Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Suami Idaman

Suami Idaman

lopyou

5.0
Komentar
4
Penayangan
1
Bab

"Divaku sayang, kita hemat dulu, ya. Utang kemarin aja belum lunas." Aku melirik kalung berlian yang menggantung indah di leherku. Teringat waktu itu aku meminta dibelikan kalung, dan mas Iqbal tak segan untuk membelikannya untukku. Katanya selagi aku bahagia, uang bukanlah apa-apa. "Tapi..., Mas-" "Ya udah, besok mas usahain buat nyari uang banyak, ya, Dek. Mas bakal lebih keras kerja dari biasanya." Mendengar itu, hatiku terenyuh. Ini semua gara-gara Siti, jika saja dia tidak operasi plastik, aku pasti tidak menyusahkan mas Iqbal lagi. "Janji 'kan, Mas? Gak boong, kan?" tanyaku antusias. Ketika kudapati mas Iqbal mengangguk hangat, aku mengeratkan pelukanku. Tunggu saja Siti, aku bakal buktiin kalau aku lebih cantik

Bab 1 I Love You, Mas.

"Mas Iqbal udah ga sayang aku, ya?" Aku mengucapkan bebebrapa kalimat itu dengan ketus, kemudian menatapnya dgn penuh kesal, namun yang terjadi malah di luar dugaan, tiba-tiba tatapan mas Iqbal menjadi datar, padhal kukira dengan mengatakan itu ia akan membujukku.

Namun tatapan itu sama sekali tidak membuatku takut, justru hal yang kulakukan adalah kembali menatapnya. Kami cukup lama saling tatapan. Sampai akhirnya mas Iqbal memegang kedua bahuku, semakin dekat denganku.

"Siapa yang ajarin kamu ngomong gitu?" tanyanya, aku diam sejenak.

Aku mulai gugup sendiri. Suara mas Iqbal lebih serius dari biasanya, kutundukkan kepala, tak berani menatap matanya. Cukup lama kutundukkan kepala sampai akhirnya memberanikan diri untuk menatapnya, menyembunyikan raut takut di wajahku,

"Ya sudah, tidur di kamar sebelahnya gak jadi," ucapku cepat. Sudah mulai takut.

"Div, kamu takut? Aku salah ngomong? Mas minta maaf, ya, Dek." Mas Iqbal memelukku, Memiliki suami seperti mas Iqbal memang salah satu anugerah yang harus kusyukuri. Di saat wanita hebat di luar sana dibentak bahkan dikasari, aku malah dilembuti. Bahkan jika ingin marah, mas Iqbal hanya kecut sebentar. Mungkin ini poin istimewa yang ga semua lelaki seperti mas Iqbal. Aku tetap diam, bukan sengaja namun aku hanya tidak tahu apa yang akan kukatakan.

"Biaya operasi itu mahal, Dek. Apalagi di Korea." Suara mas Iqbal cukup lembut, aku memalingkan wajahku ke sudut ruangan sambil membalas ucapannya. Dengan senyum mautku, dan dengan rasa takut yang mulai hilang, aku kembali lagi memancing mas iqbal.

"Gak mahal, kok. Mas aja yang pelit. Istrimu uang atau aku sih?" Setelah mengatakan itu, aku segera menjauhi mas Iqbal. Aku tidak akan berhenti sebelum mas Iqbal menuruti ucapanku.

Berhubung ini malam, dan seperti kata temanku bahwa seorang suami akan lebih mudah menuruti permintaan istrinya ketika menjelang tidur. Ilmu ini kudapat dari teman arisanku asal Korea. Jika suami menolak, ngambek saja, katanya. Karena ketika malam suami tak ingin jauh-jauh dari istrinya.

"Mas, dulu pas pacaran katanya gunung pun 'kan didaki, laut diseberangi. Sekarang cuma minta biaya buat operasi plastik malah bilang mahal." Aku membelakangi mas Iqbal. Dengan gerak gerik khas ngambekku seperti biasanya.

Mas Iqbal terkekeh, ia menarik kepalaku untuk tenggelam di dadanya. perlakuan yang selalu membuatku nyaman meski terkadang kesal jika permintaanku tidak diturutin.

"Divaku sayang, kita hemat dulu, ya. Utang kemarin aja belum lunas."Sebenarnya aku mulai kasihan mendengar mas Iqbal menyebut tentang hutang, namun melihat mas Iqbal sekarang yang seperti banyak uang, aku menghilangkan rasa ibaku sejenak.

Aku melirik kalung berlian yang menggantung indah di leherku. Teringat waktu itu aku meminta dibelikan kalung, dan mas Iqbal tak segan untuk membelikannya untukku. Katanya selagi aku bahagia, uang bukanlah apa-apa.

"Tapi..., Mas-"

"Ya udah, besok mas usahain buat nyari uang banyak, ya, Dek. Mas bakal lebih keras kerja dari biasanya."

Mendengar itu, hatiku terenyuh. Ini semua gara-gara Siti, jika saja dia tidak operasi plastik, aku pasti tidak menyusahkan mas Iqbal lagi. Aku tersenyum menatap suamiku.

"Janji 'kan, Mas? Gak boong, kan?" tanyaku antusias. Ketika kudapati mas Iqbal mengangguk hangat, aku mengeratkan pelukanku. Tunggu saja Siti, aku bakal buktiin kalau aku lebih cantik.

"Ayo, Mas, tidur!" Aku menarik tangan mas Iqbal, membawanya ke dalam kamar. "Mas bobo ganteng, ya!" Kutarik selimut sampai ke lehernya, kemudian kukecup suamiku itu, lalu memejamkan mata seraya memeluknya.

"Nanti ke Koreanya pas Mas cuti, ya?" tawar mas Iqbal yang belum terlelap.

"Kenapa gak ambil cuti aja, Mas? Aku 'kan pengen cepat-cepat," sahutku.

"Istriku ini, kalau ada maunya. Untung mas sayang, ya."

"Mas harus sayang aku selalu. Aku janji bakal jaga kecantikan aku biar Mas Iqbal gak bosan liat aku terus."

Mas Iqbal mengacak rambutku. "Diva selalu cantik di mata mas."

Aku tersipu, meski sering kudengar kalimat lembut suamiku, tetap saja selalu hangat rasa batinku. Menemukan mas Iqbal seolah kehidupan daun setengah kuning yang kedatangan hujan, hijau lagi.

"Tau nama Hendra gak, Mas?" tanyaku sengaja.

"Iya, dia 'kan teman kerja mas. Kok tiba-tiba nanya Hendra, suka, ya? Eh tapi masak suka sama bapak-bapak," tanya mas Iqbal dengan kekehan manisnya.

"Ish, enggaklah Mas. Dia itu suaminya si Siti, Mas. Mantan teman arisanku dulu," sahutku.

Aku dan Siti pernah menjadi teman walau sekadar teman arisan. Waktua dia jelek aja memang songong, apa lagi pas udah cantik. Dia pernah bertengkar dengan Santi, sehingga Siti berhenti dan melunasi arisannya. Hal itu kuceritakan singkat dengan mas Iqbal. Terdengar suara kekehan kecil darinya.

"Memangnya kenapa Santi dan Siti bertengkar?"

"Mereka merebutkan siapa yang paling cantik di antara mereka. Si Siti gak terima kekalahan, Mas."

"Wah, si Siti kok gitu, ya," timpal mas Iqbal Seraya menyisir rambutku. Suaranya sudah terdengar serak, aku yakin ia sudah ngantuk, kecapean karena seharian kerja.

Baru saja kutawari mas Iqbal untuk memejamkan mata, ponsel suamiku itu berdering. Kulihat jelas nama ibu mertuaku di sana. Hatiku yang semula menghangat mulai tak karuan, aku tidak siap mendengarkan kata ibu mertuaku terlebih selalu merendahkanku di depan keluarga besarnya. Segera kutatap mas Iqbal sayu yang sedang berbicara dengan ibunya.

"Iqbal, kapan kamu ke rumah? Kapan bawain mama cucu? Istri kamu itu perempuan atau apa si? Itu tetangga dah banyak cucunya."

Aku tersenyum getir, dari awal ibu mertuaku itu memang tidak suka denganku. Untung saja saat 'ku minta mas Iqbal beliin rumah baru, suamiku menurut saja. Jadinya aku tidak perlu stres karena nyinyiran mertuaku itu.

"Ma, Iqbal capek kerja. Nanti pas libur, Iqbal ke sana."

Setelah selesai menelepon, mas Iqbal meniup telingaku bergiliran. Aku yang dari tadi menatap langit kamar mulai menatap mas Iqbal kembali. Tatapan kami beradu sejenak, tak bisa kubohongi diri jika aku tersinggung dengan kata ibunya, terkadang merasa insecure karena belum bisa memberikannya keturunan.

"Biar kata Mama tadi terbang dari telingamu," ucapnya. Lalu kemudian meniup dadaku, "dan hilang dari hati."Mas Iqbal melanjutkan. Kasihan sekali laki-laki yang tengah berusaha mendamaikan istri dan ibunya, terlebih mas Iqbal baru pulang kerja, namun menyembunyikan rasa lelahnya demi menenangkanku.

Begitulah mas Iqbal, ketika kata-kata yang tidak enak terdengar dari ibunya, ia pasti meniup kedua telinga dan dadaku.

"Mas Iqbal itu jodoh idamanku, I love you." Aku mengecup pipinya. Mungkin aku beruntung memiliki mas Iqbal, namun setiap pernikahan pasti memiliki ujian masing-masing.

"Diva itu istri idamanku," balasnya. Setelah itu aku meminta mas Iqbal untk tidur.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Cris Pollalis
5.0

Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."

Cinta yang Tersulut Kembali

Cinta yang Tersulut Kembali

Calli Laplume
4.9

Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku