Almira merupakan gadis desa yang memiliki gelar sarjana serta tengah bekerja di salah satu perusahaan swasta. Almira yang selalu didesak oleh ayahnya untuk segera menikah lantaran sang adik sudah lebih dulu bertunangan dengan kekasihnya. Ayahnya tidak ingin Almira dilangkahi, karena menurutnya itu akan menjadi aib di keluarga dan dikhawatirkan akan jodoh Almira yang akan semakin lama datangnya jika dilangkahi adik perempuannya. Almira beberapa kali dijodohkan bahkan dipaksa menikah oleh ayahnya. Namun karena adanya rasa ketidakcocokan dengan laki-laki pilihan ayahnya, Almira pun menolak semua pria-pria itu. Alhasil, ayah Almira marah dan tak terima, Almira pun dianggap sebagai gadis sombong dan pemilih.
"Saya terima nikah dan kawinnya Almira puspita binti Hadiyanto dengan mas kawin perhiasan 20 gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai," ucap Adryan dengan lantang jelas.
"Bagaimana saksi? Sah?" tanya seorang penghulu.
"Sahh," jawab saksi dan para tamu.
"Alhamdulilah," semua orang yang hadir kompak mendoakan atas pernikahan Mira dan Adryan.
"Selamat, sekarang kalian sudah resmi jadi sepasang suami istri," ucap penghulu.
Mira dan Adryan lalu menandatangani buku nikahnya.
Almira terlihat bahagia atas pernikahannya. Mira dan Adryan saling menatap penuh haru. Almira tak pernah menyangka bahwa dirinya akan dipersunting oleh laki-laki seperti Adryan.
Sementara seorang wanita paruh baya menatap tajam pada Almira dan Adryan. Dia seperti tengah kecewa dan kesal atas pernikahan Almira dan Adryan yang tengah berlangsung.
----3 bulan yang lalu----
Sore hari.
Aku baru saja pulang bekerja.
"Assalamu'alaikum," ucapku saat memasuki rumah.
"Walaikumsalam," jawab seorang pria paruh baya yang menjadi ayahku. Beliau biasa dipanggil Yanto.
"Baru pulang Mir?" tanya Bapak seraya masih memainkan gawainya.
"Iya, Pak," jawabku lalu mencium punggung tangan Bapak.
"Mir, duduk dulu di sini. Bapak mau ngobrol sama kamu,"
"Ngobrol soal apa, Pak?" tanyaku seraya duduk di samping Bapak.
Aku sedikit menghela nafas ku.
"Mir, tadi siang Bapak ke rumah Om Ridwan, terus katanya, Om Ridwan punya calon buat kamu,"
"Calon?" tanyaku sedikit terkejut.
Bapak menghela nafasnya seraya merubah posisi duduknya dengan lebih tegap.
"Iya, kata Om Ridwan dia kerja di pabrik gitu dan udah lama kerjanya. Terus mau nyari calon istri, dan katanya juga dia sudah dewasa Mir," Bapak menjelaskan dengan semangat.
Sontak membuat keningku mengkerut.
"Bapak ke rumah Om Ridwan cuma mau minta tolong ke Om Ridwan, nyariin jodoh buat Mira?" tanyaku dengan perasaan yang sedikit kesal.
Aku tidak bisa menyembunyikan rasa kesal dihatiku. Mungkin efek dari rasa lelah karena seharian bekerja, ditambah lagi Bapak mengatakan hal yang tidak aku sukai. Entah mengapa, aku merasa harga diriku jatuh ketika Bapak bilang ada jodoh untukku, apalagi itu dari Om Ridwan.
Om Ridwan memang adik dari Bapak, namun sikapnya kadang membuatku merasa kesal. Aku merasa Om Ridwan terlalu ikut campur dengan kehidupan pribadiku, entah karena rasa perduli sebagai paman atau karena hal lain, tapi sikapnya yang terkesan memaksa melalui Bapak, membuatnyaku kurang nyaman pada adik bungsu Bapak itu.
"Ehh, dengerin dulu Mir, Bapak itu tadi pagi ke rumah Pak Sanusi, buat ngomongin tanahnya yang mau dijual. Pas pulang ketemu sama Om Ridwan, terus Om Ridwan ngajakin Bapak ke rumahnya. Ya sudah, Bapak mampir ke sana sekalian istirahat sebentar, terus ngobrol-ngobrol biasa, ngobrol soal kamu, soal Rena. Terus Om Ridwan bilang, katanya keponakan temennya ada yang lagi nyari calon istri," Bapak menjawab dengan nada seakan membujukku dengan halus.
Aku menghela lagi nafasku dulu. Bapak memang selalu mendesakku untuk segera menikah, beberapa kali Bapak juga selalu menjodohkanku dengan laki-laki pilihannya. Namun, aku kurang menyukai pria-pria itu, bukan aku ingin menjadi pemilih atau pun merasa lebih baik hingga aku berani menolak pria-pria itu. Namun kenyataanya, pria-pria yang aku temui itu, sangat minim etika dan buruk sikap, jangankan untuk dijadikan suami, untuk mengobrol pun rasanya tidak nyaman.
"Emang siapa sih Pak orangnya?" tanyaku mencoba untuk tetap tenang.
"Dia itu keponakan temennya Om Ridwan, dia katanya kerja sama ngontrak di sini. Om Ridwan juga pernah ketemu sama ngobrol juga sama dia,"
"Terus maksudnya, Bapak mau ngejodohin Mira sama dia?"
"Ya kamu ketemu aja dulu Mir, ngobrol, siapa tau cocok. Dia katanya lagi nyari calon istri, berarti kan udah siap Mir. Kamu coba dulu aja ketemu, terus ngobrol-ngobrol dulu," ucapan Bapak seakan memberi dukungan.
"Ya udah deh, terserah Bapak," ucapku karena sudah merasa lelah.
"Berarti kamu mau yah, nanti Bapak bilangin sama Om Ridwan,"
"Emang Bapak udah tau orangnya kayak gimana?"
"Ya belum, tapi kata Om Ridwan kalo kamu mau ketemu sama dia, nanti besok pulang kerja dia langsung ke sini buat ketemu sama kamu," jawab Bapak.
"Langsung ke sini? Maksudnya habis dia pulang kerja langsung ke sini Pak?" tanyaku sedikit heran.
"Iya, katanya sih kerjanya di shift gitu. Kalo kebagian shift siang ya pulangnya malem, ya mungkin kalo pulang dulu takut kemalaman," jawab Bapak.
Aku hanya bisa diam dan lagi-lagi menghela nafas ku.
"Jadi gimana? Mau yah kamu ketemu sama dia?"
"Terserah Bapak aja deh, Mira nurut. Yaudah Mira capek, Mira ke kamar yah Pak, mau istirahat dulu," jawabku dengan malas lalu beranjak jalan masuk kamar.
"Ya udah, Bapak bilang ke Om Ridwan yah," teriak Bapak.
Aku masuk ke dalam kamar, memejamkan mataku sambil menarik napas dalam-dalam. Aku sungguh sudah kehabisan kata-kata untuk menghindar atau pun menolak orang yang ingin dijodohkan denganku, terkesan sombong dan angkuh, namun kenyataanya, setiap orang yang dikenalkan dan dijodohkan denganku, aku tidak menyukai mereka. Bukan karena fisik atau pun jabatan, namun lebih kepada sikap dan rasa hormat yang ditunjukkan kepadaku. Hidup di pedesaan memang sedikit berat, untuk wanita dewasa sepertiku yang belum kunjung menikah.
***
Malam hari.
Aku keluar dari kamarku, aku berjalan menuju meja makan karena merasa lapar.
Namun ketika aku membuka penutup makanan, ternyata makanan yang aku beli sudah habis dan aku juga melihat ada piring kotor di meja makan. Aku terdiam sejenak sambil mengatur napasku.
"Kenapa, Mir?" tanya Bapak yang baru saja selesai dari kamar mandi.
"Pak, ini kok makanannya abis?" tanyaku.
"Oh, tadi Bapak sama Mas Benny abis makan," jawab Bapak.
"Di abisin semua Pak?" resahku.
"Iya, kamu kan tau sendiri gimana nafsu makan si Benny. Kuli bangunan aja kalah sama dia makannya," tutur Bapak.
Lagi-lagi aku hanya bisa menghela napas.
"Mbak, aku laper," ucap Rena menghampiri lalu melihat penampakan di meja makan.
"Makanannya udah abis Ren, sama Mas Benny," ucapku dengan lemas.
"Ihhh, kok di abisin sih? Terus aku makan gimana?" gerutu Rena.
"Ya kamu beli aja di luar, kamu kan kerja punya gaji, ya beli sendiri," sahut Bapak.
"Ihhh Bapak apaan sih. Mas Benny juga kerja, kenapa dia ga beli makan sendiri? Lagian Bapak kenapa sih, sekali-kali marahin tuh Mas Benny. Aku sama Mbak Mira kan jadi ga bisa makan," decak Rena.
"Capek lah Ren, kamu kayak ga tau aja gimana Mas mu itu gimana," ucap Bapak lalu melengos masuk ke kamarnya.
"Udah lah Ren," ucapku.
"Ya terus kita mau makan apa, Mbak? Aku ga mau keluar ah, aku capek, aku juga belum gajian. Mbak aja deh yang keluar beli makanan, aku tunggu di kamar, yah," ucap Rena lalu pergi ke kamarnya.
Rasanya aku sudah sangat lelah menghadapi kelakuan keluargaku yang begitu egois.
Akhirnya aku keluar untuk membeli makan malamku dan Rena, karena sudah malam rasanya lelah sekali jika harus memasak, belum lagi besok aku harus bangun pagi untuk membersihkan rumah sebelum berangkat bekerja. Semenjak kedua kakak perempuanku sudah menikah dan aku sudah bekerja, keluargaku selalu menyerahkan tugas rumah kepadaku dan aku juga yang harus bertanggung jawab atas kebutuhan rumah.
"Enak ya Mbak, ini beli di mana Mbak?" tanya Rena disela makannya.
"Di depan jalan Ren, warteg yang baru," jawabku.
Sebenernya aku sudah malas mengobrol, aku ingin cepat-cepat menghabiskan makanan ku lalu pergi ke kamar.
"Mbak jalan kaki ke depan?"
"Emmm,"
"Waahh, itu kan lumayan jauh Mbak. Mbak ga capek apa?" Rena bertanya seraya menikmati makanannya.
Aku sudah sangat muak mendengar pertanyaan Rena, Rena hanya bisa bicara dan bertanya tanpa perduli dengan keadaanku.
"Ya ampuun, kenyang banget. Enak banget loh Mbak masakannya, hmmm makin gendut deh aku," ucap Rena seraya meluruskan tubuhnya.
Aku hanya bisa diam sambil melihat kelakukan adikku itu.
"Aku ngantuk Mbak, aku tidur duluan yah,"
Rena pergi ke kamarnya begitu saja, bahkan membiarkan piring bekas makannya di meja makan. Rena sama sekali tidak pernah membantuku dalam membersihkan rumah. Ia selalu beralasan kalau dirinya capek karena sudah bekerja. Waktu ibu masih hidup, memang kerap kali memanjakan Rena. Rena si anak bungsu, yang harus mendapatkan kasih sayang dari kakak-kakaknya dan selalu mendapatkan apapun yang dia mau.
Bab 1 Jodoh untuk Almira
23/02/2025
Bab 2 Cobaan hidup
23/02/2025
Bab 3 Jodoh yang datang
23/02/2025
Bab 4 Selalu mengalah
23/02/2025
Bab 5 Disalahkan
23/02/2025
Bab 6 Izin menikah
23/02/2025
Bab 7 Pesan Mbak Ratih
23/02/2025
Bab 8 Info Rena
23/02/2025
Bab 9 Rencana Bu Santi
23/02/2025
Bab 10 Ide Bu Santi
23/02/2025
Bab 11 Almira dirumah Pak Kamil
23/02/2025
Bab 12 Cahaya untuk Almira
23/02/2025
Bab 13 Cobaan lagi
24/02/2025
Bab 14 Kajian pertama
24/02/2025
Bab 15 Dipaksa untuk menemui Rama
24/02/2025
Bab 16 Bertemu dengan Rama
25/02/2025
Bab 17 Drama soal jodoh
25/02/2025
Bab 18 Sambungan Bapak bersama Bu Santi
25/02/2025
Bab 22 Sosok Adryan
02/03/2025
Buku lain oleh PenaYellow
Selebihnya