Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Takdir Cinta Mida

Takdir Cinta Mida

ERiyy Majida

5.0
Komentar
17
Penayangan
2
Bab

Takdir Cinta Mida adalah seorang santriwati di salah satu pesantren terkenal di Jawa timur. Ia bertekad ingin lulus dari pesantren dan berkuliah di kampus impiannya. Namun keadaan tak berjalan mulus untuknya. Kehadiran sosok lelaki yang membuatnya goyah, juga keinginan bu nyai untuk menjodohkannya dengan sepupu beliau membuat Mida harus melewati masa masa sulit. Apakah ia akan memilih salah satu dari dua? atau ia akan meninggalkan keduanya dan berpegang teguh pada impiannya? Penuh drama dan air mata, ikuti ceritanya dan temukan takdir cinta yang sebenarnya di sini.

Bab 1 PERTEMUAN PERTAMA

"Mid, kamu ambil kebutuhan kita ya, biar aku yang pergi ambil susu baby" ucap Nessa.

Gadis yang dipanggil Mida tersebut menghela nafas perlahan, melihat sahabatnya yang tertawa kecil menampakkan deretan giginya.

Mida sangat paham dengan akal akalan sahabatnya ini, ia malu membeli kebutuhan khusus wanita tersebut. Sudah jelas karena kasirnya seorang lelaki muda.

Mida pergi ke lorong sebelah kiri, dimana berderet berbagai macam pembalut wanita, ia mengambil sebungkus pembalut berwarna biru muda, seorang pria dengan setelan jaket denim dan celana jeans di sampingnya tanpa sengaja menyenggol lengannya dan membuat apa yang dipegangnya jatuh ke lantai.

"Ah, maaf." Ucap pria itu, berjongkok mengambil bungkusan yang terjatuh.

"Oh iya, tidak masalah." Jawab Mida ramah, menerima bungkusan pembalut yang diberikan kepadanya, dan meletakkannya kembali ke tempat semula.

Mida beranjak pergi meninggalkan pria itu, ia menemui Nessa yang sedang memilih susu bayi titipan ustadzahnya.

Tangan Mida memukul mukul pundak Nessa, membuat gadis berkacamata itu sedikit meringis menahan sakit. "Apaan sih, pukul-pukul nggak jelas." Gerutu Nessa.

"Aku malu, aaah nggak tau lah." bisik Mida tertahan.

"Ada apaan?" desak Nessa mencoba menoleh kekanan dan kekiri. Mencari-cari apa kiranya yang membuat sahabatnya itu merasa malu.

"Diamlah, nanti aja aku cerita, kalau sudah di ma'had." Gumam Mida menarik tangan Nessa. Mengajaknya pergi menuju kasir saat seorang pria berbelok menuju lorong dimana mereka berada.

"Udah dapat kan susu pesanan ustadzah?" tanya Mida

"Sudah. Tapi aku masih mau cari beberapa snack tahu, kamu kenapa sih buru-buru pergi?" rengek Nessa merasa heran.

"Yaudah sana cepat, aku tunggu disini, jangan lama-lama ya." perintahnya kemudian.

Nessa berjalan meninggalkan Mida yang memilih menunggunya di samping kasir. Namun ia mengurungkan langkahnya seraya berkata "Mid, kamu nggak beli apa apa? jarang-jarang loh kita dapat kesempatan keluar ma'had kaya gini." Sambung Nessa

"Nggak Arindiya Annisa, udah cepet sana." Ucap Mida penuh penekanan. Mendorong tubuh sahabatnya perlahan, agar wanita itu segera pergi dari sisinya.

Nessa memberengut, kesal dengan tingkah aneh sahabatnya. Kesempatan seperti ini jelas tidak mudah didapatkan, sudah seharusnya dipergunakan sebaik mungkin.

Mida kenapa sih? terburu-buru balik ke ma'had, ada apa emangnya? ditanya jawabnya nanti aja. Nyebelin. Gerutunya dalam hati. Namun tetap diturutinya kemauan sahabatnya itu.

Mida menunggu Nessa di depan kasir, namun yang ditunggu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Mida menjadi sangat kesal pada gadis itu. Hal apa yang membuatnya sulit menentukan pilihannya kali ini?

Dia membalikkan badan hendak menyusul sahabatnya, namun gerakannya yang terlalu cepat membuatnya menabrak pria yang berjalan di belakangnya, tubuhnya sedikit terhuyung ke depan. Hampir saja dia terjatuh, kalau saja pria itu tak sigap menahan tubuhnya, menaruh tangannya pada lengan Mida agar tetap berdiri stabil.

Mida tersadar apa yang tengah terjadi padanya, setelah beberapa saat ia hanya mematung menatap pria di depannya. Ia kini segera melepaskan diri dari tangan pria itu, yang masih memegang lengannya, dan lagi lagi pria yang sama.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya pria itu setelah melepaskan tangannya dari lengan Mida.

"Aku, aku oke, aku nggak apa-apa. Silahkan kalau mau bayar dulu. Aku, masih tunggu teman, permisi." Jawab Mida sedikit canggung. Meninggalkan lelaki tersebut yang hanya tersenyum memandangnya pergi menjauh.

Mida melihat Nessa yang berdiri ternganga dengan setumpuk snack dalam pelukannya. " Mid," panggilnya dengan ekspresi yang susah dijelaskan.

Mida menarik lengan Nessa kasar, mengajaknya menjauh dari kasir. Bersembunyi dibalik tumpukan snack, menyaksikan pria tersebut membayar belanjaannya lantas pergi keluar swalayan, meninggalkan mereka.

____________

"Mid, coba jelaskan apa yang terjadi? bisa bisanya kamu nangkring dalam pelukan pria tadi. Mana ganteng pula. Aaaaaa... beruntung banget kamu." Ucap Nessa.

"Mana ada? dia cuma nolongin pegang lenganku. Bukan peluk." Jawab Mida santai, ia terlihat sedang menikmati perjalanan mereka kembali kedalam pesantren, dimana selama ini mereka tinggal dan menuntut ilmu disana.

Ia dan Nessa sahabatnya kini tengah mendapat tugas dari ustadzahnya, membelikan susu bayi putri beliau di swalayan depan gang pesantren.

"Mid, ih bagi cerita donk, gimana tadi ceritanya bisa ada adegan sweet kaya gitu?" Tanya Nessa kembali.

"Ismi Hamida Zuyina," panggilnya penuh penekanan saat sahabatnya hanya memilih diam tak menjawab pertanyaan terakhirnya itu

"Mentang-mentang udah dipeluk cowok ganteng langsung irit bicara ya, woy....denger nggak sih." goda Nessa kembali.

"Siapa sih yang dipeluk? jangan bikin onar dengan ceritamu ya Nes." Mida menarik nafas panjang, lantas menghembuskannya perlahan, membiarkan angin sore menggelitik wajahnya sekejap.

"Lantas apa coba namanya, bagiku itu sudah dalam kategori pelukan, pelukan ringan meski nggak nempel. hehe." Nessa tertawa ringan menggoda sahabatnya itu.

Keduanya pun memilih diam, melanjutkan perjalanan, menyisakan bisu diantara mereka. Matahari hampir sepenuhnya menyembunyikan sinarnya. Menampilkan cahaya temaram yang mampu menghangatkan jiwa.

Dua gadis tersebut sedikit terkejut saat seorang ibu muda datang menghampiri mereka. "Permisi dik, apa benar adik-adik ini dari pesantren Al Hikam?" tanya ibu itu.

"Iya bu, benar kami dari pesantren Al Hikam, ada yang bisa dibantu bu?" Jawab Mida sopan.

"Alhamdulillah, sebelumnya perkenalkan, saya ibu Roifa. Begini dik, ini kali pertama ibu berkunjung ke pesantren Al Hikam, jadi ibu belum mengerti letak persisnya ada disebelah mana, hanya dapat info kalau pesantrennya berada disebelah kanan alun alun kota." Ibu Roifa menjelaskan maksudnya.

"Oh, lebih baik ibu ikut kami saja. Tapi ngomong ngomong ibu mau bertemu siapa di sana?" Kali ini Nessa ikut bertanya.

"Ibu punya keponakan, namanya Husna dari Pati Jawa tengah. Mungkin saja adik adik mengenal keponakan Ibu." balas Ibu Roifa atas pertanyaan Nessa.

"Oh jadi ibu bibinya neng Husna ya? masya Allah, beliau ketua umum di pesantren kami, tentu saja kami mengenal beliau." Mida menjawab dengan antusias. Neng Husna adalah panutannya selama ini. Dia sangat bahagia bisa berjumpa dengan saudara neng Husna.

"Iya dik. Saya Bibinya Husna. Saya belum pernah kesini." Ucap ibu Roifa.

"Mari bu, ikut kami. kami akan antar ibu berjumpa neng Husna." Sambung Mida kembali.

Ketiganya berjalan beriringan. Sesekali terlibat percakapan diantara mereka. Ibu Roifa bertanya nama kedua gadis tersebut, asal kota mereka, dan dalam rangka apa mereka berada di luar ma'had. Keduanya menjawab semua pertanyaan ibu Roifa. Kali ini suasana mulai terlihat normal. Mida kembali ceria. Nessa pun tak lagi kesal dengan sahabatnya tersebut.

Ketiganya menyeberangi jalan raya, menyibak beberapa pengendara motor, becak dan mobil. Mida memilih berjalan bergandengan tangan dengan Nessa, ia paling takut saat menyeberang jalan raya.

Apalagi lalu lintas kota sore itu terlihat sangat ramai. Ia bisa terserang panik seperti kejadian di masa kecilnya yang membuatnya hampir tertabrak pengendara motor. Mengingat hal itu membuat Mida bergidik ngeri. Untung saja waktu itu ada budenya yang datang menolong.

Mida menggeleng perlahan, mencoba menghilangkan ingatan beberapa tahun silam. Ia lantas melihat ke arah depan, ada seorang pria tengah berdiri di seberang jalan sana. Mida terus berjalan, dan sesampainya mereka di seberang jalan, pria itu mendekati mereka, dia menyapa dan menjabat tangan Ibu Roifa dengan takzim.

"Assalamualaikum bi." Ucap pria tersebut.

"Waalaikumsalam, masya Allah Dzaky, ini Dzaky anaknya mas Abdulloh kan?"

Lelaki yang dipanggil Dzaky tersebut hanya mengangguk dan tersenyum ramah, menampilkan lesung pipi yang terlihat sangat menawan. Mida menyaksikan sahabatnya yang hampir saja meneteskan air liur karena sibuk menganga menatap pria dihadapannya. Mida mencolek pinggang gadis itu, membuat Nessa tersadar dari tingkah konyolnya.

"Kamu kok disini to le, bukannya kamu kuliah di kota M?" Tanya bu Roifa.

"Iya bi, ini sedang ada tugas disini. Jadi sekalian saja sowan makam mbah kyai biar dapat barokah." Jawab lelaki tersebut.

"Bibi mau kemana?" tanyanya kembali.

"Aaah, ini lo, nyambang Husna di pesantren. Lah apa kamu ikut aja. Biar ketemu saudara. Sekalian nanti sholat maghrib di musholla pondok putranya. Ada to mb Mida ya?"

"Hm? iya, iya ada bu." Jawab Mida gugup.

"Boleh bi kalau begitu. Saya ikut bibi saja." sambut pria bernama Dzaky tersebut, sambil kembali tersenyum. Kali ini senyum tersebut lebih tepat ditujukannya pada Mida.

Mida membalas senyuman tersebut dengan canggung, buru-buru menundukkan pandangannya. Lantas berjalan didepan pria itu bersama Nessa.

Alasan dia harus berjalan di depan adalah karena dia pemandu jalan, begitulah pernyataan ibu Roifah yang membuatnya tidak bisa menolak. Meski sebenarnya ia merasa kurang nyaman untuk berjalan didepan seorang pria.

Sepanjang perjalanan, ibu Roifa banyak menceritakan tentang Dzaky, yang katanya berasal dari Riau, Pekanbaru tepatnya. Disini sedang menyelesaikan pendidikan strata 1 di kota yang terkenal dengan julukan paris of java itu.

Sebentar lagi setelah lulus rencana akan mengambil program magister. Namun sebelum itu mau cari jodoh dulu katanya. Ibu Roifa sedikit melirik ke arah Mida saat mengucapkan kalimat terakhirnya ini.

Mida hanya manggut-manggut menanggapi cerita ibu Roifa, tak penting juga baginya mengetahui semua itu. Sekarang yang lebih penting dipikirannya adalah kenapa dari sekian banyak pria harus pria ini yang menjadi saudaranya neng Husna. Pria di swalayan yang berhasil membuatnya terlihat sangat bodoh dan konyol.

Oh tidak mimpi apa sebenarnya aku semalam? Mida menjerit dalam hati.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku