Valerie Riven tidak sengaja menolong adik Emrys Lysander yang hendak diculik. Namun dia tidak menyadari jika tindakannya ini malah membuat nyawanya terancam. Emrys Lysander pun datang menawarkan pernikahan demi menjamin keselamatannya, namun berdasarkan kesepakatan kontrak.
"Tolong aku!"
Valerie Riven terpaksa berhenti menulis di buku hariannya lalu menengok ke sebelah kanan saat seorang gadis seumurannya duduk di sebelah kursinya secara tiba-tiba.
Dia mengangkat alisnya kebingungan saat gadis itu terlihat siaga, sesekali menengok ke arah belakang.
Mau tak mau, Valerie pun setengah berdiri mengikuti arah pandangannya, namun dia tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.
"Ada apa?"
Gadis itu menggenggam tangan Valerie dengan mimik wajah ketakutan. "Tolong! Jika mereka menemukanku, mereka akan menyakitiku."
"Mereka siapa?" Valerie tidak mengerti.
"Orang-orang yang menculikku." Gadis itu terengah-engah dan terlihat menelan ludah. "Aku tahu kamu tidak percaya padaku, namun aku benar-benar minta tolong padamu."
"Apa yang bisa ku lakukan?" Valerie ikut panik.
Gadis itu melihat-lihat sekitar Valerie, lalu menunjuk koper besarnya. "Apa kopermu kosong?"
Mana ada orang yang bepergian dengan koper besar yang kosong?
"Koper itu berisi pakaianku. Memangnya kenapa?"
"Aku akan sembunyi di sana. Keluarkan isinya segera. Cepat."
Mana mungkin dia bisa sembunyi di sana? Ukuran koper itu memang besar, namun dibandingkan dengan tubuh gadis yang semampai di hadapannya ini, sepertinya itu mustahil.
"Cepat!" Gadis itu memohon sambil terus melihat ke belakang.
Valerie tidak punya pilihan lain. Dia mengeluarkan pakaiannya dan memindahkannya ke dalam ransel sementara gadis itu masuk ke dalam. Valerie menutup mulut karena dia nyaris berteriak saat gadis itu menekuk tubuh dan menggulungnya hingga bisa memenuhi koper. Masih menganga, Valerie tidak sadar jika gadis itu sudah memberinya kode untuk menutup koper.
Dalam kepanikan dan rasa takjub yang bercampur, tiba-tiba Valerie melihat beberapa orang mengenakan pakaian serba hitam seperti sedang mencari-cari sesuatu. Apa mereka orang-orang yang dikatakannya tadi?
Dengan cekatan Valerie segera menutup koper dan meletakkannya di tempat semula. Ransel yang menyembul karena berisi barang-barang dari kopernya diletakkannya di dekat koper dan seolah tidak terjadi apa pun, dia kembali ke posisinya semula. Valerie menyadarkan tubuhnya di kursi dan kembali memegang buku harian dan pulpennya.
Jemari Valerie gemetaran, tangannya juga. Dan bahkan peluh mulai memenuhi wajahnya walau mesin pendingin bekerja di dalam kereta api yang meluncur. Namun dia mencoba tetap tenang seolah tidak terjadi apa pun, demi nyawanya dan nyawa seseorang yang kini berada di dalam koper.
"Permisi Nona."
Jantung Valerie mulai berdegup cepat saat seorang laki-laki berjas hitam lengkap dengan kaca mata hitamnya berdiri di samping Valerie. Valerie mengangkat wajahnya.
"Ada yang bisa ku bantu?"
"Apakah tadi Anda melihat seorang gadis seusia Anda dengan tinggi sekitar seratus enam puluhan berjalan ke arah sini?"
Valerie menelan ludahnya, terlebih saat dia melihat sekilas sebuah senjata menggantung di pinggang laki-laki itu, tertutup oleh jas hitamnya. Jika ketahuan, nyawanya pasti melayang dan Valerie tidak ingin hal itu terjadi. Dia mengangkat tangannya, menunjuk menggunakan pulpen yang digenggamnya.
"Dia melangkah ke sana, ku rasa. Aku tidak terlalu ingat karena aku tidak memperhatikan sekelilingku."
"Ke sana? Baiklah. Thanks, Nona."
