Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Terjerat cinta sang Billionaire

Terjerat cinta sang Billionaire

Melaty Roy Sandry

5.0
Komentar
15
Penayangan
5
Bab

Malam itu, Rumah Kuning terasa lebih gaduh dari biasanya. Di ruang utama yang luas dengan lampu-lampu kristal berkilauan, suasana riuh rendah oleh tawa dan percakapan yang bergema di dinding-dinding berlapis emas. Namun, di sudut terpencil, duduk seorang perempuan bernama Mia, mengamati sekelilingnya dengan mata tajam dan penuh kewaspadaan. Rambutnya yang panjang terurai, kontras dengan gaun merah yang ia kenakan, memberikan aura misterius di tengah keramaian yang memaksakan kebahagiaan. Di balik gemerlap dan tawa palsu itu, Mia tahu ada sesuatu yang lebih gelap, lebih berbahaya, tersembunyi di balik kilau lampu-lampu kristal yang memantulkan cahaya. Rumah Kuning bukan sekadar tempat untuk berpesta; ia adalah sebuah panggung, tempat di mana topeng-topeng dikenakan dan rahasia-rahasia diperdagangkan. Tiba-tiba, sebuah pintu kayu besar di ujung ruangan terbuka perlahan, dan seorang pria dengan jas hitam mahal melangkah masuk. Langkahnya mantap, penuh percaya diri. Pria itu memiliki aura yang berbeda dari yang lain, seolah-olah dia tidak benar-benar berasal dari dunia ini. Wajahnya tegas, dengan tatapan mata tajam yang sulit ditebak. Semua mata di ruangan tertuju padanya, menatap dengan penasaran dan sedikit takut. Dia berjalan langsung ke meja bar, tanpa ragu, dan menatap bartender dengan pandangan yang membuat semua orang di sekitarnya terdiam. "Aku ingin bertemu dengan seseorang yang istimewa," katanya singkat, suaranya terdengar dingin namun berwibawa. Bartender itu, seorang pria tua dengan rambut abu-abu, segera mengangguk dan bergegas pergi, seolah-olah perintah pria itu adalah sesuatu yang tidak bisa diabaikan. Mia memperhatikan dengan cermat, merasa ada sesuatu yang aneh dengan kedatangan pria ini. Bukan seperti klien-klien biasa yang datang dengan pandangan lapar atau niat tersembunyi. Pria ini memiliki ketenangan yang berbeda, semacam keyakinan yang jarang ditemukan di tempat seperti ini. Ketika pandangan mereka bertemu sejenak, Mia merasakan sekelebat rasa ingin tahu yang asing dan menakutkan. Pria itu melangkah mendekat, lalu berhenti di hadapannya. "Apa kau yang bernama Mia?" tanyanya dengan nada yang datar namun menusuk. Suaranya dalam, mengandung kekuatan yang tidak terlihat. Mia sedikit terkejut, tetapi ia dengan cepat menguasai dirinya. "Ya, aku Mia," jawabnya, tetap menjaga pandangannya pada pria itu, berusaha menilai niat di balik tatapannya. Pria itu tersenyum tipis, senyum yang sulit diterjemahkan. "Aku dengar kau istimewa," katanya, lalu menarik kursi dan duduk di hadapan Mia, mengabaikan pandangan penasaran dari para tamu lainnya. "Dan aku ingin tahu mengapa." Mia mengangkat alisnya, sedikit sinis. "Istimewa?" katanya, seolah mempertanyakan maksud dari kata itu. "Mungkin kau salah orang." Pria itu tertawa kecil, suaranya terdengar dalam dan serak. "Tidak, aku rasa tidak," balasnya cepat. "Kau adalah satu-satunya gadis di sini yang tidak menunduk ketika berbicara denganku." Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuat Mia merasa tertantang. Ia tidak terbiasa dengan pria seperti ini, yang bisa membuatnya merasa sedikit terintimidasi namun sekaligus penasaran. "Jadi, apa yang kau inginkan dariku?" tanyanya, lebih tegas dari yang ia maksudkan. Pria itu mengangkat alis, lalu tertawa pelan, seperti menikmati pertanyaan itu. "Aku ingin tahu ceritamu," jawabnya, tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Mia. "Aku ingin tahu mengapa kau ada di sini dan mengapa kau belum menyerah seperti yang lain." Mia mengeluarkan tawa kecil yang terdengar getir. "Kau pikir aku punya pilihan? Semua orang di sini terjebak," jawabnya dengan nada yang sedikit mengeras. "Dan jika kau mencari hiburan, lebih baik kau temui orang lain." Pria itu menatapnya, dalam, mencari sesuatu di balik mata Mia yang gelap. "Aku tidak di sini untuk mencari hiburan," katanya dengan tenang. "Aku di sini karena aku tertarik pada keberanianmu, pada keteguhanmu. Kau berbeda." Mia menggeleng pelan, berusaha menahan senyum yang mulai muncul di bibirnya. "Aku hanya berusaha bertahan hidup," katanya. "Dan jika itu membuatku berbeda, mungkin kau belum pernah benar-benar melihat apa yang terjadi di sini." Pria itu terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan kata-kata Mia, lalu bersandar ke kursinya dengan santai. "Kau benar," katanya akhirnya. "Aku tidak tahu banyak tentang tempat ini, tapi aku tahu tentang orang-orang yang kehilangan harapan. Dan kau, Mia, tidak terlihat seperti seseorang yang sudah kehilangan harapan." Ada sesuatu dalam kata-kata pria itu yang menyentuh sisi hati Mia yang selama ini ia coba tutupi. Mungkinkah ini adalah kesempatan yang ia tunggu-tunggu? Pria ini mungkin adalah kunci dari kebebasan yang selalu ia dambakan. "Aku tidak tahu apa yang kau inginkan dariku," Mia akhirnya berkata, nadanya lebih lembut. "Tapi jika kau sungguh ingin tahu ceritaku, mungkin aku bisa memberitahumu... asalkan kau bisa membantuku keluar dari sini."

Bab 1 Pertemuan di Rumah kuning

Malam itu, Rumah Kuning terasa lebih gaduh dari biasanya. Di ruang utama yang luas dengan lampu-lampu kristal berkilauan, suasana riuh rendah oleh tawa dan percakapan yang bergema di dinding-dinding berlapis emas. Namun, di sudut terpencil, duduk seorang perempuan bernama Mia, mengamati sekelilingnya dengan mata tajam dan penuh kewaspadaan. Rambutnya yang panjang terurai, kontras dengan gaun merah yang ia kenakan, memberikan aura misterius di tengah keramaian yang memaksakan kebahagiaan.

Di balik gemerlap dan tawa palsu itu, Mia tahu ada sesuatu yang lebih gelap, lebih berbahaya, tersembunyi di balik kilau lampu-lampu kristal yang memantulkan cahaya. Rumah Kuning bukan sekadar tempat untuk berpesta; ia adalah sebuah panggung, tempat di mana topeng-topeng dikenakan dan rahasia-rahasia diperdagangkan.

Tiba-tiba, sebuah pintu kayu besar di ujung ruangan terbuka perlahan, dan seorang pria dengan jas hitam mahal melangkah masuk. Langkahnya mantap, penuh percaya diri. Pria itu memiliki aura yang berbeda dari yang lain, seolah-olah dia tidak benar-benar berasal dari dunia ini. Wajahnya tegas, dengan tatapan mata tajam yang sulit ditebak. Semua mata di ruangan tertuju padanya, menatap dengan penasaran dan sedikit takut.

Dia berjalan langsung ke meja bar, tanpa ragu, dan menatap bartender dengan pandangan yang membuat semua orang di sekitarnya terdiam. "Aku ingin bertemu dengan seseorang yang istimewa," katanya singkat, suaranya terdengar dingin namun berwibawa. Bartender itu, seorang pria tua dengan rambut abu-abu, segera mengangguk dan bergegas pergi, seolah-olah perintah pria itu adalah sesuatu yang tidak bisa diabaikan.

