Lestari hanya diberi nafkah 25 ribu setiap hari sementara ia harus bisa memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya, sedangkan suaminya, Reyhan memiliki pekerjaan mapan dengan gaji nyaris 15 juta perbulan. Lestari dibuat mengemis ketika ia meminta haknya sebagai istri. Awalnya Lestari bertahan dengan suami pelit tersebut, namun lama kelamaan hatinya lelah melihat Reyhan semakin dzolim tak mempedulikan dirinya dan Dinda, anak hasil pernikahan mereka. Lestari pun tak bisa bertahan, ia lebih memilih bercerai dan memulai hidupnya dari nol. Tapi, siapa sangka ia justru menemukan kebahagiaan setelah berpisah. Yuk ikuti ceritanya.
Part 1
"Bukannya aku sudah kasih kamu uang setiap hari? Masa iya makanan cuma 3T, tahu, tempe, telur. Memangnya ke mana semua uangnya. Kamu itu sudah dikasih tahu supaya jangan boros-boros tapi tetap saja ngeyel, mau sampai kapan begini," omelan Mas Reyhan pagi-pagi sudah terdengar.
Seperti biasa ia pasti akan mengomel begitu membuka tudung saji, aku memang hanya bisa memasak ketiga menu itu saja dengan uang harian yang ia berikan sebesar dua puluh lima ribu setiap harinya.
Jatah yang diberikan Mas Reyhan sungguh tak masuk akal dengan keadaan sekarang ini, semua harga barang-barang naik. Apalagi kami punya anak balita yang masih membutuhkan popok dan susu.
"Tapi uangnya memang nggak cukup, Mas? Dinda juga butuh dibelikan popok sama susu, belum beli keperluan yang lainnya. Semuanya butuh uang, Mas. Setidaknya kasih tambahan supaya aku bisa membeli keperluan di rumah ini," jawabku membuat kedua matanya melotot seakan ingin ke luar dari tempatnya.
"Setiap dikasih tahu pasti menjawab, kebiasaan ... seharusnya kamu itu mengerti dan berpikir bagaimana caranya supaya uang yang aku kasih itu cukup buat semuanya. Coba kamu lihat Hayati, istri Rangga. Rangga hanya memberinya uang sebulan enam ratus ribu tapi setiap makan, suaminya selalu disajikan makanan enak-enak, pintar aja si Hayati mengatur uangnya, masih banyakkan kamu dikasih uang tapi mengatur begitu saja nggak bisa, malah borosnya minta ampun atau jangan-jangan kamu simpan uangnya buat kasih makan Ibumu, awas ya kalau sampai aku tahu kamu kasih uang diam-diam ke Ibumu," sengitnya dengan mengancam. Aku hanya bisa menghela napas panjang.
Mas Reyhan selalu saja membandingkan aku dengan istri teman-temannya yang katanya pintar mengatur keuangan keluarga, tak seperti aku yang dianggap boros. Padahal orang yang dibandingkan denganku punya pekerjaan dan minimal punya usaha toko sembako. Sedangkan aku di rumah mengurus bayi.
Suamiku bekerja di salah satu perusahaan pengiriman barang dengan jabatan yang lumayan tinggi dengan gaji yang kutahu katanya lebih dari lima juta perbulannya dan setiap kutanyakan soal sisa gajinya maka ia selalu beralasan semua uangnya dibayar untuk membayar cicilan.
Ya, cicilan tapi bukan untuk barang yang kami miliki, melainkan untuk cicilan sepeda motor adiknya, Yulia dan itu belum termasuk membantu membayar uang kuliah adik semata wayangnya itu termasuk menyenangkan hati Mamanya, Maryam yang selalu tahu kapan Mas Reyhan gajian. Sementara aku sebagai istri harus mengemis nafkah setiap ia gajian dan tidak pernah ia berikan, malah mengungkit ke mana jatah harian yang sudah ia kasihkan ke padaku. Selalu pula Ibuku yang ia sebut-sebut, seakan-akan aku memberikan uang jatah harian itu ke pada Ibuku.
Mengatur uang harian yang minim saja sudah membuatku pusing tujuh keliling untuk kebutuhan makan di rumah, apalagi memberikannya pada orang lain. Jadi tidak mungkin Ibuku mendapatkan uang dariku.
"Uang segitu nggak akan cukup buat kita makan di rumah, Mas. Boro-boro lah mau kasih Ibuku," jawabku membuatnya menyipitkan matanya.
Mas Reyhan begitu tega jika menyangkut urusan Ibuku, setiap Ibuku datang berkunjung ke rumah. Ia selalu menganggap bahwa Ibuku akan datang untuk meminta beras atau lauk. Melihat kelakuannya kadang membuatku malu karena belum bisa sama sekali memberi orang tuaku satu-satunya itu. namun justru mendapatkan tuduhan yang begitu pedih.
Selain tidak mau mengeluarkan uang atau barang untuk Ibuku, ia juga tidak mau hidup berdekatan dengan Ibuku. Aku sudah beberapa kali membujuknya supaya membawa Ibuku ke rumah ini sebab Ibu masih menyewa rumah yang dulu juga kutempati bersama saat masih gadis dulu. Kasihan Ibu tinggal di rumah sewanya sendirian. Untuk makan setiap hari, Ibu hanyalah buruh cuci di rumah Bu Kamila dan sesekali menjadi pencuci piring di acara nikahan atau hajatan. Kadang tak bisa kutahan air mata melihat keadaan Ibu yang sudah masuk usia lima puluh tahun namun masih berusaha mandiri dengan kakinya sendiri. Aku merasa menjadi anak yang tak berguna sama sekali.
"Ya sudah baguslah, aku ini capek bekerja seharian, pulang-pulang malah lihat makanan kayak makanan sapi begitu, siapa coba yang mau makan, kamu aja sudah makan sama anakmu. Sekarang belikan aku nasi padang," titahnya melihatku dengan mata mengkilat. Marah.
Aku yang masih repot ingin menidurkan Dinda, terpaksa bangkit dan mendekatinya lalu menadahkan tangan. Matanya melirik sinis.
"Pakai uangmu dulu, nanti aku ganti. Sekarang ini aku lagi nggak pegang uang cash," alasannya membuatku tetap menadahkan tanganku.
"Nggak ada uangku, Mas. Nasi padang harganya satu bungkus dua puluh lima ribu, uang yang kamu kasih semalam sudah aku belanjakan dan kumasak menjadi lauk di meja,"
Dengan mata mendelik kesal, ia membuka tas kerjanya, kemudian mengambil dompetnya dengan membelakangiku, lalu ia mulai membuka dompetnya. Aku tahu kalau uang lembaran di dompetnya banyak. Ia begitu ketakutan jika aku mendekat melihat isi dompetnya. Pandangan kualihkan ke Dinda yang akhirnya terbangun karena mungkin mendengar sentakan suara kami.
"Jangan lupa lauknya daging terus sayur sama sambelnya dipisah," sebutnya.
Aku tak lagi menyahut, mengambil uangnya lalu menggendong Dinda dan gegas melangkah ke luar pergi ke warung nasi padang yang ada di ujung jalan depan gang tempat tinggal kami. Air mataku rasanya mau tumpah tapi kutahan.
Sering rasanya sakit hati bila melihatnya menyembunyikan dompetnya dariku, ia begitu ketakutan seakan-akan aku akan merampok isi dompetnya. Benar-benar tersinggung dengan sikapnya. Aku memang beberapa kali melihat isi dompetnya, tak bermaksud sengaja memeriksanya secara langsung karena aku juga sangat takut kalau sampai ketahuan dengannya, ia pasti akan murka.
Saat ia lelap tertidur, tak sengaja dompetnya terjatuh dari celana kerjanya yang ia geletakkan sembarangan di lantai. Dengan tangan gemetar, aku membukanya dan ... Ya Tuhan, aku temukan uang lembaran seratus ribuan yang begitu banyak dan aku memperkirakan uang di dompetnya lebih dari tiga atau empat juta. Entahlah. Waktu itu aku langsung menutup dan menyimpannya kembali dengan perasaan bercampur aduk.
Esoknya, aku berpura-pura meminta uang dengan alasan membeli peralatan mandi seperti sabun mandi, pasta gigi dan lainnya. Namun apa jawaban yang kuterima. Sungguh menyakitkan.
"Baru setelah nikah sama aku, kamu itu mandinya pakai sabun cair begitu, pakai odol mahal, terasa mewah hidup kamu tapi nggak usah juga kebanyakan gaya, kalau peralatan mandi habis ya kamu hemat aja pakai yang dulunya kamu biasa pakai, kumpul aja batu sungai sana buat gosok mandi jadi nggak perlu lagi beli sabun,"
Waktu itu aku hanya bisa menangis mendengarnya menghinaku, yang secara tidak langsung mengatakan bahwa aku ini hidup dalam kemiskinan sampai-sampai sabun mandi pun aku tak pernah mampu membelinya. Padahal aku meminta uang padanya karena aku melihat banyaknya uang di dompetnya, Mas Reyhan memang betul-betul pelit dan ia tidak akan mau mengeluarkan uangnya begitu saja untuk kebutuhan kami di rumah. Perbuatannya membuatku harus berulang kali mengelus dada.
Setiap ia akan pulang ke rumah setelah bekerja, aku harus bersiap dengan omelannya yang panjang persis rel kereta api, Mas Reyhan memperlakukanku layaknya hanya pesuruhnya saja. Ia hanya akan bermanis muka saat ia memerlukanku untuk
melayaninya di peraduan.
Buku lain oleh RA. Adisti
Selebihnya