Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Putra memandang wanita muda di depannya dengan sorot mata menyala. Tak bisa disembunyikannya amarah yang sedang bergemuruh di dada.
Ana, sosok yang menjadi sumber amarah Putra terlihat menangis sesenggukan dalam pelukan Hesti.
"Siapa yang menghamilimu?" bentak Putra.
Ana masih membisu, hanya isak tangisnya saja yang terdengar bersahut-sahutan dengan isak tangis Hesti.
Seminggu ini Putra dan Hesti curiga pada perubahan bentuk tubuh Ana, terlebih Ana sering mual, dan mengeluh pusing. Tak pernah sedikit pun terpikir kalau anak semata wayang mereka itu sedang hamil, sebab ia belum bersuami.
Namun sebagai orang tua yang lebih berpengalaman, pastilah mereka mengenali tanda-tanda wanita yang sedang berbadan dua.
Tadi pagi Hesti dan putra akhirnya membeli testpack dan menyuruh Ana melakukan test.
Hasil testpack tergeletak di atas meja. Dua garis merah yang terpampang di testpack itu membuat mereka semua syok.
"Siapa yang melakukannya?" Putra kembali bertanya, suaranya makin meninggi.
"A-ana nggak tahu, Yah," jawab perempuan berusia sembilan belas tahun itu terbata-bata. Ia sangat takut. Isak tangisnya semakin kencang, membuat pundaknya naik turun tak terkendali.
"Tak tahu kau bilang? Dasar perempuan j@-l@ng!"
Plak!
Kali ini bukan hanya bentakan saja yang didapatkan Ana, tapi sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Rambutnya juga dijambak oleh Putra. Emosi ayahnya itu sudah di ubun-ubun. Hesti mencoba melerai, tapi ia malah di dorong hingga tersungkur.
"Ayah, jangan kasar pada Ana. Bicaralah baik-baik," rintih Hesti.
"Kau mau membela anak j@-l@ng ini, hah? Ini juga salahmu, tak becus mendidik anak. Ibu macam apa kau ini, bisa sampai kecolongan." Kini Hesti yang menjadi sasaran amarah Putra.
"Jangan salahkan Ibu, Yah. Ibu nggak salah. Ana juga nggak salah. Ana di-per-k*s@ ….” rintihan Ana. Suaranya hampir tenggelam, perkataan itu sulit sekali keluar dari mulutnya.
Ia juga ingin membela Heesti dan tak mau jika Putra malah menyalahkan ibunya itu
"Dasar perempuan tak tahu malu. Bisa-bisanya kau bilang kalau kau di-per-k*s@ hanya untuk menutupi kelakuan busukmu. Warga kampung Mekar sini semuanya berakhlak. Tak akan ada yang berani melakukan tindakan asusila, apalagi kepadamu. Kau anak seorang tetua di kampung ini. Orang-orang akan berpikir seribu kali melakukannya,” sanggah Putra. Semakin keras ian menarik rambut Ana.
"Demi Tuhan, Ana di-per-k*s@," ucap Ana dengan berderai air mata. Tangannya memegang pangkal rambut yang ditarik oleh Putra.
Bukannya iba, Putra semakin menambah kekuatan tangannya saat mengepal rambut Ana.
"Tolong dengarkan anak kita sekali ini aja, Yah." Hesti berdiri, sekali lagi ia ingin melerai tangan Putra, ia tak tahan melihat Ana meringis kesakitan, tapi malah tendangan yang didapatnya.
"Kalau bukan karena kau yang kegatelan, pasti tak ada yang mau mem-per-k*s@mu." Putra semakin geram.
"Ana korban, yah. Kenapa ayah tak mau mengerti perasaan Ana. Harusnya ayah bantu Ana mencari keadilan."
"Hal itu tak akan terjadi kalau kau berteriak, lari dan melakukan perlawanan. Kenapa kau diam saja? Apa kau menikmatinya juga, hah?"
Tangan putra yang satunya lagi kini mencekik leher Ana.
Ana kesulitan bernafas, wajahnya merah padam, dadaknya sesak. Ia kini pasrah pada apa pun yang akan dilakukan Putra.
"Lebih baik kau mati saja!"
"Ayah, hentikan!"