Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
AMBISI GADIS DESA

AMBISI GADIS DESA

Sherly Monique

5.0
Komentar
228
Penayangan
10
Bab

Nay sebut saja dia begitu. Gadis desa yang memiliki ambisi menjadi orang kaya dan terhormat. Semua dia tempuh bahkan menggoda atasannya. Jangan salahkan Nay jika dia memilih jalan hidup seperti itu. Masa kecilnya yang tak bahagia, penuh kesengsaraan, hinaan dan himpitan ekonomi menjadikan dia seorang wanita tangguh, berpendirian keras dan tak mau menyerah mendapatkan apa yang diinginkannya. Jangan salahkan Nay jika dia menggoda pria yang lebih tua darinya. Dia sudah kehilangan dua pria dalam hidupnya dulu. Mantan tunangan dan ayah asuh yang menyayanginya dengan tulus. Mereka meninggal dalam kecelakaan. Separuh jiwanya pergi. Jangan salahkan Nay jika dia ingin kaya dan kekuasaan, karena dia tak mau anaknya kelak seperti dirinya. Seperti apa perjalanan kisah hidup Nayna Danastri dari kecil hingga dia tua? Cerita ini berada di tahun 1975 mengikuti masa kecil Nay.

Bab 1 Gadis Kecil Penjual Gorengan

Tahun 1975

Di tengah teriknya mentari kaki kecilnya terus melangkah sembari membawa satu keranjang kue yang harus dia jual demi menutupi kebutuhan keluarganya. Lelah, lapar dan haus tak dia hiraukan. Dengan penuh semangat suara lantangnya terdengar di jalanan.

"Gorengan ... "

"Kue ..."

Gadis kecil berkuncir dua, hidung bangir dan kulit kuning langsat menjadi tatapan semua orang di jalan. Tak menyangka gadis secantik dia mau dan tak malu berjualan sambil berkeliling.

"Nayna ... sini, Nak."

Senyumannya dapat memikat hati pemuda di sana. Meski gadis bernama Nayna masih berusia delapan tahun banyak pemuda yang menyukainya diam-diam. Mereka akan melamarnya ketika gadis itu sudah beranjak dewasa kelak. Ya hanya tinggal menunggu waktu yang tepat saja.

"Ya Bi, ada apa?" tanya Nayna menghampiri warung di pinggir jalan.

Suaranya yang lembut enak didengar. Tak ada kesan manja, merengek atau berkeluh kesal. Saat membuka kalimatnya, gadis itu berkata dengan sopan dan hormat. Tak ada yang kurang dari gadis tersebut. Sayangnya, dia terlahir dari keluarga tak mampu.

"Kau dan ibumu sudah makan?" tanya sang pemilik warung.

"Sudah tadi pagi, Bi. Lauk yang bibi beri kemarin sore masih ada," jawabnya sopan dengan tutur bahasa yang halus.

"Itu sayur santan. Tidak baik jika disimpan sampai semalam. Nanti sepulangnya kau dari berjualan. Mampirlah sebentar ke sini. Kau paham, Nay?"

"Iya Bi Ros," jawabnya lagi sembari berpamitan.

Rosita pemilik warung di dekat terminal itu memang menjadi persinggahan Nayna maupun para pemuda pengamen. Rosita dan sang ibu Nayna sahabat karib sejak masa sekolah dasar.

"Kasihan benar nasibmu, Cah Ayu. Ayah kandung pergi lalu datang ayah tiri malah pejudi dan pemabuk," ratap Rosita memandang kepergian anak sahabatnya.

Namun Rosita salut pada Maya ibu dari Nayna, wanita itu mampu mendidik anaknya dengan benar setelah ditinggal suaminya yang menikah lagi.

"Na, mana pesananku?" Seorang pemuda berperawakan gemuk menghampiri Nayna yang hendak masuk terminal.

"Ini Bang," kata Nayna menunjukkan sekantung kresek gorengan pesanan Tohir.

"Wah asyik. Terima kasih ya. Ini kembaliannya ambil kamu aja," ucap Tohir menyerahkan uang seribu kepada Nayna.

Nayna menyunggingkan senyum. Senang sekali hatinya kalau Tohir penjaga loket itu membeli dagangannya meski tidak setiap hari hanya ketika ada acara saja di rumahnya. Nayna langsung mengantongi selembar uang dengan tokoh bergambar Pangeran Diponegoro tersebut.

"Gorengan 25 perak ...."

"Lemper 100 perak ...."

Langkahnya kembali terayun. Nayna menjajakan dagangannya di dalam terminal bus yang sudah setahun ini dia lakukan. Jika bukan karena Rusdi ketua preman penjaga terminal gadis kecil itu dilarang masuk dan berjualan, tetapi pria tua itu menaruh rasa iba.

"Nay, udah makan belum?" tanya Rusdi ketika melihat Nayna masih menjajakan jualannya.

"Sudah, Bang," jawab Nayna. Rusdi meski usianya di kepala lima, tetapi dia tak mau dipanggil kakek atau bapak oleh siapa saja.

"Ya sudah hati-hati. Lain kali biarkan Tohir yang ke rumahmu untuk ambil pesanan. Jangan kamu, Nayna. Kamu tuh nggak bisa bawa keranjang berat," ucap Rusdi menggelengkan kepala melihat Nayna berpeluh keringat dengan napas tersengal.

Nayna hanya mengangguk lalu melanjutkan kaki kecilnya mengelilingi terminal bus. Tak ada rasa lelah baginya meski udara kian panas, tetapi Nayna tetap semangat. Dia harus mendapatkan uang hari ini untuk membeli obat sang ibu yang terbaring sakit.

"Gorengan ... lemper ..."

"Masih hangat ... siapa yang mau beli?"

Hampir setengah jam mengitari terminal hanya ada beberapa saja yang laku dan sisanya masih banyak terutama gorengan. Sejenak Nayna duduk di kursi kayu panjang seraya mengambil botol lusuh minumnya. Dia lelah dan perutnya pun berbunyi.

"Tidak, aku tidak boleh beli makan. Kasihan ibu," ujarnya dalam hati.

Meski terasa lapar, Nayna tetap tak berpengaruh pada pikiran jahatnya. Dia akan makan jika dagangannya ini habis dan pulang lalu memakan masakan bibi Rosita yang selalu memberinya lauk sisa.

"Hei! Anak kecil buat apa kamu ke sini?"

"Wah rejeki nih, Bos. Habisin saja," kata pemuda bertato dan bertindik di telinga.

Nayna terkejut kala melihat seorang pria bertubuh kekar menghampirinya bersama dua teman lainnya. Dia beranjak berdiri, tetapi kalah cepat dengan preman tersebut lalu seenaknya memakan gorengan.

"Jangan, Om. Jangan dimakan," ucap Nayna melarang preman itu mengambil gorengannya.

"Hah? Apa katamu Om? Aku bukan om kamu," timpal pemuda ceking satunya sambil tertawa.

"Tolong dibayar, Bang. Ini buat beli obat ibu," kata Nayna memohon.

"Enak saja. Kamu di wilayahku. Jadi ya daganganmu milik aku," jawab sang bos dengan angkuh.

"Bukannya wilayah ini milik Bang Rusdi?" tanya Nayna dengan polosnya.

"Melantur kamu, Bocah. Seluruh area ini punyaku. Jadi siapapun yang berdagang harus bersedia membayar uang atau---"

Nayna tahu tatapan nakal itu. Memang Nayna masih kecil, tetapi dia tahu maksud dari perkataannya mereka dengan melihat dirinya begitu dalam sambil tersenyum.

"Atau apa, Bang?" Nayna harus berani dia tidak boleh menunjukkan rasa takutnya.

"Anaknya secantik ini apalagi ibunya, Banh Hen. Kita culik saja dan---"

Nayna mundur beberapa langkah saat tangan kekar pria bertato itu hendak menyentuh wajahnya. Dia memalingkan wajah dan ingin belari.

"Hei ... kalian!"

Nayna membuka mata dan dia langsung belari menghampiri Rusdi dan anak buah lainnya. Nayna bersyukur bisa selamat dari tangan nakal preman itu.

"Nay, apa mereka melakukan hal buruk sama kamu?" tanya anak buah Rusdi yang bernama Turi.

"Nggak apa-apa, Bang. Tapi dagangan Nay diambil semua tanpa mau bayar."

"Udah kamu kembali ke pos. Biar kami yang menangani mereka. Preman baru netes kok berani ke sini," kata Rusdi siap menghabisi lawan barunya.

Namun belum sempat Rusdi dan komplotanya mendekati preman Hendi, mereka langsung melarikan diri. Tak disangka wilayah seluruh terminal dikuasai Rusdi. Rusdi memang dipercayai oleh pemilik terminal untuk menjaga kawasan ini agar tidak diganggu preman lainnya.

"Lah kok lari, Bang Rus?"

"Mereka itu baru netes kemarin jadi preman. Apa dia tidak tahu kalau bang Rusdi di sini?" Beberapa anak buah Rusdi berkomentar.

Rusdi memandang Nayna yang menatap kosong dagangannya. Isi keranjang itu benar-benar tak tersisa sedikitpun. Andai terjual semua Nayna pasti bisa beli obat untuk ibunya.

"Ibumu masih sakit, Nay?" tanya Rusdi sembari menggandeng tangan Nayna menuju pos.

"Ibu sehat kok, Bang," sahut Nayna tersenyum tak ingin Rusdi tahu penderitaannya.

"Kamu nggak bisa bohongi aku, Nay. Lah wong Turi ke rumahmu lihat ibumu sakit dan wajahnya pucat."

Nayna tak bisa bercerita mengenai kondisi sang ibu. Rusdi sudah banyak menolongnya selama ini dan dia enggan meminta bantuan selama dia masih bisa mencari uang sepulang sekolah.

"Ini uang. Pakai buat beli obat. Nanti aku samperin tuh preman yang berani memakan daganganmu," kata Rusdi sembari menyerahkan tiga lembar uang.

"Turi, anterin nih bocah pulang. Sudah sore lagian," perintah Rusdi pada anak buahnya.

Selepas Nayna mengucapkan terima kasih lalu pamit pulang. Rusdi masih berdiri di sana sampai sepeda motor itu hilang dari pandangannya. Pria itu menghela napas panjang melihat rona kehidupan ibu dari Nayna. Wanita yang hendak dia jadikan istri ke limanya demi menyelamatkan wanita itu dari tangan lelaki bejat.

****

Nayna berucap rasa terima kasih kepada Turi yang mengantarkannya pulang. Gadis kecil itu berjalan menyusuri jembatan batu kecil hingga sampai ke rumahnya. Setiap hari hanya jalan ini yang bisa dilalui dirinya bersama warga lainnya.

Pemukiman warga tak mampu berada di ujung setelah perumahan mewah milik orang kaya dan menengah. Ketika hendak ke rumahnya, Nayna harus melewati rumah orang kaya terlebih dulu lalu jalannya akan semakin sempit karena di sisi kanan dan kiri terdapat ladang juga sawah yang dikelola warga.

"Andai tidak ada jembatan ini mungkin ada mobil yang bisa mengantarkan nenek waktu itu," kenangnya sambil berjalan di atas jembatan yang terbuat dari batu semen kuat.

Setelah melewati jembatan kecil itu, Nayna harus berjalan lagi melewati sungai di sisi kiri dan sawah milik Pak RT barulah dia sampai di pemukiman yang dihuni oleh warga kalangan biasa.

Pemukiman itu memiliki warga yang tak sedikit. Semua pekerja lepas harian, ada yang menjadi petani atau sopir bus kebanyakan. Nayna mengenal semua warga sana karena dia lahir di pemukiman ini.

"Akhirnya sampai. Sepertinya ibu goreng tempe. Aku lapar," katanya dengan riang.

Namun belum sempat kakinya menuju teras rumahnya, terdengar suara gaduh dan lemparan piring disertai umpatan kasar. Nayna memilih diam dan menangis tersedu-sedu tanpa bisa membantu.

=Bersambung=

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku