Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
The Vampir Is My Boyfriend

The Vampir Is My Boyfriend

hrell_zy

5.0
Komentar
12
Penayangan
1
Bab

Ig: my_xerina ×××××××× 'Semua bermula saat dia melanggar satu aturan yang tidak seharusnya dilanggar' 'Dia' adalah anak nakal dengan tato. Dan julie adalah gadis baik-baik yang selalu memakai kacamata, dan 'dia' adalah miliknya. ×××××××× Ketika Julianne Winters memutuskan untuk pindah ke asrama di Universitas terkenal, dia telah merencanakan segalanya agar dia bisa lulus dan meninggalkan tempat itu. Namun, rencananya mulai berantakan sejak mata Roman Moltenore, seorang mahasiswa tahun akhir, tertuju padanya. Dan dari penampilannya saja, sudah jelas bahwa Roman adalah MASALAH. "Aturan apa ini?" Julianne bertanya dengan muka bingung saat dia membaca lembaran tersebut. Dia yakin dia belum pernah melihat aturan-aturan kampus ini di situs web mereka. 4. Dilarang menggunakan ponsel. 12. Mahasiswa tidak boleh berkeliling di luar kampus setelah jam sebelas malam. Semakin dia membaca, semakin aneh aturan-aturan tersebut. Temannya membalik halaman dan kemudian menunjuk aturan terakhir #29. Dengarkan Roman Moltenore. "Ini pasti rekaan. Lihat, aturan terakhir bahkan ditulis dengan pensil." Julianne tidak bisa percaya bahwa temannya dari asrama sebelah berpikir dia akan percaya. "Dan kita tidak boleh pakai telepon?" "Kamu harus mematuhi semua aturan. Terutama aturan nomor dua puluh sembilan," kata temannya dengan nada serius. "Jangan sampai terlibat dengan Roman. Jika kamu melihatnya, sebaiknya lari ke arah yang berlawanan. Ada alasan mengapa aturan ini ditulis di sini." Dengan adanya aturan-aturan ini, dia memutuskan untuk mengirim surat tulisan tangan kepada pamannya. Tapi siapa sangka, surat itu malah berakhir di tangan orang lain!

Bab 1 Pertemuan pertama

Julie, dengan kacamata berbingkai bulat yang selalu melorot dari hidung, mendorongnya ke atas untuk kelima kalinya. Tanda jelas dari kegugupan yang mulai merayapi dirinya sejak dia berada di dalam mobil. Matanya yang berwarna coklat gelap memandangi pemandangan di luar jendela, melihat bagaimana barisan pepohonan rindang perlahan berhenti dan digantikan oleh dua pintu gerbang besar yang kokoh, menghalangi jalan di depan mobil mereka.

"Keamanan di sini tampaknya sangat ketat yaa," ujar pamannya, Thomas Winters, dengan senyum simpul di wajahnya. "Rasanya seperti aku akan memasukkanmu ke penjara," lanjutnya, tertawa kecil.

"Saya harap Anda tahu cara untuk menyelamatkan seseorang dari penjara, Paman Tom," balas Julie, mencoba mencairkan suasana dengan nada bercanda. Pada saat itu, dia tidak menyangka betapa tepatnya perkataan pamannya tentang universitas yang akan menjadi tempatnya belajar dan tinggal selama dua tahun ke depan.

Seorang penjaga dengan postur tubuh kurus dan tinggi, rambut acak-acakan yang menambah kesan garang, datang dan berdiri di samping jendela mobil pamannya. Dia membungkuk sedikit, meletakkan salah satu tangannya di tepi jendela mobil.

Melihat penjaga tersebut dia tidak langsung berbicara, hanya menatap dia dan pamannya dengan tatapan tajam, Paman Thomas akhirnya berujar, "Saya di sini untuk mengantar keponakan saya."

"Apakah Anda memiliki kartu mahasiswa?" tanya penjaga dengan suara kasar, matanya kemudian beralih menatap Julie. Sejenak, Julie melihat kilatan merah di mata penjaga itu yang segera menghilang setelah beberapa detik. Apakah matanya berubah warna atau julie hanya membayangkannya [Halusinasi]?

Paman Thomas segera memberikan kartu tersebut kepada penjaga untuk diperiksa dengan seksama. Penjaga itu membolak-balik kartu, memeriksa setiap detailnya sebelum akhirnya mengembalikannya.

"Buka pintunya," perintah penjaga dengan suara lantang, dan pintu gerbang otomatis terbuka. Julie merasakan tatapan penjaga tersebut masih tertuju padanya, membuat bulu kuduknya merinding dan sedikit merasa tidak nyaman.

Saat mereka melaju masuk ke dalam area kampus Veteris, Julie tidak bisa menahan kekagumannya terhadap pemandangan yang mengelilinginya. Barisan pohon-pohon rindang menjulang di kedua sisi jalan, menciptakan koridor alami yang mempesona. Bangunan-bangunan megah berdiri kokoh di sepanjang jalan, tampak seperti rumah-rumah besar yang dipenuhi dengan pengetahuan dan kecerdasan. Di tengah-tengah kampus, terlihat sebuah bangunan yang lebih besar dan megah, menyerupai sebuah kastil.

"Aku masih tak bisa percaya bahwa kamu diterima di universitas ini. Kabarnya, hanya sedikit mahasiswa yang berhasil lolos seleksi lohh," ujar Paman Thomas.

Julie hanya bisa tersenyum ke arah pamannya sebagai jawaban.

Saat mobil akhirnya berhenti di dekat gedung utama, Julie merasa hatinya berdebar-debar. Dia melepaskan sabuk pengaman dan keluar dari mobil, merasakan udara segar kampus yang memenuhi hidungnya. Tampaknya kampus ini adalah dunia yang benar-benar berbeda, jauh dari hiruk pikuk kota yang biasa dia kenal. Di sekitarnya, terbentang lahan luas yang sebagian besar ditumbuhi pepohonan hijau yang menjulang tinggi,

Tiba tiba Dia mendengar pamannya berbicara, "Kopermu pasti sudah sampai di sini karena kami mengirimkannya tiga hari yang lalu dan sisanya ada di sini." Dia mengeluarkan beberapa barang bawaan dari bagasi mobil, dan Julie menerima barang-barang itu. Ketika pamannya menutup bagasi, dia menoleh ke arah Julie, "Apakah kamu yakin tidak ingin tinggal di rumah dan kuliah di perguruan tinggi terdekat? Aku bisa membelikanmu mobil bekas dan kamu bisa berkeliling-"

"Kau sudah berbuat banyak untukku, Paman Thomas. Aku akan selalu berterima kasih atas hal itu. Tolong jangan khawatirkan aku," Julie tersenyum agar pamannya tidak merasa terbebani.

Setelah kejadian beberapa bulan lalu, Julie pindah ke rumah pamannya, adik dari ibunya. Dia adalah orang yang murah hati dan hangat, menikah dengan bahagia dan memiliki seorang putra berusia sepuluh tahun. Hal terakhir yang ingin dia lakukan adalah tidak mengganggu kehidupan keluarga mereka lagi.

“Hanya itu yang bisa kulakukan,” desah Paman Thomas. Julie bisa merasakan hatinya menjadi berat, tapi dia tidak membiarkan hal itu menghalangi senyuman di bibirnya. Dia tidak ingin Paman Thomas mengkhawatirkannya. “Kemarilah, peluklah paman lamamu sebelum kamu pergi.”

Julie memeluk pamannya, menerima tepukan hangat, sambil ditanya, "Saya membaca di formulir bahwa Anda akan diizinkan mengunjungi kami setiap hari Minggu terakhir setiap bulan. Beritahu saya setelah Anda menetap dan juga mengunjungi kami. Dan jadilah gadis yang baik, dan jika kamu butuh sesuatu, kamu tahu aku hanya berjarak panggilan saja dan jika kamu butuh-"

"Ya, Paman Tom. Saya tahu," dia tersenyum, dan dia mengangguk.

