Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Nafkahku Bukan Nafkah Ibumu

Nafkahku Bukan Nafkah Ibumu

Fetina

5.0
Komentar
3.4K
Penayangan
35
Bab

Kisah seorang istri bernama Niar yang depresi akibat ditinggal suaminya bekerja di luar kota. Ia harus tinggal bersama mertua dan ipar yang jahat. Uang belanjanya sebesar tujuh juta diambil paksa mertuanya, hingga menyisakan 500 ribu setiap bulannya. Deni--suaminya, merasakan perubahan sikap istrinya. Niar lebih banyak diam saat ada suaminya. Ia menutupi kesedihannya. Namun akhirnya suaminya tau, setelah itu ia mencoba menyelamatkan istrinya dari depresi. Apa yang terjadi selanjutnya?

Bab 1 Istriku Kenapa

Bab 1

"Niar, cepat bersihkan bekas ompol anakmu ini. Bau banget kalau nggak buru-buru!" Suara Ibu terdengar sedang marah-marah pada Istriku.

Aku sengaja diam dulu di balik pintu, sebelum masuk rumah. Mereka sepertinya tak menyadari kalau aku sudah datang.

Diam adalah cara terbaik untukku saat ini. Aku ingin menyelidiki keadaan di sekitar rumah.

"Ba-baik, Bu. Sebentar aku ambil pel-nya dulu," timpal Niar.

"Kamu ini anakmu dikasih diaper napa? Bocor Mulu tuh. Rumah Ibu nanti bau semua!"

Istriku hanya diam saat dimarahi seperti itu. Lalu dia ke belakang, mungkin mencari alat pel.

"Kamu ini, dikasih tau malah nyelonong aja!" balas ibu tanpa adanya sahutan dari Niar.

Aku tak tahan mendengar Ibu memarahi Niar --- Istriku. Mendengarkannya saja hatiku terasa sakit. Mengapa Ibu tega bersikap kasar seperti itu pada Niar? Apa karena aku tak ada di rumah? Baiklah, lebih baik aku buktikan sendiri.

"Assalamualaikum. Niar, Abang udah pulang nih!" Aku memasuki rumah, lalu mencium tangan Ibu.

Ibu agak panik dan takut. Matanya melebar, Ibu menghela napas kasar.

"Kenapa, Bu?" tanyaku seolah aku tak tau apa yang sedang terjadi.

"Eh, anu. Nggak ada apa-apa, kok!" Ibu gugup menjawab.

Tak lama Niar muncul dengan alat pel di tangannya. Aku memandangi dan tersenyum padanya.

"Niar, kamu sedang apa? Abang dah pulang nih!" Aku membentangkan tanganku ingin dipeluk olehnya. Tapi, dia hanya menoleh saja. Lalu melanjutkan pekerjaannya.

"Niar kenapa, Bu?" Aku menanyai Ibu.

"Nggak tau, nggak ada apa-apa kok. Dia cuma sedang bersihin bekas ompol Farhan. Tadi anakmu ngompol sembarangan di situ." Ibu menjelaskan padaku.

Niar hanya diam, fokus pada pekerjaannya mengepel lantai. Setelah selesai, dia ke belakang. Ia tak menggubrisku sama sekali. Aku bagai angin yang lalu baginya.

Aku duduk di ruang tamu. Ibu masih gugup, lalu ia menawariku minum.

"Minum apa Den?" tanya Ibu.

"Aku minum kopi aja, Bu. Niar juga udah tau," kataku.

Lalu Ibu ke belakang, tak lama Niar membawakanku kopi di cangkir. Tak ada senyum di wajahnya. Aku menangkap gurat kesedihan di matanya. Ia juga tak mau menatap mataku, pandangannya selalu ia alihkan dariku.

"Niar, kamu nggak cium tangan suamimu?" tanya Ibu.

Dia pun melangkah, tapi tanpa tersenyum sedikitpun saat mencium tanganku. Aku memegang kedua lengannya.

"Kamu kenapa, sih?" Ku guncang-guncang tubuh Istriku.

Dia hanya menggeleng. Lalu berontak, ingin keluar dari cengkramanku. Niar malah kembali ke belakang. Aku bagai seorang pendosa baginya yang tak ia pedulikan.

"Bu, coba jelaskan ada apa ini?" Aku benar-benar tak mengerti dengan apa yang terjadi pada Niar.

"Nggak ada apa-apa, Den! Istrimu sendiri yang tak sopan. Masa sama suami melengos aja. Bener-bener ini!" Ibu kesal dengan kelakuan menantunya.

"Masa sikapnya jadi seperti itu padaku, Bu? Kalo nggak ada apa-apa, nggak mungkin Niar seperti itu," desakku pada Ibu. Aku berusaha meminta penjelasan pada Ibu.

Ibu tak mau menjelaskan apapun, malah mengangkat bokongnya dari sofa.

"Makanya kamu, Den. Nggak usah kamu manjain perempuan itu. Yang ada dia ngelunjak, Den!" Ibu berkata sembari membulatkan kedua matanya. Setelah itu, beliau masuk ke kamarnya.

***

Di rumah ini ada tiga keluarga, keluargaku, kakakku, dan orang tuaku. Aku bekerja di luar kota pulang sepekan sekali. Makanya aku menitipkan Istriku pada Ibu.

Aku memberi Istriku uang belanja sebulan tujuh juta rupiah. Aku pegang uang cuma dua juta saja. Ibu juga aku beri tiga juta rupiah untuk uang belanjanya. Dan untuk Kakakku aku beri satu juta, karena gaji suaminya masih kecil katanya. Makanya Ibu menyuruhku memberinya tambahan uang belanja.

Jadi, kalau permasalahan di uang, sangat tidak mungkin. Karena aku sudah memberinya lebih. Masa untuk beli diaper aja nggak ada? Sampai rumah Ibu penuh ompol.

Setelah menghabiskan kopi, aku masuk ke kamar. Lampunya mati saat aku masuk. Lalu kunyalakan lampunya.

"Jangan dinyalakan, Bang! Aku nggak mau kena masalah lagi," kata Niar.

Aku bingung. Masa menyalakan lampu jadi masalah. Masalah di sebelah mananya?

"Nggak masalah, Dek! Kamu kegelapan nyusuin Farhan. Kasian dia juga, gelap!" Aku mencoba menjawab dengan versiku.

"Pokoknya, matikan!" Niar malah berteriak padaku.

"Iya, iya, Dek. Abang matikan ya!" Aku ketakutan melihat sorot mata Niar, lalu mematikan lampu kamar.

Niar tetap menyusui Farhan.

"Icha mana Niar?"

"Icha? Oh, dia sedang senang-senang dengan Ibu."

Aku tak mengerti maksud Niar, kalau Icha sedang senang-senang sama Ibu.

"Maksudnya apa?"

"Iya, Icha sedang jajan."

"Kenapa minta sama Ibu? Kan kamu udah dikasih jatah sama aku buat jajan Icha."

Niar diam lagi. Mungkin dia takut salah jawab. Atau uang yang kuberikan sudah habis olehnya?

"Jawab Niar!"

"Habis."

"Tuh kan, bener kata Ibu. Kamu nggak bisa megang uang. Sampai-sampai beli diaper aja kamu nggak bisa. Udah, mulai bulan depan, uangnya Abang titip ke Ibu. Biar Icha jajan sama Ibu juga. Nanti buat belanja kamu minta aja sama Ibu!"

Niar menghela napas kasar. Tiba-tiba dia menangis, Farhan meronta-ronta di pangkuan Niar ingin menyusu. Tapi Niar malah menangis semakin kencang dan tak mau menyusuinya.

"Dek! Cukup, nggak usah lebay. Kamu itu harus bisa nabung. Uang yang Abang kasih pasti nggak ada sepeserpun kamu tabung. Abang nggak habis pikir sama kamu, memangnya gampang cari duit?"

Tiba-tiba tangis Istriku berhenti. Dia bangkit dari sisi ranjang, dan membanting Farhan ke tengah ranjang.

"Dek, masa kamu menidurkan Farhan dengan dibanting seperti itu? Kalau Farhan kenapa-napa gimana coba?" Aku menghampiri anak keduaku. Ia juga menangis setelah dibanting ibunya.

"Aku ... Aku ... "

Gawaiku berbunyi.

"Sebentar, Niar!"

Aku keluar untuk mengangkat telepon yang ternyata dari Bosku.

Selesai mengangkat telepon, aku berniat kembali ke kamar, tapi aku melihat mobil kakakku dan suaminya baru datang.

Mereka membawa banyak barang bawaan.

"Waah, habis belanja nih kayaknya."

"Iya dong. Karena kita baru dapat cuan. Eh kapan kamu datang, Den?" tanya Kakakku -- Ayu.

"Tadi sore, Kak," jawabku. "Hei, Bang Aldo!" Aku menyapa Kakak Iparku.

"Apa kabar, Bro!"

"Baik, Bang! Abang gimana?"

"Sangat baik, Den! Yuk, masuk!"

Kami berbincang hingga larut, aku sampai lupa kalau harus bicara dengan Niar. Setelah jam sepuluh malam aku baru masuk ke kamarku.

Tiba-tiba aku melihat Istriku tertidur di samping Farhan. Tapi ... Aku melihat ada obat yang sudah terbuka telah di minum Istriku sepertinya. Tapi kan dia tak boleh sembarang minum obat karena sedang menyusui.

Aku mencari spesifikasi obat yang diminum Istriku. Ketika ku lihat, ternyata itu adalah obat penenang.

'Ya Allah, untuk apa Niar meminum obat ini?' gumamku.

Bersambung,

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku