Entah harus merasa sial atau beruntung. Arlina malah di titipkan sang Ayah pada sahabatnya yang notabanenya adalah sosok duda tampan dan sexy. Membuatnya malah terjalin hubungan yang rumit bersama Albara sang duda tersebut
•••••
" Untuk sementara, Ayah akan menitipkan mu pada teman Ayah. Selama Ayah pergi,"
" Maksudnya gimana, Yah?" Bingung Arlina menatap sang Ayah.
" Begini, untuk beberapa waktu Ayah akan pergi ke desa orang tua Ayah." Albern menghela nafas lebih dulu, sebelum kembali melanjutkan ucapanya.
" Ada beberapa urusan yang harus Ayah selesaikan di sana nantinya. Jadi, Ayah pikir lebih baik kamu Ayah titipkan saja.pada teman Ayah itu."
" Kenapa sih harus di titipin segala? Ayah pikir aku barang apa? Lagi pula aku udah dewasa, aku bisa kok tinggal di sini sendiri," tolak Arlina.
" Tidak bisa!" Bantah Albern. Dia tak mungkin membiarkan putri satu - satunya itu tinggal sendiri di kota seperti ini.
" Ayah akan tetap menintipkan mu pada teman Ayah. Ayah percaya dia bisa menjagamu selama Ayah tinggal nantinya."
" Tapi, Ayah!"
" Tidak ada bantahan, Arlina Albern! Cepat kemasi barangmu sekarang juga. Bawa saja yang nanti akan kamu butuhkan, Ayah tunggu di sini." Titahnya tak ingin di bantah.
Dengan rasa malasnya, Arlina mau tak mau menurut perintah Albern. Dia beranjak dari duduknya lalu pergi masuk ke dalam kamarnya untuk segera berkemas. Sebelum nantinya sang Ayah akan kembali mengomelinya lebih pedas dari tadi.
••••
" Turun!"
Kini keduanya sama - sama turun dari dalam mobil. Arlina menatap rumah dua lantai di depanya itu. Rumah yang bisa di katakan mewah nan elegan bergaya eropa klasik tersebut.
Ternyata teman Ayahnya adalah orang kaya, dia pikir hanya sebatas orang biasa saja. Tak pernah terpikirkan jika sang Ayah memiliki teman yang orang berada.
" Ayo!" Ajak Albern pada Arlina, yang di angguki oleh gadis itu.
Mereka berjalan menuju teras rumah, dan belum sempat mengetuk atau bahkan menekan bell rumah. Pintu rumah tersebut sudah terbuka menampilkan seorang pria tampan.
" Selamat siang, Bara!" Sapa Albern
" Ckk! Kenapa harus sok menyapa segala." Decak pria tampan sang pemilik rumah itu.
" Aku hanya basa - basi saja," kekeh Albern lalu menepuk pundak temanya itu.
" Masuklah ..."
Dia mempersilahkan anak dan Ayah itu untuk masuk ke dalam rumah. Arlinya hanya menurut saja, mengikuti langkah Ayahnya yang terlihat seperti sudah terbiasa datang ke rumah ini.
Saat sudah sampai di dalam, Arlina ikut duduk di sofa ruang tamu yang cukup luas. Matanya seakan meneliti seisi ruangan, mencoba melihat - lihat apa saja yang ada.
" Oh, ya Bara. Seperti yang aku bilang waktu itu. Ini dia Arlina putriku. Aku minta tolong padamu titip dia, karena aku harus pergi ke desa."
Bara menoleh menatap Arlina yang masih sibuk memperhatikan seisi ruangan. Bara mengangguk paham, karena sebelumnya Albern sudah menghubunginya lebih dulu dan menjelaskan maksud kedatanganya saat ini.
" Arlina," Albern menyenggol lengan tangan putrinya.
Arlina pun tersadar mendapati Ayahnya memanggilnya. Menoleh seakan bertanya " apa?"
" Kenalin ini Om Bara,"
" Oh, hay Om aku Arlina." Ujarnya seadanya.
Bara tersenyum simpul menyambut ucapan Arlina. Arlina sedikit terpukau di buatnya, saat mendapat senyuman simpul dari Bara. Rasanya hangat dan dia menyukai senyum manis pria itu.
" Jadi kapan kau pergi?" Tanya Bara.
" Sore ini, makanya aku langsung mengajak Arlina datang kemari sekaligus membawa barang yang nantinya akan dia butuhkan selama tinggal di sini."
" Secepat itu?" Tanyanya lagi,
" Bukankah lebih cepat lebih baik? Aku juga tak ingin terlalu lama merepotkanmu."
" Kau ini seperti dengan siapa saja?"
" Arlin, Ayah harap kamu akan baik - baik saja di sini dan tak merepotkan teman Ayah ini yang sudah berbaik hati mau di titipimu."
" Ayah, sudah aku bilang aku bukan anak kecil lagi. Ayah tidak perlu khawatir, aku tak akan membuat kekacauan selama Ayah pergi," cebik Arlina merasa kesal sekali. Ayahnya sungguh sangat berlebihan padanya.
" Ya sudah kalau begitu Ayah pamit,"
" Loh, kata Ayah perginya nanti sore?"
" Iya memang, tapi Ayah harus bersiap lebih dulu" sahutnya enteng.
Arlina kembali mencebik, melihat jam yang melingkar di tangan kirinya kini baru pukul Dua siang.
" Bara, sekali lagi terima kasih dan maaf sudah merepotkanmu."
" Tidak.perlu seperti itu, kita itu berteman. Jadi tak perlu merasa sungkan."
Albern memilih pamit dari sana, meninggalkan Arlina di rumah itu.
•••
Sesampainya di rumah, Albern bergegas turun dari mobilnya dan masuk ke dalam berkemas membawa beberapa pakaian untuk ganti nantinya di sana.
Albern juga memilih membawa kendaraanya sendiri ketimbang naik transportasi udara atau yang lainya. Dia merasa jika membawa mobil sendiri akan terasa bebas saat lelah dan ingin beristirahat di mana saja.
Terlebih nantinya dirinya juga bisa menggunakan mobil itu saat sudah sampai di desa. Di desa orang tuanya dulu, terbilang masih begitu asri dan tak begitu banyak ada kendaraan umum saat ingin berpergian kemana pun itu.
Ada hari - hari tertentu saja, kendaraan umum dapat bisa di akses seperti saat ing pergi ke pasar atau ke tempat lainya.
Di sisi lain Arlina tengah duduk di atas kasur yang akan menjadi kamarnya selama tinggal di rumah ini. Kamar yang tak terlalu luas maupun sempit itu, begitu nyaman bagi Arlina.
Terlebih kamar mandi yang juga terletak di dalamnya, bisa memudahkan Arlina nantinya tak begitu repot harus keluar kamar lebih dulu jika ingin buang air saat malam hari.
" Kok dari tadi sepi ya? Emangnya gak ada orang lain apa di sini?"
Arlina berbicara sendiri merasa heran, belum menemukan orang selain Om Bara tersebut di dalam rumah ini.
Tak ingin ambil pusing, Arlina lebih memilih membereskan barang yang dia bawa dari rumah. Mulai memasukan pakaian ke dalam lemari dan menata alat kecantikanya di atas meja dandan yang sudah te
" Ahh ... cape juga," keluhnya setelah selesai membereakn semua barang miliknya.
" Haus lagi," Arlina menggigit bibirnya bingung sendiri saat ini.
Dia merasa sangat haus tapi bingung harus bagaimana? Diakan termasuknya tamu yang menumpang di sini dan gimana caranya dia ijin meminta minum pada sang pemilik rumah.
Arlina memilih keluar dari dalam kamar. Dia akan memberanikan diri meminta ijin pada Bara untuk meminta minum.
" Sedang apa?"
" Eh!" Arlina terlonjak kaget saat mendengar suara Bara tiba - tiba itu.
" Kenapa?" Bara bertanya kembali.
" Emm, itu ... anu ... " bingung Arlina.
" Katakan saja,"
" Emm, maaf Om sebenarnya aku haus dan pengen minta minum," cicitnya sembari menunduk malu.
Bara menggeleng tak habis pikir pada gadis di depanya ini.
" Ikut saya!" Titahnya berjalan lebih dulu membuat Arlina dengan cepat mengikuti langkah Bara yang ternyata pergi ke dapur.
" Jika haus atau pun lapar, bisa ke dapur ini. Kebetulan di sini tak ada pekerja yang menginap dan hanya ada pulang pergi saja setiap pagi sampai siang." Bara mencoba menjelaskan.
" Makasih, Om." Arlina menerima gelas berisi air yang di sodorkan Bara padanya.
" Kamu bisa minum atau makan - makanan yang ada. Biasanya Bibi akan memasak lebih dulu sebelum pulang dan menaruhnya di meja makan itu," tunjuk Bara ke arah meja makan tak jauh dari jarak mereka berdiri.
" Di sini kamu harus melakukan apapun itu sendiri, kecuali pagi sampai siang saat Bibi masih ada bekerja. Kamu bisa meminta tolong padanya."
" Ah, gitu Om." Arlina mengangguk paham.
" Ayok!" Bara menarik lembut tangan Arlina, membawanya untuk duduk di kursi makan.
" Makanlah," Bara mempersilahkan Arlina makan.
" Om gak makan?"
" Saya masih kenyang, kamu bisa makan sendirikan? Saya harus kembali bekerja."
" Bisa kok, sekali lagi terima kasih."
Bara mengangguk sebagai jawaban, dan segera pergi meninggalkan Arlina di sana. Arlina menatap punggung Bara yang menghilang saat memasuki sebuah ruangan. Mungkin itu ruang kerjanya atau kamarnya? Arlina tak tahu.
•••••
Buku lain oleh Viie_96
Selebihnya