Julie melambai lambai tangannya pada pamannya saat ia naik ke dalam mobil dan pergi. Sekarang, ia berdiri sendirian di depan gedung universitas dengan tas troli yang ia genggam erat.

Tempat di mana ia berdiri tidaklah sepi. Siswa-siswa lain sibuk berlalu-lalang di sekitar gedung, beberapa di antaranya terlihat asing dan terkesan sibuk dengan urusan mereka sendiri. Julie merasa sedikit canggung dan gugup.

Ia mendorong kacamata berbingkai bulatnya yang terus melorot dari hidungnya, mencoba menjaganya tetap pada posisinya. Matanya yang berwarna coklat gelap melihat pintu masuk gedung dengan penuh harap dan kegembiraan. Sudah satu menit sejak pamannya meninggalkannya di sini, namun ia merasa seperti berjam-jam telah berlalu.

"Tarik napas dalam-dalam," bisik Julie pada dirinya sendiri, berusaha menenangkan diri. Saat ia menghirup napas, ia merasakan kesemutan di hidungnya yang akhirnya memicu bersin kecil,

"A-a-a-achoo!"

Bersin kecil itu menarik perhatian beberapa siswa yang berada di sekitarnya. Mereka menoleh ke arah Julie dengan rasa ingin tahu, membuatnya sedikit tersipu. Julie segera mengalihkan pandangannya ke arah tas troli yang terletak di dekatnya, menggenggam pegangannya dengan erat.

Tak lama kemudian, Julie melangkah maju menuju pintu masuk gedung. Ia menaiki tangga satu per satu dengan hati-hati, membawa tas lain yang tergantung di bahunya. Saat ia berjalan melewati lorong menuju kantor utama, ia merasa seperti berada di dunia baru yang penuh dengan harapan dan potensi.

Sampai akhirnya, ia tiba di kantor utama. Di balik meja penerimaan, seorang wanita dengan senyuman ramah sedang sibuk menulis sesuatu di komputer. Julie menyapanya dengan sopan, "Hai."

Wanita itu menatap Julie dengan penuh perhatian, "Ada yang bisa saya bantu, sayang?"

"Saya Julianne Winters, baru saja diterima di universitas ini dan saya mencari jadwal dan informasi tentang asrama tempat saya tinggal."

Wanita itu menatap Julie sejenak, "Oh, tentu saja, biarkan saya membantu Anda. Apakah Anda membawa kartu penerimaan?"

Julie mengeluarkan kartu penerimaan dari saku bajunya dan menyerahkannya kepada wanita itu dengan hati-hati. Wanita itu menerima kartu tersebut dan memasukkannya ke dalam komputer, mencari informasi yang Julie butuhkan.

Sementara wanita itu mencari jadwal dan detail tentang asrama, Julie melihat-lihat sekitar lorong yang kosong. Dia merasa sedikit gugup karena sudah terlambat satu minggu.

"Ini dia," kata wanita itu akhirnya, sambil menyerahkan beberapa lembar kertas kepada Julie. "Halaman pertama berisi jadwal kuliah Anda, dan halaman-halaman berikutnya berisi rincian tentang asrama beserta peraturannya. Pastikan untuk membacanya dengan seksama ya."

Julie pun dengan cepat mengucapkan terima kasih kepada wanita itu dengan senyuman tulus, merasa lega telah mendapatkan bantuan yang dia butuhkan.

Wanita itu mengangguk menghormati, dan melanjutkan pekerjaannya dengan fokus.

Dia pun langsung keluar dari ruangan, Julie menyeret troli di belakangnya dengan satu tangan sementara tangan lainnya memegang kertas-kertas yang baru saja dia kumpulkan dari ruang kantor. Dia merasa lega karena telah menyelesaikan satu langkah, dan sekarang langkah berikutnya adalah menemukan asramanya. Namun, sebelum dia bisa melihat kertas-kertas itu dengan lebih jelas dan detail, tiba-tiba dia mendengar keributan di sekitarnya.

"Hah, suara apa itu?" Julie bertanya pada dirinya sendiri, dan dia segera menghentikan langkahnya.

Tidak lama kemudian, dua anak laki-laki dewasa muncul di lorong dengan cara yang tidak biasa. Mereka memasuki lorong dengan sikap yang agresif, saling meninju dan mendorong satu sama lain ke dinding. Pertarungan ini tidak terlihat seperti pertengkaran kecil, karena mereka saling memberikan pukulan dengan segala kekuatan yang mereka miliki. Julie merasa terkejut ketika dia mendengar suara retakan, menandakan bahwa salah satu dari mereka telah mematahkan tulang wajah lawannya.

Salah satu pemuda itu memiliki rambut pirang mohawk yang terlihat seperti banteng yang sedang marah. "Aku akan membunuhmu atas apa yang telah kamu lakukan!" geramnya sambil mengertakkan gigi.

"Kapan saja, Jackson. Beritahu aku saat kamu siap untuk mati," sahut lawan bicaranya dengan tawa kecil. Julie hanya bisa melihat jaket kulit hitam yang dikenakan oleh orang itu.

"Tidak! Kau lah yang harus mati! Hari ini adalah hari di mana kamu akan menemui kehancuranmu!" Banteng itu pun dengan cepat mendekati pemuda berjaket hitam, mengayunkan tangannya dengan penuh kekuatan menuju wajah lawannya. Untuk sejenak, ia tampak seperti sedang meraih kemenangan sebelum pemuda berambut hitam itu dengan mantap berdiri tegak, menangkis serangan dengan pukulan balasan yang keras.

Pertarungan fisik terus berlanjut, dan Julie akhirnya mendapatkan pandangan yang jelas pada anak laki-laki berjaket kulit.

Ekspresinya menunjukkan rasa bosan, seolah-olah dia sedang berhadapan dengan anak kecil saat ini. Anak laki-laki yang tinggi itu memiliki rambut hitam tebal yang menutupi sebagian dahi dan tulang pipinya yang agak tinggi. Julie memperhatikan dua kancing manset yang menonjol di cuping kanan telinganya.

Julie melihat sekelilingnya, mencari tanda-tanda kehadiran guru atau staf yang akan menghentikan pertarungan yang terjadi di tengah-tengah lorong. Beberapa siswa mulai berdatangan, menyaksikan perkelahian dengan rasa ingin tahu seperti Julie yang berdiri di samping. Ia terkejut ketika pemuda berambut hitam itu mengangkat kakinya dan melancarkan tendangan ke arah rahang pemuda pirang. Banteng itu terjatuh ke lantai, sementara pemuda lainnya mendesis, merasakan rasa sakit di bibirnya.

"Kamu terlihat lebih baik kalau di lantai," kata pemuda berjaket kulit dengan nada acuh tak acuh.

Julie memutuskan untuk tidak tinggal di tempat itu karena dia harus mencari asrama. Dengan hati-hati, dia berbalik dan mulai berjalan menjauh dari tempat kejadian sementara siswa lain terus menyaksikan pertarungan tersebut. Dia hanya berjalan tujuh langkah dari tempatnya berdiri ketika dia mendengar suara siulan yang tajam.

Sebelum dia menyadarinya, kertas-kertas dari tangannya terlepas, begitu pula tasnya beserta troli yang dia tarik. Dua lembar kertas jatuh di dekatnya, sedangkan lembar kertas ketiga tergelincir tepat di bawah kotak yang agak jauh dari dirinya.

Dasar Kedua anak nakal itu ternyata tidak memperdulikan tempat-tempat yang lebih aman untuk melanjutkan pertarungan mereka. Batin Julie.

Julie terjatuh begitu saja karena salah satu anak laki-laki [Si Landak] dalam pertarungan itu memutuskan untuk menabrak Julie, membuatnya terhuyung maju seperti pin terakhir di lapangan bowling. Meskipun dia tidak jatuh terlentang, kacamatanya yang longgar jatuh tepat ke lantai. Matanya melebar, dan dia merasa ngeri saat mendengar suara retakan yang membelah udara!

'Kacamatanya!!' Gumam Julie

Julie merasa panik. Ia menyadari bahwa kesan pertama sangat penting. Jika ia tetap diam sekarang, dengan begitu banyak orang di sekitarnya, mereka akan menganggapnya sebagai pengecut, dan hal itu mungkin akan menyebabkan perundungan yang lebih buruk.

Ia memang memiliki kacamata cadangan, tetapi kacamata yang terjatuh itu adalah favoritnya! Dengan gigi terkatup rapat, Julie memekik dan melihat anak laki-laki berambut pirang mohawk itu meringis kesakitan. Dalam sekejap, ia meraih bagian belakang kemejanya, membuatnya terkejut dan kehilangan keseimbangan hingga jatuh ke lantai.

Para siswa yang menyaksikan pertarungan tersebut mengeluarkan desahan kolektif, seolah-olah Julie telah melakukan tindakan yang tak termaafkan. Lalu, anak laki-laki dengan tindikan itu bangkit dari lantai, sambil tertawa kecil dengan sinis. Reaksinya hanya memicu amarah orang yang tergeletak di lantai, dan ia memalingkan pandangannya ke arah Julie seolah-olah siap menginjakinya.

Ketika Julie bangun pagi ini, dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa hari ini akan menyenangkan. Ia akan melihat ke depan dan melupakan masa lalu yang ingin dia sembunyikan. Ia berjanji untuk tersenyum dan berbicara dengan orang lain tanpa bersembunyi.

Namun, menarik seseorang hingga jatuh ke lantai adalah hal terakhir yang ingin dia lakukan hari ini!

Tangan yang semula menariknya berubah menjadi kepalan, dan ia merasa tinjunya diarahkan ke arah dadanya dengan canggung. Anak laki-laki berambut mohawk itu memaksakan dirinya berdiri tepat di depannya, dan tiba-tiba Julie menyesali tindakannya. Dibandingkan dengan laki-laki itu, ia terlihat lebih kecil dan rapuh, dan ia menelan ludah.

"Dasar wanita jalang!" geram anak laki-laki itu, siap menerkam Julie. Namun, pada saat yang sama, seorang guru tiba di tempat kejadian.

"Apa yang terjadi di sini?!" Suara guru itu bergema di lorong, dan para siswa yang menikmati pertarungan dengan cepat mulai bubar.

Anak laki-laki berambut mohawk itu dengan cepat menurunkan tangannya, dan Julie memandang ke arah seorang pria yang mungkin berusia tiga puluhan. Pria itu mengenakan jas hitam dan memiliki janggut di dagunya. Alisnya melengkung menunjukkan ekspresi tegas saat ia menatap Julie, di mana kedua anak laki-laki itu berdiri di dekatnya.

"Ke ruang kerja Nona Dante. Sekarang," perintah pria itu dengan suara tegas.

Baik anak laki-laki berkulit maupun anak laki-laki berambut mohawk itu tidak memprotes, dan Julie merasa lega bahwa dia diselamatkan dari situasi yang semakin memanas. Fiuh! Hampir saja terjadi sesuatu yang buruk, pikirnya dalam hati saat ia membungkuk untuk mengambil kacamatanya yang jatuh. Ia juga mengambil lembaran yang terlepas dari tangannya, tanpa menyadari bahwa ia telah kehilangan lembaran ketiga.

“Apakah Anda memerlukan undangan khusus untuk datang ke kantor?” tanya guru itu padanya.

"Aku?" Julie menatap kedua anak laki-laki itu, yang sudah mulai berjalan menjauh. "Tidak, tidak, itu adalah kesalahpahaman. Aku tidak terlibat dalam pertarungan mereka. Saya ha-"

"Ke Kantor!" kata guru itu tegas.

"Tapi aku tidak-"

"Penahanan karena tidak mematuhi instruksi guru," bentak guru itu, dan mata Julie membelalak. Untuk apa?! Dia berteriak dalam hati.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh hrell_zy

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku
The Vampir Is My Boyfriend
1

Bab 1 Pertemuan pertama

24/04/2024