/0/26688/coverorgin.jpg?v=c4b3c2c782fc14e4cf02f18cc7392d82&imageMogr2/format/webp)
“Jangan sedikitpun kamu menyentuh tempat tidurku!” tegur Athar dengan nada terdengar begitu ketus.
“Lalu aku harus tidur di mana, Mas?” tanya Eira memberanikan menatap wajah suaminya.
“Terserah, asal jangan mengotori tempat tidurku,” tandas Athar.
Keheningan menerpa pasangan suami istri yang baru saja melangsungkan ikrar janji suci. Entah apa yang mendasari keduanya mau menerima perjodohan tanpa bertukar pesan maupun bertemu terlebih dulu itu. Ketika lamaran pun hanya diwakilkan oleh kedua orang tua dari pihak sang lelaki.
Eira yang kini resmi melepas masa lajangnya dan sudah berstatus sebagai istri orang. Wanita yang baru saja genap berusia 23 tahun itu baru saja mendapatkan gelar sarjananya. Sesuai baktinya kepada kedua orang tuanya, ia menyanggupi keinginan mereka. Tak pernah terbayangkan olehnya menikah tanpa dasar cinta. Selepas wisuda ia benar-benar setuju untuk menikah sesuai janjinya pada ayah dan ibunya.
Tanpa memprotes suaminya, Eira bergegas meraih selimut dan membawanya ke sofa. Hari yang melelahkan baginya setelah seharian menyalami tamu dari kedua belah pihak keluarga ditambah lagi sikap Athar yang baru terkuak. Batinnya seolah teriris diperlakukan secara kejam oleh pria itu. Meyakini jika pilihan orang tuanya terbaik, namun nyatanya malam pertama mereka menjadi momen menyedihkan.
Di tengah gelapnya malam, Eira terusik dari tidurnya. Tubuhnya sangatlah pegal lantaran tidak terbiasa tidur di sofa. Wanita cantik itu memutuskan untuk sholat tahajud. Menyerahkan segala kegundahannya pada sang pencipta yang mampu membolak-balikkan hati manusia. Berdoa agar pernikahannya bersama sang suami terjalin hingga maut memisahkan. Tanpa Eira sadari air matanya luruh begitu saja. Sebisa mungkin mencoba menahan isakan supaya tidak membangunkan Athar.
Sejatinya tidak ada keputusan yang salah ketika seseorang sudah memantapkan hatinya. Namun, berbeda dengan Eira. Ia tidak mempedulikan penderitaan seperti apa yang akan dialaminya ke depan. Bersandiwara di hadapan keluarga dengan terlihat baik-baik saja. Sejenak atensinya mengamati wajah damai suaminya yang tidur dengan pulas. Kini sudah memasuki waktu sholat shubuh. Akan tetapi, ia tidak berani membangunkan pria itu.
“Mas ….” Eira memanggil suaminya lirih dalam kondisi berdiri.
Teringat dengan ucapan Athar kemarin malam jika ia tidak boleh menyentuh sedikitpun tempat tidurnya. Alhasil, Eira hanya berdiri di tempat dan tidak berani mendekat. Berkali-kali ia memanggil, namun suaminya tak kunjung bangun.
Dengan langkah ragu dan tangan yang gementar, Eira memberanikan diri mendekat. Ia sedikit menggoyangkan lengan suaminya. Sudah sepantasnya pasangan suami istri mengingatkan baik dalam kebaikan dan keburukan. Seperti halnya saat ini, jika mereka melewatkan dua rakaat akan menjadi dosa besar. Eira tidak mau hal itu sampai terjadi.
“Mas, bangun. Sudah waktunya sholat shubuh, mari berjamaah,” pinta Eira lembut.
Athar yang merasa tidurnya terusik karena suara istrinya. Sontak saja menunjukkan tatapan tajam pada wanita itu. Menganggap Eira adalah benalu dalam hidupnya. Jika bukan karena ancaman orang tuanya yang menjadikan saham miliknya sebagai taruhan mana mungkin ia mau menikah dengan Eira.
“Berisik! Sholat saja sendiri sana, aku masih mengantuk,” tolak Athar.
Posisi tidur yang sebelumnya berhadapan dengan Eira, kini pria itu memunggungi istrinya. Suasana hatinya yang belum membaik dari kemarin seketika bertambah buruk. Seandainya Athar berada di rumahnya sendiri, ia bisa leluasa membuat peraturan pisah kamar. Sayangnya mereka saat ini berada di rumah orang tua Athar. Secara otomatis gerak-gerik keduanya diamati dan terbatas.
Eira terpaksa melaksanakan ibadah sendiri. Bayang-bayang indah menjadi makmum sudah terbesit di dalam benaknya. Namun, apalah daya. Itu semua hanyalah ilusi yang tak kunjung nyata.
‘Ya Allah ampunilah dosa suamiku. Aku yakin Mas Athar sebenarnya orang yang baik. Hanya saja mungkin dia masih sulit menerimaku sebagai istrinya,’
/0/19771/coverorgin.jpg?v=11f875de3bee0603de3e2d8d589f35cb&imageMogr2/format/webp)
/0/13075/coverorgin.jpg?v=0fafbe39bbd554beefe90b32f4b37124&imageMogr2/format/webp)
/0/15512/coverorgin.jpg?v=473570011405f57dce1b8da6ef5a741f&imageMogr2/format/webp)
/0/14064/coverorgin.jpg?v=47e9031b9221cf7fb44b043b76672b6f&imageMogr2/format/webp)
/0/13195/coverorgin.jpg?v=5fb858b2fea9f6ed3a2d883cc21ad37e&imageMogr2/format/webp)
/0/27970/coverorgin.jpg?v=0f4a4e7f144403390c01cd6d91d18894&imageMogr2/format/webp)
/0/2446/coverorgin.jpg?v=f6d9bcad1b57dd615f2d32909f9e4759&imageMogr2/format/webp)
/0/22779/coverorgin.jpg?v=c7df2ae606df727a42b8bbece4cef249&imageMogr2/format/webp)
/0/27624/coverorgin.jpg?v=20251106165442&imageMogr2/format/webp)
/0/16123/coverorgin.jpg?v=4abbb308ba639b6406e94227c23c7679&imageMogr2/format/webp)
/0/16154/coverorgin.jpg?v=e514499dc76f7a12f0f85d165ef50834&imageMogr2/format/webp)
/0/19023/coverorgin.jpg?v=ece7031e039dc2359eb734b7e124c242&imageMogr2/format/webp)
/0/15486/coverorgin.jpg?v=20250123120844&imageMogr2/format/webp)
/0/13960/coverorgin.jpg?v=993c2468b64bb5debbf8651bdb4dc393&imageMogr2/format/webp)
/0/24216/coverorgin.jpg?v=2947d09921e477a3d573a773a8ae9132&imageMogr2/format/webp)
/0/22437/coverorgin.jpg?v=bdfa0eafac12711b0f31f8df322135af&imageMogr2/format/webp)
/0/27596/coverorgin.jpg?v=4471e759215adf59b69875154e88690d&imageMogr2/format/webp)
/0/3861/coverorgin.jpg?v=7853e354b1b8adaa688c7c566758571a&imageMogr2/format/webp)