Di kota yang tidak pernah benar-benar tidur, di antara keramaian dan kebisingan yang tak henti-hentinya, tersembunyi dua dunia yang berbeda. Satu dunia milik Yuna, seorang gadis SMA yang hidup dalam kesederhanaan dan kepatuhan. Dengan rambut hitam legam dan mata yang selalu tampak memandang jauh ke dalam impian-impian yang tak pernah terungkap, Yuna adalah epitome dari kekikukan dan keengganan untuk menonjol. Dalam kesehariannya, ia hanyalah salah satu dari banyak wajah yang berlalu-lalang di koridor sekolah, membungkam suara hatinya demi menjalani kehidupan yang monoton. Namun tampaknya keberuntungan mulai mengiringinya, si gadis kikuk mulai mendapat teman dan kehidupan SMA nya terlihat mulai berjalan normal. Namun, di sisi lain dari kota yang sama, bersembunyi di balik bayang-bayang malam, adalah Phantom-a member of the enigmatic and feared mafia. Dengan reputasi yang menakutkan dan identitas yang tersembunyi, Phantom adalah sosok yang dikelilingi misteri dan rahasia. Dalam dunia di mana kekuasaan dan kekejaman adalah mata uang utama, Phantom bergerak dengan keanggunan yang dingin dan tujuan yang tak pernah sepenuhnya dipahami oleh orang luar. Dalam kebisingan kehidupan Yuna yang sederhana dan di balik wajah dingin Phantom, tersembunyi kisah yang akan menguji batasan, keberanian, dan kenyataan mereka yang tak terduga. Akankah mereka menemukan titik temu di antara ketidakpastian dan ketegangan yang mengikat mereka? Atau akan mereka terjebak dalam dunia masing-masing, terasing dalam ketidakpastian yang mereka bawa? *Selamat membaca.*
Pagi itu jalanan kota ramai dengan lalu lalang manusia dengan kesibukannya masing-masing. Bersama dengan pejalan kaki lainnya, Yuna seorang gadis yang sedang menuju SMA tingkat pertamanya menunggu lampu penyebrangan berwana hijau bersama dengan pejalan kaki lainnya. Masih ada dua puluh detik lagi, kendaraan di jalanan itu melaju dengan stabil dan rapi. Polisi lalu lintas bersiaga mengatur kota untuk tertib. Lampu lalu lintas untuk penyebrang sudah berwarna hijau dengan batas waktu selama seratus detik.
"Hei lihat bukankah itu tas edisi terbatas yang harganya sangat mahal? Wah hebat, kurasa yang memakainya itu seorang model. Dia cantik sekali," bisik seorang gadis SMA pada teman di sebelahnya mengenai seorang wanita yang tengah memakai tas bermerek yang kini ramai menjadi perbincangan.
"Irinya! Melihat penampilannya saja kita tahu pasti ia telah melakukan hal baik di kehidupan sebelumnya," sahut temannya yang hingga pandangannya masih lekat ke arah wanita yang mereka bicarakan.
Seorang wanita dengan pakaian kasual kantoran di samping Yuna buru-buru meletakkan cushion miliknya di dalam tas. Tak jauh dari sana toko-toko di pinggir jalan mulai membuka folding gate mereka. Sebuah toko bunga menyusun jajaran dagangannya hingga terlihat seperti taman bunga kecil penuh warna dengan seorang pemilik toko yang tampan. Di sampingnya sebuah toko fashion menampilkan etalasenya yang penuh dengan fashion yang stylish. Merapikan jajaran manekin yang berbaris bak model fashion yang menawan.
Sekolah tampak di depan mata. Eden High School, bangunan dengan dinding keabu-abuan ala eropa klasik menjulang tinggi. Siswa-siswi berpenampilan rapi untuk belajar atau mungkin hanya sekedar kewajiban. Bersama dengan para siswa baru lainnya, Yuna menuju papan pengumuman untuk melihat kelasnya. Satu-A, begitu informasi yang terpampang menujukkan dimana ia akan belajar. Ia menuju ke sana. Masuk ke dalam, sejenak mengamati keadaan di dalam dan mencari kursi yang nyaman untuknya duduk selama dua semester ini.
"Halo semuanya,selamat datang di kelas baru kalian!" Datang seorang wanita dengan kaca mata tebal yang tersenyum lebar menyapa. "Saya Aline yang akan menjadi wali kelas kalian tahun ini. Nah, semoga kalian bisa menikmati tahun belajar kalian di sekolah ini." Mengedipkan sebelah mata dengan polahnya yang ceria. Para siswa dipersilakan mengenalkan diri masing-masing tak terkecuali Yuna. Dengan antusias mereka menyebut nama saling mengakrabkan diri. Namun tidak dengan Yuna ia hanya memperkenalkan diri dengan sekedarnya saja. Bukan, bukan ia tak ingin menjadi akrab akan tetapi ia tak berani untuk bersikap lebih atraktif ia pikir itu mungkin akan aneh untuk dirinya.
Gadis bermata bulat yang manis begitulah sering orang memandangnya, namun Yuna berkepribadian tertutup dan tak tahu bagaimana ia harus bersikap untuk mendapat teman. Dalam pikirannya ia sering terjebak jikalau ia melakukan kesalahan saat ia berinteraksi dan seseorang akan marah padanya. Ia masih bisa tersenyum saat seseorang mengajaknya bicara dan menjawabnya dengan sopan dan lirih, namun akan diam seakan patung saat berkumpul dengan sekelompok orang. Beberapa orang menganggapnya menyedihkan, mengasihani bahkan melirik yang entah apa artinya.
Setelah waktu istirahat berakhir para murid menuju aula utama sekolah dengan kursi yang telah tersusun rapi, mereka menyebutnya sambutan untuk para siswa baru. Pembawa acara mulai membuka acara yang dilanjutkan dengan sambutan oleh beberapa pihak yang ditentukan hingga beberapa kata dari seorang pria tua bijak yang merupakan kepala sekolah Eden. Beberapa masih antusias mendengarkan, beberapa mengantuk dan ada yang bosan ingin segera berakhir namun tetap dengan sikap diam yang menghormati.
Hingga bagian terakhir berdiri seorang siswa perwakilan dari para siswa baru untuk melakukan sambutan. Mata para gadis di sana terbelalak terkagum dengan ketampanan sosok yang berdiri di hadapan mereka. Rambut coklat keemasan dengan bola mata berwarna amber. Ia Daven, pria dengan tubuh dan wajah yang sempurna. Dalam kata-kata yang disampaikan tercermin seseorang yang cerdas dan aura berwibawa pada dirinya. Di akhir sambutannya ia membungkuk memberi tanda hormat dan beranjak meninggalkan panggung, langkahnya pun mengagumkan dan para gadis belum melepaskan pandangan mereka.
Di bagian akhir para murid diarahkan menuju stand klub yang ada di sekolah itu, samping kanan kiri penuh riak tenda-tenda stand berdiri dengan brosurnya yang menarik. Seorang pria boncel berlari terburu-buru membawa kardus dengan setumpuk barang di tangannya. Karena tubuhnya yang terbilang mini untuk anak seusianya pandangannya sedikit terhalang barang yang ia bawa sehingga tak sengaja menabrak Yuna yang sedang berjalan.
Bruk!
"Aw! Ah maafkan aku, aku tak melihatmu. Huwaa semuanya berantakan ketua akan memarahiku," ceroceh pria boncel tersebut yang bernama Axel sambil membereskan barang yang ia bawa.
"Maaf," lirih Yuna yang masih terdengar oleh Axel.
"It's ok, it's ok ini juga salahku." Tawanya ceria, ia akan segera pergi ketika semua bawaannya sudah kembali terkumpul. Namun Yuna menahannya dengan agak ragu. "Bo-boleh kubantu?" lirihnya.
Axel tertawa menunjukkan barisan giginya yang rapi. "Boleh."
Yuna mengambil sedikit barang bawaan dari Axel dan mereka bersama berjalan menuju suatu stand dengan beberapa orang yang berpakaian cosplay tokoh anime. Axel berterima kasih kepada Yuna karena ia telah membantunya. Seorang pria berpenampilan seakan tokoh Usagi Tsukino dari Sailor moon muncul, menatap lekat ke arah wajah Yuna yang kikuk dibuatnya.
"Waaa, hebat matamu bulat sekali. Apa kau mau memakai kostum yang kusiapkan? Kau akan cocok jika memakai kostum maid dengan telinga kelinci. Kyaaa membayangkannya saja sudah begitu manis." Menangkupkan tangan memohon dengan gemulai, matanya berbinar penuh harap.
"Hei, Kei sudahlah jangan menakutinya. Maafkan anggota kami. Kami rainbow club, silakan jika tertarik ini brosurnya," ucap ramah seorang gadis manis berpenampilan layaknya tokoh Rimuru Tempest.
"Terima kasih aku akan memikirkannya." Yuna menerima brosur tersebut, namun belum berpikiran untuk masuk dalam klub tersebut karena memang belum menarik minatnya. Selain itu semua orang di klub itu begitu membuatnya gugup.
"Dah, kunjungi kami lagi ya!" teriak Kei yang masih berharap Yuna mau bergabung. Sambil berjalan Yuna mengamati satu persatu stand yang mungkin akan menarik minatnya.
Satu jam kemudian ....
Belum menemukan klub yang ingin ia masuki, ia duduk di sebuah kedai takoyaki dan memesan seporsi. Lima buah takoyaki yang masih mengepul dengan saus dan beberapa taburan di atasnya begitu menggugah selera. Ia menikmati makanannya sambil masih berkutat dengan klub mana ia harus bergabung. Sekolah Eden mewajibkan seluruh muridnya untuk mengikuti setidaknya satu klub di sekolah itu terlebih bagi seorang murid beasiswa prestasi seperti Yuna. Ia pun membuka selebaran yang diberikan kepada setiap murid baru untuk daftar klub yang ada di sekolah itu. Mengamati satu persatu daftar di dalamnya. Matanya berhenti di sebuah klub bernama klub bahasa inggris. Nampaknya ia telah memutuskan.
"Sepertinya ini saja." Begitulah yang ia pikirkan. Setelah menghabiskan lima takoyakinya Yuna beranjak menuju stand klub bahasa inggris untuk mendaftar. Stand-stand klub masih ramai pengunjung, tampaknya para murid baru lainnya juga sama bimbang untuk memilih.
"English Club. Learning to Have Fun." Terpampang papan bertuliskan kata-kata itu di depan stand yang Yuna datangi, ia melihat sejenak dan seorang gadis senior satu tahun di atasnya menghampiri dengan senyum ramah.
"Hai, mau bergabung dengan klub kami?" tanyanya ramah.
"Oh iya saya mau mendaftar."
"Baiklah kau bisa mengisi data diri di form ini dan kembalikan padaku setelah kau selesai, ok." Yuna mengisi form yang diberikan kepadanya dan segera menyerahkannya kembali. Tinggal menunggu waktu hingga semua klub memulai kegiatan di sekolah itu.
POV YUNA
Jam sekolah telah usai aku pulang menuju apartment kecil yang baru dua hari kutinggali. Kuputuskan untuk hidup sendiri saat aku beranjak SMA, bukan apa-apa aku hanya ingin mencoba untuk bisa hidup sendiri dan tak merepotkan mereka yang selama ini telah baik merawatku. "Aku juga harus segera mencari kerja sambilan," pikirku saat itu, namun semuanya tak semudah yang aku bayangkan bahkan barang-barang pindahan dalam kotak kardus masih berserakan belum kurapikan. Sebelum sampai di apartement kuputuskan untuk mampir sebentar di minimarket untuk membeli beberapa kebutuhan dan makanan instan.
"Minimarket 24 Jam." Begitulah yang tertulis di depannya dengan seorang pria agak gendut berkacamata yang menjaga minimarket, sepertinya ia seumuran denganku. Beberapa barang di rak masih berantakan belum selesai ditata. Mataku awas mencari ke setiap barisan rak untuk mencari apa yang kubutuhkan. Selesai memilih aku menuju kasir untuk membayar yang telah kubeli. Pintu minimarket terbuka, seorang pelanggan masuk berpapasan denganku yang akan keluar dari minimarket. Hari semakin sore aku bergegas pulang sebelum gelap.
"Terima kasih, silakan datang kembali," ucap pelayan minirmaket tatkala aku beranjak.
Membuka pintu apartement dengan ruangan yang gelap dan menyalakan semua lampu. Kurebahkan badan yang sedikit lelah membuka ponsel dan mengecek semua pesan masuk. Beberapa dari keluarga yang menanyakan keadaanku juga sebuah grup obrolan baru anggota klub bahasa inggris, rupanya mereka telah memasukkanku ke dalamnya. Obrolan grup ramai bersahutan begitupun dengan bunyi pesan masuk yang tak henti keluar dari ponsel. Klub akan dimulai esok untuk perkenalan dan semua tampak antusias, aku belum membalas dari semua obrolan itu namun tentu saja aku akan datang.
Sinar matahari menyeruak ke sedikit celah tirai, dering alarm membangunkaku. Rupanya aku tertidur setelah semalam lelah membereskan barang-barang yang belum kukeluarkan dari kardus semenjak pindah. Memanaskan makanan kemasan dari minimarket semalam ke dalam microwave. Memandang wajah yang terpantul pada cermin ketika sedang mencuci muka. Memperhatikan kedua bola mata yang tergambar di sana, mereka memang begitu bulat dengan pipi yang sedikit berisi dan kenyal.
"Tunggu aku, haah kau memang tidak sabaran."
"Kau yang selalu bangun terlambat."
Dari luar, suara riak orang mengobrol terdengar. Bunyi microwave tanda makanan telah selesai dipanaskan berbunyi, Aku yang telah berganti seragam sekolah memakan sarapan yang telah kupanaskan. Nasi berwarna kuning yang ditambahi beberapa pendamping berupa ayam suir, potongan daun seledri, irisan telur dadar yang matang sempurna dan sedikit taburan bawang goreng. Makanan kemasan yang cukup menggugah selera.
"Huwaaa tidak semua dokumenku!" teriak seorang pria paruh baya berkacamata menabrak seorang wanita.
"Aduh! Ceroboh sekali sih, pakai matamu kalau jalan!" teriak wanita yang ditabraknya, ia terjatuh hingga kopi yang dipegangnya tumpah mengenai kemeja putihnya.
Pagi hari seperti biasa, kota begitu sibuk dengan isinya yang berlalu lalang. Seorang pria yang tidak hati-hati menerbangkan seluruh isi dokumen yang dibawanya karena angin yang cukup kencang dan wanita di hadapannya yang berteriak kesal membuat pagi menjadi tidak begitu damai. Aku tak peduli dan tetap berjalan bersama beberapa orang lainnya.
Aktivitas sekolah dimulai, seorang guru pria paruh baya dengan rambut sedikit botak mengajar tentang sejarah. Buku-buku di atas meja terbuka dan beberapa murid yang mendengarkan terkantuk-kantuk. Dengan seolah murid teladan kugerakkan tanganku mencatat apa yang pria tua itu terangkan. Seusai kelas aku menuju ruang dimana klub bahasa inggris memulai kegiatannya. Beberapa orang telah berkumpul dan aku duduk tak jauh dari mereka.
Tak berselang lama, senior ketua klub datang ke kelas. Ia gadis yang membantuku saat di stand sebelumnya, gadis dengan senyum yang ramah. Lauren, begitu namanya saat ia memperkenalkan diri. Dilanjutkan dengan anggota lainnya yang juga mulai memperkenalkan diri satu persatu, hingga tiba giliranku untuk juga memperkenalkan diri.
"Perkenalkan namaku Yun ...." Tanpa disangka karena gugup dan tenggorokan yang sedikit kering membuat suara yang keluar dari mulut ini menjadi pecah.
"Gawat, apa yang kulakukan? Pasti saat ini semua memandangku aneh." Menundukkan kepalanya, Aku berpikir keras tentang apa yang baru saja terjadi. Jari-jariku saling meremas, keringat dingin mulai merembas di dahi. Air mata terasa hampir keluar, aku ingin menangis.
"Emm apa kau baik-baik saja? Apa sedang tidak enak badan?" Cecil, gadis di sebelahku menepuk pundak. Lauren menghampiri untuk melihat apa yang terjadi.
"Apa kau baik-baik saja?" tanyanya dengan senyum ramah, Aku menganngguk. "Yah, baiklah teman-teman ini Yuna, aku sudah tahu namamu sebelumnya." Senyumnya lebar sembari mengerlingkan mata. Seorang pria berpenampilan khas siswa berandalan di meja ujung terus melihat ke arahku membuat rasanya semakin tidak baik-baik saja.
Kegiatan klub hari itu tidak terlalu lama karena memang hanya bertujuan untuk memperkenalkan diri masing-masing dan menjelaskan aktivitas klub untuk kedepannya. Dengan seribu langkah aku tak sabar untuk segera keluar dari ruangan. Namun naasnya karena terlalu terburu-buru dan pandangan yang terus melihat ke bawah bahunya menabrak laki-laki yang sebelumnya terus melihatiku. Lelaki itu menatap, matanya begitu tajam dan tampak garang, ia berlalu setelahnya tanpa mengatakan apapun.
Dengan lunglai dan seakan nyawa telah keluar aku kembali berjalan lebih hati-hati menyusuri koridor sekolah untuk kembali ke kelas. Masih ada dua pelajaran lagi sebelum jam pulang sekolah. Di sisi kanan kiri penuh murid yang bercanda tawa, dan beberapa yang hanya membahas hal-hal sepele dengan sangat menyenangkan. Perhatianku teralihkan ke sebuah ruangan yang begitu ramai meski hanya beberapa orang yang ada di dalam. Sedikit aku mengintip ke sedikit celah pintu yang terbuka untuk melihat kegiatan di dalamnya yang terdengar menyenangkan.
"Rasengan!"
"Kyaaa!" teriakku tatkala sebuah plastik berisi air terlempar ke arah wajah dan pecah, kurasakan air yang dingin membasahi kepala.