Laki-laki itu memberi kode pada teman-temannya yang lain untuk melanjutkan kembali pencarian mereka ke arah yang ditunjuk Valerie. Terlihat ketegangan di wajah mereka semua seolah-olah mereka tengah kehilangan sesuatu yang berharga dan penting. Tapi tampilan mereka sama sekali bukan tampilan penculik, namun lebih ke tampilan bodyguard. Apa penculik zaman sekarang mengenakan setelan jas?
*
Sementara itu, di Mansion keluarga besar Lysander, Emrys Lysander berjalan hilir mudik di ruang tengah.
Di sebuah sofa khusus berlapiskan kain beludru, seorang laki-laki yang terlihat sudah berumur juga duduk sembari memegang tongkatnya. Wajahnya yang sudah keriput terlihat gelisah, dan bahkan sesekali terlihat dia menyeka air matanya.
"Grandpa, tenanglah. Belle akan baik-baik saja." Emrys terus sibuk dengan ponselnya, dia sesekali mengecek Grandpanya yang duduk di sofa.
Mendengar itu, Grandpa memegang tongkatnya semakin erat, seolah-olah benda itu akan hilang jika tidak dipegangi. Dia menatap lampu gantung berukuran raksasa yang menggantung di void rumah. Tampak kristalnya berkilau saat lampu-lampunya menyala, lalu dia mendesah.
"Ini sudah seharian Emrys. Di mana adikmu sekarang berada?"
Emrys juga tidak tahu. Tapi bukannya dia tidak berusaha. Semua orang-orangnya sudah dikerahkannya untuk menyisir lokasi adiknya, Isabelle Lysander yang menghilang dari area sekolah sesaat setelah dia pulang mengambil ijazah dari sekolah menengahnya.
Setelah memeriksa kamera pengaman yang merekam kejadian itu, Emrys segera mengetahui jika itu adalah perbuatan kelompok Zeosix. Tidak ada masalah antara kelompoknya dengan kelompok Zeosix, dalam segala hal mereka sedang baik-baik saja saat ini. Satu-satunya alasan di balik penculikan itu sepertinya adalah karena perasaan cinta anak pemimpin kelompok itu.
Emrys sudah lama mengetahui jika Cassiel Clement, putera tunggal Dex Clement yang merupakan pemimpin kelompok Zeosix menyukai adiknya. Namun demi apa pun, Emrys tidak akan memberikan adik perempuan satu-satunya itu ke dalam tangan keluarga Clement. Hingga mati pun, Emrys tidak akan meluluskan permintaan itu.
Dan seolah mengetahui jika Emrys tidak akan memberi izin pada Cassiel, dia pada akhirnya memilih cara rendahan, yaitu dengan melakukan penculikan pada Isabelle. Dan Emrys tentu saja tidak akan tinggal diam. Sampai ke ujung bumi pun dia akan mengejar Cassiel dan Isabelle harus kembali ke rumah dengan selamat dan tanpa goresan sedikit pun.
Sedikit saja kulitnya tergores, setetes saja darahnya tertumpah, Emrys akan menjadikan hidup Cassiel seperti di neraka.
"Grandpa, istirahatlah dulu. Aku akan membereskannya. Aku berjanji akan membawa Belle pulang dengan selamat sebelum malam tiba."
Emrys bersimpuh di depan Kakek yang merangkap sebagai orang tuanya juga. Saat Emrys dan Isabelle masih belia, kedua orang tuanya mengalami kecelakaan saat akan mengunjungi salah satu cabang perusahaan mereka di Kota Anbul. Mereka tewas seketika, meninggalkan ribuan tanda tanya tentang penyebab kematian mereka.
Namun setelah penyelidikan yang panjang, petugas kepolisian dan beberapa detektif yang menangani kasus itu mengatakan jika itu murni sebuah kecelakaan. Tentu saja saat itu Emrys yang masih berusia enam belas tahun tidak percaya begitu saja, namun dia juga tidak bisa melakukan apa pun.
"Jill." Emrys memanggil asisten pribadi Grandpa. "Bawa Grandpa istirahat ke kamarnya."
"Baik Tuan Emrys."
Emrys membantu Grandpa berdiri, dan menuntunnya sebelum Jill menggantikannya membawa Grandpa ke dalam kamar. Dia menarik nafas dalam, dan pandangannya berubah sedingin es yang sangat menusuk.
"Sial kamu Cassiel. Kamu sudah salah berurusan denganku. Aku akan memberi perhitungan yang menyakitkan padamu, dan mengingatkanmu jika bermain-main denganku tidak pernah menyenangkan," batin Emrys penuh perhitungan.