Mia memperhatikan dengan cermat, merasa ada sesuatu yang aneh dengan kedatangan pria ini. Bukan seperti klien-klien biasa yang datang dengan pandangan lapar atau niat tersembunyi. Pria ini memiliki ketenangan yang berbeda, semacam keyakinan yang jarang ditemukan di tempat seperti ini. Ketika pandangan mereka bertemu sejenak, Mia merasakan sekelebat rasa ingin tahu yang asing dan menakutkan.

Pria itu melangkah mendekat, lalu berhenti di hadapannya. "Apa kau yang bernama Mia?" tanyanya dengan nada yang datar namun menusuk. Suaranya dalam, mengandung kekuatan yang tidak terlihat. Mia sedikit terkejut, tetapi ia dengan cepat menguasai dirinya. "Ya, aku Mia," jawabnya, tetap menjaga pandangannya pada pria itu, berusaha menilai niat di balik tatapannya.

Pria itu tersenyum tipis, senyum yang sulit diterjemahkan. "Aku dengar kau istimewa," katanya, lalu menarik kursi dan duduk di hadapan Mia, mengabaikan pandangan penasaran dari para tamu lainnya. "Dan aku ingin tahu mengapa."

Mia mengangkat alisnya, sedikit sinis. "Istimewa?" katanya, seolah mempertanyakan maksud dari kata itu. "Mungkin kau salah orang."

Pria itu tertawa kecil, suaranya terdengar dalam dan serak. "Tidak, aku rasa tidak," balasnya cepat. "Kau adalah satu-satunya gadis di sini yang tidak menunduk ketika berbicara denganku."

Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuat Mia merasa tertantang. Ia tidak terbiasa dengan pria seperti ini, yang bisa membuatnya merasa sedikit terintimidasi namun sekaligus penasaran. "Jadi, apa yang kau inginkan dariku?" tanyanya, lebih tegas dari yang ia maksudkan. Pria itu mengangkat alis, lalu tertawa pelan, seperti menikmati pertanyaan itu.

"Aku ingin tahu ceritamu," jawabnya, tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Mia. "Aku ingin tahu mengapa kau ada di sini dan mengapa kau belum menyerah seperti yang lain."

Mia mengeluarkan tawa kecil yang terdengar getir. "Kau pikir aku punya pilihan? Semua orang di sini terjebak," jawabnya dengan nada yang sedikit mengeras. "Dan jika kau mencari hiburan, lebih baik kau temui orang lain."

Pria itu menatapnya, dalam, mencari sesuatu di balik mata Mia yang gelap. "Aku tidak di sini untuk mencari hiburan," katanya dengan tenang. "Aku di sini karena aku tertarik pada keberanianmu, pada keteguhanmu. Kau berbeda."

Mia menggeleng pelan, berusaha menahan senyum yang mulai muncul di bibirnya. "Aku hanya berusaha bertahan hidup," katanya. "Dan jika itu membuatku berbeda, mungkin kau belum pernah benar-benar melihat apa yang terjadi di sini."

Pria itu terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan kata-kata Mia, lalu bersandar ke kursinya dengan santai. "Kau benar," katanya akhirnya. "Aku tidak tahu banyak tentang tempat ini, tapi aku tahu tentang orang-orang yang kehilangan harapan. Dan kau, Mia, tidak terlihat seperti seseorang yang sudah kehilangan harapan."

Ada sesuatu dalam kata-kata pria itu yang menyentuh sisi hati Mia yang selama ini ia coba tutupi. Mungkinkah ini adalah kesempatan yang ia tunggu-tunggu? Pria ini mungkin adalah kunci dari kebebasan yang selalu ia dambakan.

"Aku tidak tahu apa yang kau inginkan dariku," Mia akhirnya berkata, nadanya lebih lembut. "Tapi jika kau sungguh ingin tahu ceritaku, mungkin aku bisa memberitahumu... asalkan kau bisa membantuku keluar dari sini."

Pria itu tersenyum lebar, kali ini lebih tulus. "Mia, aku rasa kita bisa membuat kesepakatan," katanya.

Dan begitu saja, di tengah suasana gelap dan suram Rumah Kuning, sebuah percakapan dimulai. Saling tukar kata, saling tukar harapan, yang mungkin akan menjadi awal dari kebebasan yang telah lama hilang. Sebuah pertemuan yang mungkin akan mengubah segalanya, membawa Mia keluar dari kegelapan, atau justru menariknya lebih dalam ke dalam permainan yang belum ia mengerti.

**

Mia menatap Leon, pria yang duduk di hadapannya dengan tatapan penuh teka-teki. Pikirannya berkecamuk, mencoba menebak siapa sebenarnya pria ini dan apa yang diinginkannya. Ada sesuatu yang berbeda darinya, sesuatu yang membuat Mia merasa terancam namun penasaran.

"Apa yang membuatmu tertarik padaku?" tanya Mia akhirnya, memecah keheningan. Ia memandang Leon dengan mata yang tajam, mencoba menembus dinding misteri yang menyelubungi pria ini.

Leon tersenyum kecil, sebuah senyuman yang seolah menyimpan ribuan rahasia. "Kau berbeda, Mia," jawabnya lembut. "Kau tidak seperti wanita lain di sini. Ada api di matamu, sesuatu yang belum padam. Itu menarik."

Mia tertawa kecil, tawanya terdengar getir. "Kau salah," balasnya. "Aku tidak lebih dari apa yang kau lihat. Seorang wanita yang terjebak di tempat ini."

Leon mengangguk pelan, seolah memahami. "Mungkin," katanya, "tapi aku melihat lebih dari itu. Aku melihat seseorang yang belum menyerah. Dan itu membuatku ingin tahu, apa yang membuatmu bertahan?"

Mia terdiam sejenak, merenungkan pertanyaan itu. Mengapa dia bertahan? Apakah ada alasan yang cukup kuat? "Aku tidak punya pilihan," katanya akhirnya, dengan suara pelan. "Aku bertahan karena itulah satu-satunya yang bisa kulakukan."

Leon mengangguk lagi, kali ini dengan ekspresi yang lebih serius. "Dan jika aku bisa memberimu pilihan?" tanyanya tiba-tiba. "Apa yang akan kau lakukan?"

Mia menatapnya, bingung. "Apa maksudmu?" tanyanya hati-hati.

Leon bersandar ke kursinya, kedua matanya tetap terpaku pada Mia. "Aku bisa membantumu keluar dari sini," jawabnya pelan. "Tapi kau harus jujur padaku. Ceritakan semuanya, siapa kau sebenarnya, dan kenapa kau di sini."

Mia menghela napas panjang. Bagaimana dia bisa mempercayai pria ini? Tapi, di sisi lain, kapan lagi dia akan mendapat kesempatan seperti ini? Dia menimbang-nimbang, memutuskan apakah akan menceritakan semuanya atau tidak.

"Aku... tidak punya keluarga," katanya akhirnya. "Orang tuaku sudah lama meninggal. Aku dibesarkan oleh pamanku, yang akhirnya menjualku ke sini. Aku tidak punya siapa-siapa."

Leon menatapnya dengan seksama, tidak ada sedikit pun tanda simpati di wajahnya, hanya ketertarikan yang mendalam. "Dan kau menerima itu?" tanyanya. "Kau menerima nasibmu?"

Mia tersenyum masam. "Apa yang bisa kulakukan? Setiap kali aku mencoba melarikan diri, aku selalu kembali ke titik yang sama. Tidak ada jalan keluar."

Leon mengangguk lagi, seolah-olah sedang mempertimbangkan sesuatu. "Bagaimana kalau aku bisa memberimu jalan keluar?" katanya, nadanya serius.

Mia menatapnya dengan kecurigaan. "Kenapa kau melakukan ini?" tanyanya. "Apa yang kau inginkan dariku?"

Leon tersenyum tipis. "Aku ingin tahu," jawabnya. "Aku ingin tahu siapa sebenarnya Mia, dan mengapa kau tidak menyerah. Ada sesuatu tentangmu yang membuatku penasaran."

Mia mengangkat alisnya. "Jadi ini hanya permainan bagimu?" tanyanya dingin.

Leon tertawa kecil. "Bukan, Mia. Ini bukan permainan. Ini lebih seperti... tantangan. Kau berbeda, dan aku ingin tahu mengapa."

Mia terdiam, merenungkan kata-kata Leon. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatnya percaya, tapi ia masih merasa ada hal yang belum terungkap. "Dan jika aku setuju, apa yang kau tawarkan?"

Leon mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya lebih pelan. "Kebebasan," katanya. "Kebebasan dari tempat ini, dari kehidupan ini. Jika kau mau bekerja sama denganku, aku bisa membantumu keluar."

Mia menghela napas, mencoba menilai keseriusan Leon. "Dan apa yang harus kulakukan?" tanyanya.

Leon tersenyum, kali ini lebih tulus. "Kita mulai dengan percakapan ini," jawabnya. "Kau ceritakan kisahmu, dan kita lihat kemana itu membawa kita."

Mia merasa ragu, tetapi ada sesuatu dalam kata-kata Leon yang membuatnya ingin percaya. "Baiklah," katanya akhirnya. "Aku akan ceritakan, tapi kau harus janji akan membantuku keluar dari sini."

Leon mengangguk. "Aku janji," katanya dengan suara yang penuh keyakinan.

Dan malam itu, di tengah gemerlap lampu kristal dan riuh rendah percakapan di Rumah Kuning, Mia memulai kisahnya. Sebuah kisah tentang kehilangan, ketidakberdayaan, dan keinginan yang terpendam untuk meraih kebebasan.

Leon mendengarkan dengan seksama, setiap kata yang keluar dari mulut Mia tampak seperti kepingan puzzle yang sedang ia susun dalam benaknya. Ada sesuatu tentang Mia, sesuatu yang lebih dari sekadar keberanian. Dan Leon tahu, apapun yang terjadi, dia tidak akan mundur sampai dia menemukan jawabannya.

**

Hari-hari berikutnya, Mia dan Leon semakin sering bertemu. Mereka selalu duduk di sudut terpencil Rumah Kuning, berbicara panjang lebar tentang banyak hal. Tentang masa lalu Mia, tentang impian dan ketakutannya, dan tentang pria yang selalu datang dengan niat tersembunyi.

Namun, tidak semua orang menyukai kedekatan mereka. Seorang pria berwajah bengis bernama Arman, pemilik Rumah Kuning, mulai curiga. "Kau pikir kau bisa main-main dengan wanita-wanita di sini semaumu, Leon?" gertaknya suatu malam.

Leon menatapnya tanpa takut. "Aku tidak main-main, Arman," jawabnya dingin. "Aku sedang membuat kesepakatan."

Arman mendekat, suaranya rendah tapi mengancam. "Kau tahu, aku tidak suka ada yang melanggar aturan di tempatku. Mia adalah milikku. Dan aku tidak akan membiarkanmu mengambilnya."

Leon tertawa kecil, suaranya tetap tenang. "Kita lihat saja, Arman," katanya. "Kita lihat siapa yang lebih kuat dalam permainan ini."

Arman menggeram, tapi tidak berkata apa-apa lagi. Ia tahu, menghadapi Leon tidak akan mudah. Tapi Mia melihat ada bahaya di mata Arman, dan dia tahu, mereka harus bertindak cepat sebelum semuanya terlambat.

Leon berbalik pada Mia, "Waktunya tidak banyak," bisiknya. "Kita harus bergerak sekarang, sebelum Arman melakukan sesuatu yang lebih."

Mia mengangguk, merasakan adrenalin mengalir di tubuhnya. "Apa rencananya?" tanyanya.

Leon tersenyum, senyuman penuh keyakinan. "Percayalah padaku," katanya. "Aku sudah menyiapkan segalanya."

Dan dengan itu, Mia tahu, bahwa jalan keluar dari Rumah Kuning sudah semakin dekat. Namun, apakah itu benar-benar kebebasan, atau hanya awal dari permainan yang lebih gelap dan berbahaya?

Pertaruhan dimulai, dan tidak ada jalan kembali.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku