang membuatnya kembali merasa hidup. Tapi ini salah. Aku tahu ini salah.
Namun, seperti ada daya tarik yang lebih kuat dari rasa bersalahnya, Doni mengetik balasan:
"Hari ini cukup melelahkan, Clara. Besok ya, kita diskusi lebih lanjut soal meeting."
Ia menekan tombol "kirim" dan merasa beban di dadanya sedikit berkurang, meskipun dalam lubuk hati, ia sadar bahwa ia sedang berada di ambang jurang yang dalam.
Di sisi lain, Dina masih di dapur, membereskan piring-piring kotor sambil menahan perasaan yang kian berat. Saat ini, ia merindukan Doni yang dulu-pria yang selalu tersenyum penuh perhatian, yang sering mengejutkannya dengan pelukan tanpa alasan atau obrolan hangat sebelum tidur. Tapi kini, ada jarak di antara mereka, dan Dina tak tahu bagaimana caranya mendekati Doni lagi.
Malam semakin larut. Setelah menyelesaikan pekerjaannya di dapur, Dina masuk ke kamar dan menemukan Doni sudah berbaring di tempat tidur, membelakanginya. Suasana begitu dingin, tidak ada sentuhan, tidak ada kehangatan yang biasa mereka bagi sebelum tidur.
Dina menarik napas panjang sebelum berkata dengan nada hati-hati, "Mas, kita baik-baik saja, kan?"
Doni terdiam sejenak, suara Dina membangunkannya dari lamunannya. Ia tahu Dina pasti merasakan perubahan dalam dirinya, tapi Doni tak tahu harus menjawab apa.
"Kenapa tanya begitu?" jawab Doni akhirnya, dengan suara lemah, masih membelakangi Dina.
Dina mendekat, duduk di tepi ranjang. "Aku cuma merasa akhir-akhir ini kamu... berbeda. Apa ada sesuatu yang mengganggumu?"
Doni merasa detak jantungnya bertambah cepat. **Apa aku harus jujur? Haruskah aku mengaku pada Dina tentang perasaanku yang tak seharusnya pada Clara?** Tapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya.
"Aku cuma... banyak pikiran, Din. Kerjaan di kantor makin menumpuk, dan kadang aku cuma butuh waktu untuk sendiri," jawab Doni, setengah jujur.
Dina menunduk, menggenggam kedua tangannya yang dingin. "Kamu tahu, Mas, kamu selalu bisa cerita sama aku. Kita kan dulu selalu bicara soal apapun. Aku cuma... aku cuma ingin kita seperti dulu lagi."
Ada jeda panjang di antara mereka. Kata-kata Dina merayap masuk ke dalam hati Doni, menimbulkan rasa bersalah yang semakin berat. Dina tidak pantas diperlakukan seperti ini.
Doni menarik napas panjang, akhirnya berbalik menghadap Dina, meski ia masih tak mampu menatap mata istrinya.
"Aku minta maaf, Din. Aku tahu belakangan ini aku agak jauh. Tapi aku nggak mau kamu khawatir, ya? Aku akan coba lebih terbuka. Cuma beri aku waktu."
Dina tersenyum kecil, meskipun ada perasaan yang belum terjawab sepenuhnya di hatinya. "Aku percaya sama kamu, Mas. Aku cuma nggak mau kita makin jauh."
Doni tersenyum tipis, lalu membelai rambut Dina. "Aku juga nggak mau kita jauh," katanya pelan.
Namun, dalam hatinya, Doni tahu masalahnya lebih besar dari sekadar pekerjaan atau waktu. Ada hal yang harus ia hadapi, keputusan yang akan menentukan masa depan pernikahannya. Tapi untuk malam ini, ia memilih untuk menenangkan hati Dina, dan menunda menghadapi kenyataan yang semakin sulit ia abaikan.
Bersambung...
Buku lain oleh eskayeer
Selebihnya