Gadis Pemuas Tuan Grey
Penulis:Blue Butterfly
GenreRomantis
Gadis Pemuas Tuan Grey
“Kau pikir aku anak kecil yang bisa dibodohi? Menurut saja, atau aku akan pergi sekarang!” jawab Nora.
Grey berbalik badan, menatap lekat wajah cantik Nora. “Pergilah, aku tidak ingin melihatmu.” Ucapnya seraya membuang napas panjang, sebelum akhirnya ia memejamkan kedua mata dan menutupi dengan lengan.
Nora bernapas kasar, “baiklah. Aku tinggalkan obat tidur untukmu, jangan meminumnya dengan alkohol, kau akan mati dengan cepat nanti.”
Grey tidak menyahut, dia juga tak mengalihkan lengan dari matanya. Nora turun dari ranjang, mengambil blazer tanpa mengenakan. Obat diletakkan di atas meja, sebelum ia pergi meninggalkan kamar luas Grey tanpa lagi berpamitan. Sepertinya, lelaki itu tak memerlukan obat tidur sekarang, karena rasa kantuk juga telah menyerang. Mungkin, karena pelepasan didapat dari Laura, bersama tenaga terkuras untuk menerobos kesempitan membuat susah.
***
Pagi hari menjelang, mentari menyeruak ke dalam kamar, menembus tirai hitam terpasang. Laura terbangun dari tidurnya, ia melihat ke arah jam analog dalam kamar mewah ditempati, sudah pukul delapan dan ia bergegas duduk. Sakit. Entah mengapa miliknya dan juga sekujur tubuh begitu sakit, bercampur rasa lelah. Laura menoleh pada meja kecil samping ranjang, meraih segelas air putih dan meneguknya sampai tuntas.
“Kau bahkan baru bangun jam delapan?! Apa kau pikir, dirimu itu ratu?!” terdengar suara bernada dingin, Laura menumpahkan minuman sudah memasuki mulut. Dia menoleh pada sumber suara, di sana ada Grey yang duduk pada sebuah sofa, melipat kaki dan bersandar punggung.
“A-apa yang Anda lakukan di sini?” Laura menyambar selimut, menutupi tubuhnya. Dia memakai lingerie hitam, tak ada pakaian untuk tidur setelah semalam ia memakai itu dan datang ke kamar Grey, tapi tak menemukan siapa-siapa.
“Kamar ini bagian dari rumahku!” jawab lelaki itu. “Mandikan aku!” berdiri, kimono hitam sutra dilepaskan olehnya.
Laura menelan ludah, tubuh itu ternyata sangat indah. Kekar, berotot, dihiasi tato sayap pada dada. Luar biasa, kulitnya pun terlihat sangat bersih. Ah, tidak. Ada bekas luka mencolok mata pada bagian perut samping, Laura menyipitkan mata untuk mengamati. Itu seperti luka benda tajam, mungkinkah jika itu luka dari sebuah peluru? Entahlah, tak mampu kedua mata hazel Laura memastikan dari jarak lumayan.
“Kau tuli?!” tegur Grey memecah pengamatan Laura.
“Ti-tidak!” cepat perempuan itu menjawab.
“Lepaskan semua pakaianmu dan susul aku ke kamar mandi! Hanya dua detik! Terlambat, kau akan mati dimakan buaya-buaya peliharaanku!” katanya, mendahului ke kamar mandi.
Laura cepat menyingkap selimut, berlari menuju kamar mandi, meski nyawanya belum terkumpul. Tentu saja dia tak ingin dihabisi buaya, setelah mendengar bagaimana kejamnya lelaki itu. Ya, Laura sudah banyak mencari tahu tentang Grey dari pelayan yang membantunya bersiap, itu membuat bulu pada sekujur tubuhnya berdiri.
Bagaimana tidak, lelaki itu terkenal tak berperasaan, dan siapa pun yang berani melawan, tak pernah segan dilemparkan pada binatang-binatang buas kesayangannya. Paling mengerikan didengar, adalah lelaki itu justru menyaksikan dengan mata terbuka lebar, tanpa mengernyit sedikit pun.
Laura menggeser pintu kamar mandi, berdiri tak jauh dari bath up tempat tuan muda itu sudah merendam tubuh. Grey mengamati pakaian Laura, pakaian yang telah dilupakan bersama rambut acak-acakkan.
“Kau tak mendengarku? Bukankah aku katakan harus melepas pakaian lebih dulu?” menatap Laura.
“Ah, i-iya. Maaf,” jawab perempuan yang langsung mengamti tubuhnya sendiri.
“Mandilah di sana, puaskan dirimu dan buat aku bernafsu!” perintah Grey, mengarahkan tatapan pada shower.
Laura menoleh pada arah sama, tapi dia tak memahami perintah. “Maksudnya?”
“Mainkan tubuhmu sendiri, kalau kau berhasil klimaks dan membuatku menginginkan tubuhmu, lima puluh juta akan kuberikan hari ini! Bukankah aku terlalu baik padamu?” kata lelaki itu, namun belum juga mampu dipahami oleh Laura.
“Remas dadamu, masukkan jarimu pada milikmu, buat tubuhmu merasakan klimaks seperti apa yang aku lakukan padamu kemarin! Kau masih tidak mengerti?! Apa kau sangat bodoh?!” tajam Grey.
Laura tersentak dengan penjelasan diberikan, bagaimana mungkin dia melakukan hal itu seorang diri, sangat memalukan. Namun, uang lima puluh juta kembali membayangi, bersama suara tangis ibunya mengisi telinga tentang kondisi sang ayah yang butuh segera diobati.
“Baiklah,” pasrah Laura.
Dia berjalan tanpa keinginan ke arah shower, Grey mengiringi dengan tatapan tertuju pada kaki serta lekukan tubuh terlihat menerawang dari pakaian tipis dikenakan. Perempuan itu mengalihkan langkah, lebih dulu ke wastafel untuk mencuci wajah dan membersihkan gigi.
Ah, dia jijik dengan tubuhnya yang terbuka. Sama seperti semalam yang tak ingin ditatap olehnya, apa lagi bekas-bekas tanda merah yang terus mengingatkannya pada kebuasan seorang Grey. Lelaki yang entah di mana letak hatinya, hingga meninggalkan kesakitan luar biasa pada tubuh, benda sensitif juga hatinya.
Grey meneguk red wine, menyandarkan kepala pada ujung bath up. Terpejam sejenak kedua mata, hadir sosok yang kerap diinginkan untuk disentuh oleh tangannya. Siapa lagi jika bukan Nora, wanita yang masih membuatnya penasaran akan penolakan diberikan, serta kesetiaan yang selalu diagungkan.
“Cih! Tidak ada manusia setia di dunia ini, semua hanya karena harta! Cinta? Keparat untuk semua itu!” kata Grey.
Ya, dia tak mempercayai cinta, hubungan apa lagi kesetiaan. Semua tentang harta, yang lebih melimpah dan memancing untuk dimiliki. Tak berbeda dari ibunya, yang meninggalkan rumah hanya demi lelaki kaya raya, saat Grey masih berusia lima tahun dan ayahnya belum memiliki segudang harta seperti sekarang.
Bukan anak bodoh yang tak bisa mencerna keadaan, bukan manusia pelupa hingga mampu menghilangkan peristiwa hari itu dari ingatan. Grey mengingat dengan baik, Grey menanamkan kuat dalam ingatan dan menjadikan itu sebagai pola pikirnya memandang kehidupan, sehingga tak pernah mau untuk menjalin sebuah hubungan dengan nama jelas mengikat.
Gemercik air membuyarkan fantasi gila Grey, dia menatap lurus ke depan, di mana Laura sudah mengguyur tubuh. Namun, dia tak melepaskan lingerie menutupi tubuh, membiarkannya turun basah. Grey menggigit ujung kanan bibir bawah, tatkala gaun tidur seksi itu basah dan membentuk lekukan indah.
“Sial! Kenapa tubuhnya jauh lebih indah seperti itu?” gumam Grey, mengatakan apa yang tak pernah ingin diloloskan dari bibir merah alaminya.
Grey memiringkan kepala ke kanan, ingin ia menyaksikan tubuh bagian depan yang seolah betah disembunyikan, dan hanya dipertontonkan pada dinding saja. Desir hawa panas menyerang dari dalam tubuhnya, adik manisnya sudah mulai bereaksi, menatap keindahan terpampang nyata, seakan adik kesayangan yang siap muntah itu telah mengingat bagaimana rasa didapat kemarin.
“Oh, fuck! Bagaimana bisa dia membuatku bereaksi lebih cepat?!” umpatnya.
Jelas saja ia mengumpat, karena baru dengan bagian tubuh belakang sudah berhasil memancing hasrat. Padahal, sebelum ini selalu saja perempuan-perempuan lain bekerja keras, demi bisa memancing gairah bercintanya.