icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
About Alana's life

About Alana's life

Araaa

4.3
Komentar
786
Penayangan
35
Bab

Alana Septiani Putri, gadis yang berusia 18 tahun ini harus dilahirkan dalam keluarga yang membencinya. Terutama, sang Kakak. Menjadi salah satu dari dua bersaudara memang harus menerima resikonya apapun yang terjadi. Yah, seperti Alana contohnya. Dirinya yang harus selalu dibandingkan dengan sang Kakak yang memang sangat dinomorsatukan dalam hal prestasi akademik. Yang sangat amatlah jauh berbeda darinya. Padahal jauh dari kakaknya, ia lebih pintar. Namun, kepintarannya itu ditiadakan oleh sang kakak. Satu hal yang sangat amat dan harusnya didapatkan oleh Alana sejak kecil tak pernah tersampaikan. Kadang, ia bertanya apakah ada suatu saat yang tepat ia akan menerima hal tersebut, mungkin ia akan meminta untuk menghentikan dunia pada hari itu. Yup, Alana membutuhkan rasa kasih sayang dari keluarganya untuk pertama & terakhir kalinya. Kapan kah, ia mendapatkannya? Yuk, simak!

Bab 1 Pengenalan Alana

Alana Septiani Putri, gadis yang kini usianya beranjak dewasa. Di setiap harinya, ia harus menguatkan dirinya sendiri bahwa ia pasti bisa. Bukan karena apa. Tetapi, memang harusnya seperti itu sebelum ia mendapatkan hal yang tidak diinginkan. Misalnya, dijatuhkan berkali-kali oleh keluarganya sendiri, atau diperlakukan seenaknya oleh keluarganya.

Gadis yang biasanya dipanggil Al, atau Alana ini, adalah gadis cantik yang memiliki wajah yang nyaris sempurna. Dilihat dari kulitnya yang putih, tubuh yang tingginya berkisar 165 cm, tidak terlihat kurus, juga tidak terlihat gemuk. Sangat pas, dengan dirinya. Hidung mancungnya, bibir tipisnya, bulu mata lentiknya, dan juga bola matanya yang indah.

Alana tipe cewek yang pendiam. Akan tetapi, ia memiliki sifat yang ramah kepada semua orang. Misalnya kepada orang tua, ia akan membantu ketika melihat orang tua yang kesusahan dimanapun ia menjumpainya. Atau, kepada orang-orang yang ia jumpai di jalan. Pastinya, ia akan memberikan senyuman dan sapaan kepada orang tersebut.

Alana memang bukan anak yang pintar, atau sangat berbakat dalam hal prestasi. Ia hanyalah gadis biasa saja. Mampu mengikuti, mampu melakukan, mampu berfikir, dan bisa semua itu.Akan tetapi, hanya secukupnya saja. Padahal, ia bisa. Tetapi, ia tidak ingin merasa sombong karena prestasi. Biarkan itu menjadi bakat yang ia pendam.

“Alana, bisa ngga sih. Lo itu, kerjaannya yang bener? Bantu mikir doang, kok susah banget sih!” gerutu sang kakak. Alana yang masih duduk di depan sang kakak, dengan mengerjakan beberapa lembar jawaban kakaknya itu, hanya memandang dan terus berfikir keras untuk mencari jawaban.

“Maaf Kak,” ujarnya.

Yup, kini Alana sedang duduk di ruang tamu bersama sang kakak. Mengerjakan tugas sang kakak adalah kebiasaan Alana setiap harinya setelah ia lulus dari SMA. Padahal, ia saja belum masuk ke perguruan tinggi. Walaupun, sebentar lagi ia akan masuk. Tetapi pikirkan saja coba, kakaknya sudah duduk di semester dua bangku kuliah. Dan bahkan, Alana saja belum masuk satu semester pun sudah disuruh mengerjakan tugasnya.

Sang kakak berdecih. “Segitu aja ga bisa. Bodoh banget sih jadi orang!” cetus sang kakak kasar kepadanya.

Alana hanya bisa pasrah. Apapun yang ia dengar, apapun yang ia terima, apapun yang ia lihat, semuanya emang harus ia terima mau bagaimanapun, itu adalah jalan satu-satunya dia masih dianggap anak oleh keluarganya.

“Ini ada apa sih, dari tadi teriak-teriak terus. Mama sampai ga fokus sama urusan Mama.” ucap sang mama yang tiba-tiba datang dari kamarnya.

Alana dan Alena menoleh menatap kedatangan sang mama. “Tuh, liat Mah. Alana masa dari tadi suruh ngerjain itu aja, masa ga bisa!” adu Alena pada mamanya.

Sang mama menoleh menatap Alana sinis. Melangkahkan kakinya menuju tempat Alana duduk dan menarik kasar lengan Alana berdiri secara terpaksa.

“Aww, Mah. Sakiiitt!” jerit Alana ketika merasakan sakit di lengannya.

Sang mama terus menarik Alana berjalan mengikutinya. Menaiki anak tangga dan berjalan menuju kamar di ujung, tak lain kamar Alana sendiri. Sang mama membuka pintu, dan menguncinya. Kemudian, menghempaskan tubuh Alana ke lantai dengan kasar.

“Awww!” jeritnya.

Sang mama berdiri angkuh dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada, melihat Alana yang berada di bawah lantai.

“KAMU, JADI ANAK KOK BODOH BANGET SIH! PAPA KAMU TUH NYARI UANG BUAT KAMU, ITU TUH BIAR KAMU BISA JADI ANAK PINTER. BISA NGGA SIH, GA USAH MALU-MALUIN KELUARGA SAYA? KAMU, KELUARGA SAYA BUKAN? HAH?” bentak sang mama di depan Alana.

Alana hanya bisa menunduk. Sakit? Yah, sudah pasti. Fisiknya yang berkali-kali disakiti, dan juga batinnya yang terus-terusan tersiksa. Beginilah hidupnya. Kadang, ia mengharapkan papanya yang selalu ada untuknya dan memberikan semangat. Tetapi, akan ada tanggapan negatif dari sang mama, dan kakaknya yang membuatnya tidak bisa berbicara atau membantah. Karena memang, inilah yang sudah terjadi. Mau dibantah pun, sama saja ia akan memulai perkara baru lagi. Dan lebih, lebih, menyakitkan bukan?

Alana hanya menunggu waktu yang pas dan tepat. Khususnya, dimana ia akan melihat keluarganya benar-benar menginginkan kehadirannya. Tetapi, mungkin sekarang bukan dan belum waktunya saja. Apa ia harus terus tetap sabar menghadapi dan menguatkan dirinya, untuk selalu menerima perlakuan di hidupnya.

“BANGUN KAMU!” perintah sang mama.

Alana ingin menangis. Tetapi, ia terus menahannya. Ia menundukkan kepalanya, dan terus duduk di hadapan mamanya.

“KAMU TULI? HAH?” bentak sang mama lagi yang baru disadari Alana.

Alana yang kaget mendengarnya langsung berdiri. Walaupun tubuhnya tidak kuat untuk berdiri, ia paksakan untuk bisa. Karena, tidak untuk dirinya menunjukkan kelemahan di depan sang mama.

“Buruan turun, lalu masak!” titah sang mama. Kemudian berbalik, dan membuka pintu kamar juga membantingnya secara kasar.

Alana hanya memegang dadanya, rasanya benar-benar nyeri. Ia memandang pintu tersebut, dan menundukkan kepalanya kembali, meremas dadanya kuat, dan tak terasa air matanya lolos begitu saja.

“Sakiiiittt Mah.” ucapnya lirih.

“ALAANAAAAA BURUAAAANNN, GUE UDAH LAPAAAR GAUSAH LELET YAAA JADI ORANG!” teriak Alena dari bawah masuk sampai ke pendengaran Alana.

Alana yang menyadarinya, langsung mengusap air matanya dan menghembuskan nafasnya pelan. “Alana, you can! Don't down!! Its, okee.” ucapnya, kemudian berjalan keluar dan menutup pintu kamar.

Bukan hal yang mudah bagi Alana melewati ini semua. Kadang, ia sudah berusaha sebaik mungkin apakah ia bisa jadi seorang anak yang seperti diinginkan oleh orang tuanya. Tetapi, hari demi hari bukan semakin baik, tapi sebaliknya. Dulu, papanya Alana adalah orang yang paling percaya dengan Alana. Karena, Alana adalah anak yang paling baik, ceria, rajin dan selalu dinomorsatukan oleh sang papa. Tetapi, itu diselingi dengan kesibukan papanya. Dan sekarang, sulit bagi Alana untuk selalu bersama sang papa, dan mendapatkan kasih sayang papanya lagi. Tetapi, semenjak kakaknya tidak menerima Alana diperlakukan seperti itu, akhirnya ia membuat Alana menderita sekarang.

Dan, ketika Alana menjadi semakin dewasa, dunianya berubah. Karena, ia susah mendapatkan prestasi. Apapun itu, tidak pernah sama sekali. Tetapi, semua itu hanya kebohongan yang dipalsukan oleh kakaknya, yang tidak mau kalah dan harus paling utama sebelum Alana.

Kalau dibilang Alena licik. Berarti, perlu dibenarkan. Ia memang wanita licik yang tidak punya hati. Selalu iri, dan juga syirik. Kepada Alana, khususnya!

Flashback 10 tahun yang lalu,

Alana yang menginjak usia ke 8 tahun, sedangkan sang kakak yang berusia 10 tahun. Tepatnya, ketika kenaikan kelas di SD. Alana yang baru saja naik kelas 2 SD, dan kakaknya yang akan naik kelas 4 SD.

Saat itu, papanya Alana sedang berada di luar kota. Jadi, yang akan mengambil rapor kedua anak adalah sang mama.

Waktu itu, Alana sedang berada di samping kanan mamanya, dan Alena duduk di samping kiri mamanya juga. Saat pembagian rapor di kelas dua, nama Alana berada di posisi rangking pertama di kelasnya. Sedangkan, Alena berada di posisi rangking tiga di kelasnya.

Setelah selesai pembagian rapor, mereka keluar dari ruangan tersebut. Dan ternyata, berpapasan dengan beberapa ibu-ibu di luar ruangan. Ada yang anaknya kelas 3, kelas 2, dan juga kelas 4. Yah, berada di kelas yang sama dengan Alena.

“Ehh, Alena. Dapet peringkat berapa, nak?” tanya sang ibu yang putranya berada di kelas 4.

“Dapet peringkat 3, Bu.” jawab sang mama.

“Ohhh, anak saya peringkat pertama di kelas kamu, Alena.” ucap sang ibu lagi.

Alena yang mendengarkan, hanya mengerutkan dahinya.

“Oh ya, siapa anaknya Bu?” tanya mamanya Alena.

“Namanya Evan, Bu.” jawabnya.

“Ohh, anaknya pinter ya Bu?” ucap mamanya Alena lagi.

“Iya Bu, oh iya ini anak ibu juga?” tanyanya, ketika melihat Alana yang berdiri dan diam di samping sang mama.

“Iya Bu, ini yang kelas dua.” jawabnya.

“Alana ya ?” tanya ibu yang satunya.

“Iya, kok Ibu tau?” tanya mamanya Alena balik.

“Anak saya kan, kelas dua juga Bu.” ucapnya.

“Alana pinter ya, bisa dapat peringkat satu. Eh, Kakaknya malah dapat tiga. Alena, coba liat adek kamu aja bisa, masa kamu ngga!” lanjut ibu itu.

“Iya yah, Alana pinter.” sambung ibunya Evan.

“Heheh, iya Bu. Namanya juga anak-anak jadi kita gatau bisanya dimana. Biasalah, beda-beda gitu.” jawab mamanya Alana dan Alena.

Alena yang mendengar penuturan tersebut menjadi marah. Wajahnya berubah seketika. Sepertinya, ia tau bahwa mereka sama saja menjelek-jelekkan dirinya.

Alena juga menatap Alana, yang selalu senyum-senyum menanggapi penuturan ibu-ibu disitu, membuat Alena menjadi bertambah marahnya.

“Senyum terus Alana, sebelum aku buat senyummu itu ilang!” batinnya, lalu melepaskan tangannya dari sang Mama, kemudian pergi meninggalkan orang-orang disitu.

Alana yang melihat Alena pergi bingung seketika.

Flashback off

“WOY, LO GABISA MASAK YANG BENER. HAH? LIAT? MASAKANNYA JADI GOSONG, GARA-GARA LO NGELAMUN DARI TADI. BENER-BENER GA BECUS KALO KERJA LO!” bentak sang kakak.

Alana yang menyadari kedatangan sang kakak menjadi kaget, dan lebih kagetnya ia melihat telur yang ia goreng menjadi gosong.

Alana langsung mematikan kompor dan memegang tangan wajan dengan tidak sengaja, hal itu membuat ia langsung menjerit. Ia tak menyadari, kalau wajan yang ia pegang masih panas. Kenapa ia harus memegangnya.

“Aww, aww, panass!” jeritnya kesakitan.

Alena yang melihatnya langsung memutar matanya malas. “Gue nyesel ya, punya adek kaya lo. Kalo mau ngerjain sesuatu tuh, mikir! Punya otak ga sih lo?” nyolot Alena, kemudian membalikkan badannya dan pergi meninggalkan Alana di dapur.

Alana hanya menatap kepergian kakaknya.

“Non, ngapain disini?” tiba-tiba sang Bibi datang dan berbicara kepada Alana.

Alana yang mengetahui hal itu, menoleh dan menatap sang bibi. Lalu, ia memberikan senyuman kepada sang bibi

“Ah, iya Bi. Alana bantuin Bibi masak, ya?” katanya.

Sang bibi yang mendengar penuturan majikannya sedikit kaget.

“Loh, Non Alana sebaiknya istirahat. Ini pekerjaan saya, biarkan saya saja yang mengerjakannya ya!” bantah sang bibi tak ingin merepotkan.

Alana yang sedang membersihkan wajan, yang baru saja ia pakai untuk membuat telur tersebut menoleh, menatap dan tersenyum tulus kepada sang bibi.

“Alana udah gede, Bi. Alana mau kok, Alana juga ga merasa ngerepotin Bibi kok. Kan, emang seharusnya Alana yang disuruh kaya gini. Gapapa ya, Bi,” ucapnya.

Sang bibi yang mengerti akan arah pembicaraan Alana, merasa tidak enak hati. Rasanya sedih, jika berada di posisi majikannya tersebut. Tak butuh waktu lama, sang bibi langsung menghamburkan pelukannya kepada Alana. Memeluk erat tubuh mungil itu, dan mengusap kepalanya dengan tulus seperti anaknya sendiri.

Alana yang merasakan pelukan hangat tersebut langsung menangis. Rasanya sesak seperti ini, inilah hal yang ia inginkan dari mereka, terutama sang papa. Tetapi apalah dayanya, Alana tak bisa membuat hal tersebut menjadi nyata.

“Sabar ya, Non. Non Alana anak kuat, Non ngga boleh menyerah semudah dan bagaimanapun keadaan Non. Ingat, ada Bibi disini yang bisa bantu Non Alana. Kapanpun itu. Oke?” tutur sang bibi.

Hal tersebut, justru membuat Alana semakin menahan tangisnya. “Kenapa sesakit ini, ya Allah!” batinya dalam hati.

Matanya ia pejamkan dan menikmati pelukan dari sang bibi. Dengan air matanya yang tak pernah henti merasakan betapa sakitnya ia menerima ini semua.

Alana mengendorkan pelukannya kembali, menatap mata sang bibi dalam. Dari Alana lahir, bahkan sampai sekarang Alana sudah dewasa hanya bibilah yang selalu menemaninya, di waktu dan di saat apapun itu. Hanya bibi, dan bibi yang selalu ia jadikan rumah keduanya untuk pulang saat ia tak dapat mengharapkan rumah lagi dari keluarganya.

Hanya bibilah, tempat bermain dan tempat mengadu Alana sewaktu ia kecil, dan sampai sekarang. Alana sampai tidak tahu, udah berapa kali ia jadikan bahu sang bibi ketika ia meneteskan air matanya. Tetapi, semua itu tak pernah dijadikan beban oleh sang bibi. Alana merasa dia sangat berhutang kepada bibinya. Bertahun-tahun lamanya, bibilah yang selalu menemaninya. Bukan disaat waktu ia bersedih saja, tapi bibilah yang selalu membuatnya bahagia. Kenapa, kenapa bibi melakukan semua itu padanya. Padahal, bibi bukan siapa-siapanya. Tetapi, rasanya sekarang adalah ia melihat sang bibi seperti darah dagingnya sendiri.

“Alana ngga apa-apa kok, Bi,” ucapnya, kemudian memberikan senyuman tulus singkat kepada sang bibi.

“Yaudah, mending Non ke atas aja ya. Nanti, biarin Bibi aja yang masak,” kata sang bibi.

Alana mengerutkan keningnya tak terima. “Eh, ngga. Alana ngga mau, ini kan juga tugas Alana. Yaudah, mending bibi sama Alana masaknya barengan. Okee!” tutur Alana.

Sang bibi langsung tersenyum, kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya menatap Alana. Masih sama rasanya, dari dulu sampai sekarang. Alana, tetaplah Alana yang ia lihat. Walaupun, kini ia semakin dewasa, tak akan pernah pudar sifat, dan sikapnya yang lemah lembut itu dari dirinya.

“Yaudah, berdua aja yang masak. Ayoo!” ucap sang bibi memutuskan.

Alana dengan senang hati tersenyum. “Ayo!” ucapnya bersemangat.

Akhirnya, keduanya pun memulai kegiatannya masing-masing. Alana membantu sang bibi dengan melakukan beberapa hal yang bibinya perintahkan. Dan bibinya menyiapkan hal-hal yang perlu disiapkan. Semuanya dilakukan dengan baik, sampai masakan yang dibuat oleh keduanya dan pekerjaan keduanya selesai.

“Udah Non, udah selesai! Sekarang, Non Alana mandi dulu aja, siap-siap abis itu turun baru makan bareng!” perintah sang bibi.

Alana yang sedang mencuci piring menoleh. “Alana, makan bareng Bibi aja ya?” katanya.

Bibi tak terima dengan penuturan Alana. “Ngga boleh gitu toh, Non. Kan, harus makan bareng keluarga besar,” jelas sang bibi.

Alana mengukir senyumnya kecil. “Keluarga besar? Emang Alana dianggap keluarga besarnya?” tuturnya pahit.

Bibi yang melihatnya merasa tidak enak karena tahu perihal apa yang Alana rasakan. Bibi langsung mendekati Alana, kemudian mengusap pelan bahu Alana.

“Non kuat kok, jangan lemah ya! Non boleh marah, boleh merasa sakit. Tapi, Non harus tunjukkan kepada mereka, kalo Non juga manusia yang berhak untuk diperlakukan sebaiknya. Apalagi, ini keluarga Non sendiri, bukan orang lain. Jadi, Non lakuin apapun yang harusnya Non lakuin. Ingat, jangan takut sama siapapun! Ada Allah di hati Non, setiap saat.” Nasehat sang bibi.

Alana yang mendengar penjelasan sang bibi lantas tersenyum haru.

“Apa-apaan ini, kok malah senyam-senyum! Bukannya buat makanan yang bener, malah asik sendiri,” ucap sang mama yang tiba-tiba datang.

Alana dan bibi yang menyadarinya kaget melihat kedatangan sang mama. Setelah penuturan sang mama, akhirnya keduanya kembali sibuk dengan pekerjaannya. Sebenarnya, memang sudah selesai. Cuma, ada beberapa hal yang perlu disiapkan saja di meja makan.

“Alana, kamu panggilin Alena untuk makan!” perintah sang mama, yang sudah lebih dahulu duduk di meja makan.

Alana yang mendengarnya menoleh. “Baik, Ma.” jawabnya. Kemudian, berlalu meninggalkan dapur dan menghampiri kakaknya ke lantai dua.

Saat di depan kamar Alena, tiba-tiba pintu Alena terbuka dan menunjukkan sosoknya di depan pintu. Saat Alana baru saja ingin berbicara, “Kak, ay ...” langsung dipotong oleh Alena,“Lo bisa ngga sih, ga usah nakut-nakutin gue, dengan cara lo berdiri di depan pintu kaya gini? Untung gue ga jantungan, kalo gue jantungan lo mau tanggung jawab, hah?” tutur sang Kakak kesal, langsung berjalan dan menyenggol kasar bahu Alana.

Alana yang terdorong ke belakang, langsung berbalik menatap pundak kakaknya yang semakin jauh dari pandangannya. Ia membuang nafasnya pelan, “Serba salah ya, jadi Alana,” ucapnya, kemudian melangkah pergi meninggalkan tempat itu dan kembali lagi ke dapur.

Saat tiba di meja makan, Alana hendak mendudukkan dirinya di bangku yang sudah tertera di sana. Yang biasanya, ia jadikan tempat duduk ketika papanya ada di rumah dan makan bersama keluarganya. Tetapi, hal itu sudah tak pernah terjadi. Kini, ia yang mencoba untuk memberanikan diri lagi, apapun hal yang akan terjadi ia akan menerimanya.

“Eehhh, kamu ngapain duduk di situ?” tiba-tiba sang mama menegurnya.

Alana yang baru akan duduk berhenti seketika dan menatap sang mama. “Emang, Alana ngga boleh duduk di sini?” tanyanya.

Alena hanya memutar matanya malas, sedangkan sang mama sudah menunjukkan aura yang berbeda. Sepertinya, ia akan marah lagi.

“Kamu pikir, kamu siapa hah? Seenaknya kamu duduk, kan saya sudah pernah bilang kalau mau makan jangan di meja makan keluarga. Kalo bisa, kamu makan sama Bi Lia di dapur sana!” ucap sang mama tak terima, yang lebih tepatnya mengusir Alana.

Alena sudah tersenyum puas di tempatnya. Alana langsung berdiri, dan mengatur kursi seperti semula serta meninggalkan tempat makan tersebut. Berjalan cepat, dan menuju kamarnya.

Alana menutup pintu kasar, menyenderkan tubuhnya di belakang pintu. Ia perlahan memejamkan matanya, kemudian menatap langit-langit kamarnya. “Ya Allah, Alana masih kuat kan?” tanyanya. “Alana harus apa? Apa Alana memang bukan terlahir dari keluarga ini?” lanjutnya lagi.

“Sakit. Ya, Allah, lebih sakit di jatuhkan oleh keluarga seperti ini, daripada dijatuhkan oleh orang lain,” keluhnya.

Perlahan tubuhnya merosot, lututnya ia peluk dan air matanya kembali menetes. Wajahnya ia benamkan pada kedua lututnya.

Suara tangisnya ia sembunyikan dibalik wajahnya. Iya, Alana cape. Alana butuh semangat, tapi dari siapa? Siapa yang bisa bantu Alana untuk pulih? Hmm, sepertinya mustahil.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku