Grey menyusul Noah, bocah itu sudah digendong oleh bodyguard tanpa mau berjalan sendiri, di atas tanah cukup basah, karena hujan memang mengguyur beberapa waktu lalu dengan deras. Mata tajamnya mengamati sekitar, terlalu banyak pepohonan di sekitar rumah yang membuatnya ragu untuk mendekat. "Ah, apa ini pantas disebut rumah?" gumam Grey, memata-matai bangunan kecil yang menurutnya tak layak.

Dinding di depan sudah usang, catnya tak dapat dipastikan jelas apa warnanya. Ada lumut menghiasi bagian dinding bawah, atap pun disaksikan tak begitu kokoh dan siap roboh kapan saja. Belum lagi, aroma yang menusuk indera penciumannya, seperti limbah pabrik. Mungkin, aroma itu terbawa angin, bercampur dengan khas wangi petrichor, namun tak mampu menenangkan jiwa seperti biasa dihirupnya saat di taman rumah, berteman udara sejuk menyegarkan.

"Kau yakin rumah ini aman untukku? Kau sudah memeriksa atap dan sebagainya? Apa itu kokoh?" beruntun tuan muda dengan ekspresi ragu itu bertanya, pada bodyguard yang mengiringi langkahnya.

"Kami sudah memastikannya, Tuan. Tapi, tuan Damian tidak mengizinkan Anda juga tuan Noah berada di sini, kami sudah mempersiapkan rumah lain," pria bertubuh tinggi itu menjawab.