Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Suami Unlimited

Suami Unlimited

Djiwa Moeda

5.0
Komentar
293
Penayangan
8
Bab

Orang-orang di rumah sakit mengatakan jika Dokter Flara memiliki kepribadian yang hangat, sebabnya banyak anak-anak menyukai wanita 28 tahun tersebut, tapi tidak terhadap Ganindra Prayaksa--pria nan berstatus sebagai barista kopi sekaligus suami Flara Tanuredja. Orang lain pasti takkan menyangka jika sikap Flara saat berada di depan Indra justru sangat berbeda, dokter muda itu selalu dipenuhi arogansi serta ketidaksukaan terhadap suaminya. Mungkin karena perjodohan mereka di masa lalu, atau sebab status Indra yang hanya seorang barista kopi-sementara istrinya merupakan seorang dokter? Mungkin, wanita itu malu sekaligus benci harus menikah dengan Indra. Sayangnya, judul kisah mereka bukanlah 'Terpaksa Menikahi Barista'. ***

Bab 1 1. Enam bulan sebelumnya.

Sebagian besar pelayat bercucuran air mata, mereka menangisi jasad terbujur kaku dalam peti yang kini telah terpendam tanah merah basah serta taburan beragam kelopak bunga. Nisan dengan nama 'Prayitno Tanuredja' tersebut dimiliki oleh seorang kakek nan telah mengusaikan napas terakhirnya semalam, tepat ketika seluruh anggota Keluarga Tanuredja mengitarinya-mengucap salam perpisahan yang benar-benar tak pernah ingin mereka lakukan, kakek tercinta sekaligus pemegang tahta tertinggi Keluarga Tanuredja tersebut akhirnya berpulang setelah hampir empat tahun menderita gagal ginjal.

Kini, Kakek Prayit telah bersemayam dalam damai tanpa merasakan sakit nan menyiksa, ia tak perlu melakoni cuci darah lagi seperti sebelum-sebelumnya. Mau tidak mau semua orang dipaksa ikhlas melepas kepergian Kakek Prayit serta harus melanjutkan kehidupan masing-masing tanpa kehadiran sosok tersebut.

Termasuk Flara, ia menjadi cucu kesayangan yang selama ini tinggal seatap dengan mendiang Kakek Prayit. Flara Tanuredja namanya, seorang dokter muda nan baru menjalani tugasnya disalah satu rumah sakit umum Jakarta selama setahun terakhir.

Wajah Flara sembap seperti orang-orang di sekitarnya, ia berdiri di dekat Ilona-adik Flara yang masih berstatus sebagai mahasiswi strata satu jurusan hukum. Flara memilih mendekap lengan sendiri saat Ilona terus merangkul sang mama, Danastri.

Gerimis sekaligus mendung pagi ini sudah cukup menegaskan jika alam turut berduka tanpa perlu dipaksa, perlahan satu per satu pelayat meninggalkan area pemakaman sembari membawa masing-masing kisah sedih mereka hari ini.

Flara masih mematung menatap nisan milik mendiang kakeknya, kantung mata wanita itu mulai terlihat jelas, untung ia membawa kacamata hitam sebagai penyamar kesedihan, bagaimana pun setelah ini Flara sudah harus berangkat ke rumah sakit. Ia tak bisa memamerkan wajah pucat mengerikan seperti tak tertidur selama berhari-hari itu-meski faktanya memang benar.

"Ayo, Ma. Kita pulang, kakek sekarang udah tenang. Dia pasti nggak mau ngelihat keluarganya bersedih terus," ucap Ilona terus berusaha menenangkan Danastri, sejak semalam wanita yang sudah bercerai dari mantan suaminya sepuluh tahun silam tersebut terus menangisi mendiang sang ayah.

"Nanti." Suara Danastri nyaris tercekat, ia terlihat cukup lemah untuk sekadar melangkah dari posisi makam Kakek Prayit ke arah gerbang masuk pemakaman. Beberapa kendaraan pelayat terparkir di sisi jalan.

Ilona beralih menatap Flara. "Kak Fla mau langsung ke rumah sakit atau pulang ke rumah dulu?"

"Ke rumah sakit," sahut Flara seraya membenarkan letak kacamata hitamnya. "Kamu sama mama bisa langsung pulang, ya. Masih banyak orang di rumah."

Ilona mengangguk, ia kembali membujuk Danastri. "Ayo, Ma. Kita masih bisa ke sini besok lagi, atau malah setiap hari. Kita pulang sekarang ya? Mama harus istirahat, jangan sampai jatuh sakit." Kedua tangan Ilona terus memegangi lengan Danastri dari balik punggung wanita itu, ia takut sang mama tiba-tiba jatuh pingsan. "Ayo, Ma. Kita bisa ke sini lagi besok." Sekali lagi Ilona mengatakannya, ia tahu semua orang terpukul atas kepergian Kakek Prayit, tapi sejak lama pria tua itu sudah menegaskan jika ia pasti akan pergi-terlebih setelah membuat surat wasiat sebulan sebelum meninggal-tanpa diketahui pasti oleh anggota keluarganya, dan setelah surat wasiat tersebut dibacakan sehari sebelum kematian Kakek Prayit, sebagian orang setuju meski salah satu dari keluarga besar benar-benar menerima sambaran petir di pagi yang cerah saat itu.

"Ya udah, kita pulang sekarang." Untungnya bujukan Ilona membuahkan hasil, Danastri mau diajak pulang.

"Kak Fla, aku bawa mama pulang, ya. Kakak semangat nugasnya," pesan Ilona.

"Ya, jagain mama di rumah."

Ilona mengangguk, ia mengajak Danastri menyingkir tanpa melepas tangannya dari lengan wanita itu, lambat dan pasti hampir semua orang menyingkir dari lokasi pemakaman, terkecuali Flara. Ia masih berdiri menatap makam mendiang Kakek Prayit, terserah jika nuansa di pemakaman benar-benar sendu atau bahkan mengerikan, hal itu tak berpengaruh apa-apa bagi Flara. Sebab keresahan dalam pikirannya jauh lebih bertahta ketimbang rasa takut terhadap situasi pemakaman.

Flara menelan ludah, ia mendekati nisan dan berjongkok, tangan wanita itu menyentuh nisan. "Kakek," ucapnya seraya melepas kacamata nan sempat menutupi mata sembapnya, kini ia perlihatkan lagi tanpa orang lain tahu. "Kenapa harus Flara, kenapa bukan Ilona atau siapa pun itu? Cucu kakek banyak, kenapa mesti Flara, kek?" Rupanya, Flara memprotes. "Kenapa kakek baru bilang semuanya sehari sebelum kakek nggak ada. Flara nggak siap buat mengemban beban seberat itu, Flara belum mau menikah. Iya, Flara emang udah 28 tahun, tapi kan masih ada usia 30 nanti-pas Flara udah siap buat menikah. Kakek kenapa sih."

Ini terlihat cukup lucu, meski tengah berduka, tapi sikap Flara terkesan aneh sekaligus ceroboh tak berguna, untuk apa dia mengadu pada pemakaman seperti itu, bukan berarti Flara tak mempercayai Tuhan. Ia hanya kesal terhadap mendiang Kakek Prayit sebab menuliskan sebuah surat wasiat seperti itu, sesuatu yang membuat pagi Flara bak tersambar petir ketika semua orang merasa keputusan Kakek Prayit sudah sangat bijak.

Namun, permintaan yang dibuat untuk Flara benar-benar membuat perempuan itu ingin melompat ke Palung Mariana atau menghilang di Segitiga Bermuda saja. Kemarin-kemarin ia masih bisa menahan keresahannya sebab rasa sedih kehilangan masih bertahta, tapi hari ini rasa sedih tersebut disingkirkan oleh kejengkelan luar biasa.

Sialnya, ketika surat wasiat itu dibacakan pun Flara tak mampu berkomentar banyak sebab kepalanya terus diusap oleh Kakek Prayit sembari berkisah tentang masa kecil Flara. "Eling yo, Nduk. Kamu dari bayi sudah tinggal sama kakek, yo masa kamu ndak mau nuruti satu permintaan kakekmu. Flara sayang kakek, to? Mbok besok kakek ndak ada, kamu sudah bahagia yo, Nduk?"

Sekarang Flara baru menyadari jika permintaan kakeknya benar-benar mencekik, menggantung Flara tanpa harus tewas. Percuma bagi Flara meluapkan emosi di tempat ini, Kakek Prayit tak mungkin keluar dari peti dan mengganti isi surat wasiat yang sudah sah disepakati bersama.

Kenapa hanya Flara yang merasa paling sengsara di antara seluruh anggota keluarganya?

"Kakek bilang kalau Fla ini cucu kesayangan, tapi kenapa dikasih perintah kayak gitu sih, kek. Flara nggak mau, pokoknya kakek harus ganti isi surat wasiatnya. Kakek inget kan anaknya Tante Nilam yang udah ngebet banget, kenapa bukan dia aja? Kenapa harus Flara?"

Kenapa, kenapa dan kenapa. Flara benar-benar merasa jika semua ini tak masuk akal, salah satu poin dari surat wasiat tersebut menegaskan jika Flara harus menikah dengan putra ketiga pemilik Marion Group bernama Ganindra Prayaksa, tapi bahkan Flara tak pernah tahu anak pertama sampai ketiga maupun dua belas-jika memang ada-dari pemilik Marion Group tersebut, ia tak mengenal keluarga mereka. Lalu, tiba-tiba Flara harus menikahi Ganindra Prayaksa? Siapa pria itu? Bagaimana jika kriteria yang disuguhkan tak sesuai dengan imajinasi Flara sebagai dokter muda penggila drama Korea.

Ia masih berharap bisa menikah dengan Lee Min Ho atau Lee Dong Wook, beberapa aktor bermarga 'Lee' dalam drama tersebut membuat sebagian besar perempuan memang menggila.

Ini tidak benar, Flara bisa gila untuk segala ketidakjelasan yang harus dihadapinya beberapa bulan lagi-menuju resepsi pernikahan sesuai tanggal nan telah tertulis mutlak pada isi surat wasiat tersebut.

Mungkin judul cerita ini seharusnya 'JODOHKU DI TANGAN KAKEK'.

***

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Djiwa Moeda

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku