My Hot and Cool CEO
Penulis:Riezka Karisha
GenreRomantis
My Hot and Cool CEO
"Setelah kami mempertimbangkan berbagai hal. Kita sepakat. Yang akan mengisi puncak etalase pada acara Jakarta International Jewellery Fair ini adalah…." Lelaki paruh baya yang memakai kacamata tebal dan rambut penuh uban itu sengaja menggantung kalimatnya. Seketika suasana ruang rapat itu menjadi tegang dan bersuhu panas. Padahal, ruangan ini sudah berAC. "Bintang Jewellery Group," lanjutnya yang langsung membuat senyum kemenangan Axel merekah. Puluhan pemimpin perusahaan produsen berlian lain tampak bertepuk tangan dengan ekspresi takjub pada Axel yang kini berdiri dan membungkukkan badannya sejenak. Perusahaan Axel memang sudah tidak bisa diragukan lagi. Mereka terkenal dengan kualitas dan model yang sangat bagus. Sehingga tak mungkin sulit mereka saingi. Namun, diantara mereka semua yang tampak legawa. Justru laki-laki yang duduk bersebrangan dengan Axel terlihat sangat tidak suka. Bahkan, ia tersenyum kecut sambil bertepuk tangan tak ikhlas melihat Axel dan lelaki paruh baya tadi bersalaman.
"Terima kasih atas kepercayaannya, Pak. Saya berjanji akan memberikan model terbaik dan terunik untuk memeriahkan acara besar ini," ujar Axel sambil terus menjabat tangan keriput lelaki itu.
"Sama-sama. Kami pasti percaya akan hal itu," timpalnya. Mereka melepas genggaman tangan masing-masing. Kemudian Axel kembali duduk di tempatnya. "Baiklah. Saya kira pertemuan kita cukup sampai disini. Kami ucapkan terima kasih atas kerjasamanya dan sampai jumpa di Jewellery fair yang akan datang," pungkas lelaki tua itu. Kemudian ia langsung meninggalkan tempat itu.
Satu per satu orang-orang yang memenuhi meja rapat mulai meninggalkan tempat itu. Hingga akhirnya menyisakan Axel dan lelaki yang duduk di seberang mejanya. Ia menatap Axel dengan tatapan dingin. Sedang Axel membalasnya dengan senyum penuh kemenangan.
"Jadi, apa kita perlu merayakan kekalahan elo yang ke seratus sembilan puluh sembilan?" tanya Axel dengan nada mengejek.
"Heh." Lelaki itu tersenyum sekilas. Sambil memalingkan wajahnya sebentar.
"Tinggal satu kekalahan lagi. Loe akan menikmatinya dalam angka genap dua ratus kalinya. Hahahaha." Axel tertawa sangat puas pada rival bisnisnya itu.
"Baiklah. Kalau begitu mari kita adakan pesta kecil untuk menyambut hal itu. Karena pada kesempatan berikutnya. Gue yang akan menang dan akan merayakannya dengan pesta yang sangat besar dan mewah," sesumbar lelaki itu.
"Hahahaha. Jangan konyol Milano. Baik sekarang maupun nanti. Loe nggak akan pernah bisa mengalahkan gue. Lihat saja tadi. Bahkan, Om loe sendiri lebih memilih gue daripada elo. Jadi, simpan saja mimpi indah loe itu untuk nanti malam. Hahaha," kata Axel meremehkan. Ia beranjak lalu memutar badannya untuk segera meninggalkan tempat itu. Tetapi, baru beberapa langkah ia kembali menghentikannya. "Oh, ya. Untuk tawaran loe tadi. Gue bakal dateng. Jadi, kirim saja pesan singkat dimana dan kapan perayaan kemenangan gue itu akan dilaksanakan. Oke?" tambahnya sebelum melanjutkan langkahnya.
Dug!
Milano menghantam meja di depannya dengan cukup keras setelah Axel pergi.
"Sialan loe! Awas aja gue pasti akan kasih perhitungan nanti," kata Milano dengan nada penuh amarah.
Di lain tempat Mel sedang menyuapi Sunandar dengan bubur ayam buatannya.
"Gimana, Yah? Enak?" tanya Mel dengan senyum yang terus mengembang.
"Enak sekali. Persis buatan ibumu dulu," balas Sunandar.
"Iya dong. Kan Mel bikinnya juga pakai resep ibu." Mel membalas sambil mengumpulkan sisa-sisa bubur ke tengah-tengah mangkuk di tangannya.
"Mel," panggil Sunandar yang reflek membuat Mel mengangkat kepalanya dengan tatapan penuh tanda tanya. "Ayah tau kamu baru saja gajian. Tapi, alangkah baiknya kalau kamu simpan saja sebagian uang kamu. Kamu kan juga butuh uang untuk menyenangkan dirimu sendiri. Jangan Ayah terus yang kamu pikirkan," ujar Sunandar dengan pelan. Mel semakin melebarkan senyumnya.
"Ayah. Mel nggak perlu apa-apa kok. Baju, sepatu dan tas Mel masih bisa dipakai untuk berangkat bekerja. Lagian di sana juga Mel harus ganti seragam waitress dan tas Mel harus masuk loker. Jadi, buat apa harus beli yang baru."
"Tapi, Mel–"
"Sudah, Yah. Ayah jangan khawatir. Mel tau kok yang terbaik buat Mel. Bagi Mel yang penting Ayah sehat. Mel pasti akan bahagia banget. Ya, udah nih satu suapan lagi." Mel mengangkat sendok yang tak terisi penuh. Lalu ia mengarahkan benda itu masuk ke dalam mulutnya. Ia tau betul Sunandar sangat suka bubur ayam. Apalagi buatan Mel. Makanya, Mel pun selalu memberikan menu itu saat dia baru gajian. "Hems. Mau tambah lagi?" tawar Mel setelah Sunandar menikmati sendok terakhir tadi.
"Nggak, Nak. Nanti biar Ayah ambil sendiri," timpalnya.
"Oke. Kalau gitu Mel bawa mangkoknya ke dalam dulu ya," pamit Mel seraya beranjak dari tempatnya bersimpuh.
Mel berjalan masuk ke dalam dapur yang kecil yang hanya diisi dengan peralatan masak sederhana. Hidupnya memang jauh dari kesan mewah. Rumah petak ini pun hanyalah rumah warisan dari neneknya.
Mel mencuci mangkuk itu sekalian agar tidak ada cucian yang menumpuk di wastafel. Ia sadar jika ia tak punya waktu untuk sekedar membersihkan tumpukan cucian kotor. Makanya untuk mengurangi waktunya terkuras. Ia menyiasatinya seperti itu.
Drrrrt. Dddrrtttt. Dddrrtttt.
Belum selesai membersihkan mangkuk tadi. Mendadak ponsel di dalam saku celananya bergetar hebat.
"Siapa sih yang nelpon? Iya. Iya. Bentar gue lap tangan gue dulu," gumam Mel sambil meraih lap tangan yang tergantung di rak piring di sebelahnya. Buru-buru Mel mengeluarkan gawainya. Kemudian ia segera menerima panggilan itu.
"Halo, Sel. Ada apa!" tanya Mel pada teman sejak Sekolah Dasarnya itu.
"Mel. Mel. Gue punya berita bagus banget. Dan gue yakin loe pasti akan melompat kegirangan setelah mendengar kabar ini," ujarnya dengan nada menggebu-gebu. Mel mengerutkan keningnya seketika.
"Memang ada berita apa sih sampai loe heboh gitu?"
"Alah. Gue yakin loe bakal lebih heboh lagi kalau udah denger ntar."
"Emang berita apa sih? Gue jadi kepo deh."
"Si Ezio Clay yang abis dapat penghargaan sebagai Aktor tampan terfavorit–"
"Ish. Itu sih gue juga udah tau. Kan gue nggak mungkin melewatkan acara dia sekalipun. Loe ingat itu, kan?"
"Iya. Gue tau. Tapi bukan itu masalahnya. Loe jangan asal potong-potong cerita gue dong," omel Selvi.
"Iya. Iya. Udah gue diem."
"Jadi, dia mau merayakan keberhasilannya di StarLight Lounge ntar malem," kata Selvi cepat. Kedua mata Mel pun langsung membulat sempurna.
"Apa?! Sumpah loe?! Loe nggak ada niat untuk ngeprank gue, kan?" tanya Mel setengah tidak percaya.
"Sumpah mati deh gue nggak ada niat buat ngerjain loe." Kalimat Selvi terdengar dengan sangat menyakinkan.
"Yeeey!" Mel langsung melonjak kegirangan. "Berarti kita bisa bertemu sama dia dong. Bisa ngajak foto bareng. Minta tanda tangan. Hahaha. Gue jadi nggak sabar deh," kata Mel antusias.
"Ya, iya. Makanya ayo kita ke salon! Gue harus ngerapiin rambut nih. Biar keliatan kece." Mel seketika terdiam. Wajahnya pun langsung terlihat muram. "Mel. Loe ikutan, kan? Ada Debi, Karina dan Salsa juga lho," tambah Selvi dengan nada lebih rendah. Ia tau betul bagaimana ekspresi wajah sahabatnya itu. Ia yang tau betul seperti apa Mel. Sudah dapat mengira-ngira apa yang kini menjadi kemelut di hati Mel
"Gue… gue nggak ikut deh, Sel. Kalian pergi aja," kata Mel lemah. Seperti yang Selvi tau. Mel selalu saja menahan diri untuk kesenangannya. Dia hanya memikirkan kesehatan ayahnya. Termasuk menggunakan sebagian besar penghasilannya untuk biaya terapi non medis Ayahnya. Padahal, sudah lama Sunandar menjalani terapi itu dan dia belum terlihat lebih baik sedikitpun. Selvi kerap memperingatkan Mel jika itu hanya terapi abal-abal. Tetapi, Mel bersikeras bertahan dengan terapi itu. Karena biayanya yang lebih murah dibandingkan dengan biaya ke Dokter.
"Ehems…. Gue juga nggak jadi deh. Kayaknya gue mau beli alat make up aja. Biar kita bisa barengan. Lagian, make up gue juga udah mau abis. Hehe." Selvi berusaha mengalihkan pembicaraan untuk menyenangkan hati sahabatnya itu. Mel pun tersenyum, meskipun setetes air mata tak terasa mengalir dari matanya begitu saja. Mel segera mengelap jejak air mata itu.
"Thanks ya, Sel."
"Iya tenang aja. Kalau begitu sampai jumpa nanti malam ya. Bye."
"Bye." Tut. Sambungan terputus. Mel masih berdiri di tempat itu hingga beberapa saat. Ia hanya mematung dengan pandangan yang menerawang jauh entah kemana.
"Mel," panggil Sunandar yang ternyata sudah berdiri di belakang Mel. Reflek Mel terkejut. Lalu ia segera menoleh ke sumber suara.
"Ayah."
"Kenapa kamu melamun disini? Ada yang sedang kamu pikirkan?" tanya Sunandar heran.
"Enggak kok Ayah. Ehms…. Kita ke depan aja yuk! Nonton tv. Kayaknya ntar Mel berangkat lebih awal deh," kata Mel sambil mendorong kursi roda itu keluar dari ruangan itu.
"Kenapa? Ada yang bikin acara lagi disana?"
"Iya. Dan Ayah pasti kaget siapa orangnya."
"Memang siapa?"
"Ezio Clay. Artis favorit Mel, Yah."
"Wah. Yang bener. Kamu pasti senang sekali ya?"
"Heeh."
***
Dengan wajah berseri-seri Mel datang ke tempat kerjanya. Namun, senyumnya mendadak luntur. Tatkala ia merasa dirinya yang paling jelek. Ia memang tidak melakukan persiapan apapun untuk menyambut kedatangan artis tampan yang menjadi idolanya itu. Bahkan, Mel juga belum dandan sama sekali. Sambil menggenggam erat tali Sling bagnya yang sudah usang. Mel berjalan ke arah pintu karyawan. Ia sengaja tak menyapa teman-temannya karena minder. Selvi yang mengetahui hal itu langsung menyusul ke dalam ruangan yang sama.
Mel segera membuka lokernya. Lalu segera meraih seragam dan menyimpan tas tadi. Tak lupa sebelum menutup pintu loker ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berisi lipstik, baby cream, bedak dan parfum. Kulit wajahnya yang putih dan bersih alami memang tak membuatnya pusing harus menggunakan foundation atau bedak dengan kualitas tertentu.
Setelah selesai mempermak penampilan sebisanya. Mel keluar dari ruang ganti. Ia pun terlonjak kaget saat berpapasan dengan Selvi di depan pintu masuk ruangan itu.
"Sel. Ngapain loe disini?"
"Nih! Kali aja loe perlu!" ujar Selvi sambil menyodorkan kotak make-upnya yang terisi penuh.
"Thanks, Sel. Kayaknya gue mau gini aja deh," tolak Mel mantap.
"Yakin?"
"Heems."
Waktu pun berlalu. Akhirnya jam yang dinantikan oleh Mel datang juga. Ia dan para waitress cewek lain yang tidak sedang melayani pengunjung berkumpul di sudut ruangan untuk mengintip teman-teman Ezio yang mulai berdatangan.
Di sudut ruangan lain, tampak Axel berjalan masuk ke dalam sebuah Lounge dengan diikuti oleh dua orang bodyguard di belakangnya. Ia sengaja menyewa jasa kedua orang berbadan kekar itu untuk mengawasi pertemuannya dengan Milano malam ini. Tentu saja Axel merasa was-was harus menemui rival bisnisnya yang licik itu seorang diri. Sampai di depan pintu kaca hitam bertuliskan VIP Room. Axel menghentikan langkahnya.
"Kalian tunggu disini saja. Jika saya panggil. Segera masuk ke dalam!" titah Axel.
"Siap, Bos!" balas keduanya bersamaan.
Axel masuk ke dalam ruangan itu seorang diri. Ia sempat terkejut melihat Milano disana bersama dua wanita cantik nan Sexy.
"Nah, ini dia jagoan kita. Come on Axel! Jangan sungkan-sungkan!" sambut Milano saat melihat Axel datang. Axel yang terdiam sejenak kembali melanjutkan langkahnya setelah menghembuskan nafas beratnya.
"Ngapain loe ajak mereka?" tanya Axel dingin sambil menunjuk kedua gadis itu tanpa sungkan.
"Hahaha. Ayolah Axel! Kita bukan anak kecil lagi. Masak nggak tau yang beginian sih?" balas Milano tanpa dosa. Ia tersenyum licik sambil memandang wajah bingung Axel. "Ya, udah. Karena kita sudah ada disini. Ayo! Kita rayakan kemenangan loe tadi siang!" Milano menuangkan wine ke dalam gelas yang masih kosong sebelum menyodorkannya pada Axel. Mau tak mau Axel langsung menerima benda itu dan menenggaknya sampai habis. "Ayo, Axel! Rileks aja! Kita habiskan malam ini dengan bersenang-senang. Hahaha!" Milano kembali menuangkan wine ke dalam gelasnya dan gelas Axel lagi.
Di tempat pengintaian Mel. Teman-teman gadis itu semakin berkurang. Karena harus bertugas melayani pengunjung yang semakin padat. Hanya tersisa Mel, Selvi dan Salsa.
"Lihat dia! Ganteng banget!" gumam Salsa.
"Untungnya dia nggak reservasi ruang VIP ya. Kan kita jadi nggak bisa liat wajah tampannya," balas Selvi.
"Heems. Untungnya, dia minta Sam yang melayani mereka. Coba kalau gue! Pasti tangan dan kaki gue udah gemetaran deh," ujar Salsa lagi. Sedangkan Mel lebih memilih untuk diam. Matanya terus mengawasi sosok Ezio yang biasanya hanya bisa dilihat di layar kaca.
"Rasanya kayak mimpi deh," gumam Mel lirih. Sungguh ia ingin sekali mendekat. Andai dia punya rasa percaya diri yang lebih.
"Ciyeee! Loe pasti lagi ngebayangin kenalan sama dia ya?" goda Selvi.
"Kenapa tadi loe menolak melayani pesanan dia? Kan loe bisa minta tanda tangan dia," timpal Salsa.
"Gue nggak PD ngelakuin itu." Baru saja menyelesaikan kalimat itu. Mata Mel tak sengaja melihat Sam hendak mengantarkan minuman untuk Ezio lagi. Tepat di saat itu ada seorang teman perempuan Ezio yang tampak mencegat jalan Sam. Ia tampak berbisik di telinga Sam sesaat. Lalu ia mengeluarkan sebuah bungkusan plastik kecil dari saku dress-nya yang sangat ketat. Setelah melihat kiri kanan ia membuka bungkusan itu dan memutar sedotan di dalamnya. Sam segera melanjutkan langkahnya. Kemudian masih dalam pengawasan Mel ia memberikan gelas tadi pada Ezio. Tak lama setelah Sam pergi Ezio pun mengangkat gelas itu lalu berniat meneguk isinya. Namun, Mel segera berlari mendekat secepat mungkin.
"Jangan!!!" teriak Mel. Reflek Mel merebut gelas itu lalu meminumnya sampai habis. Ezio dan teman-temannya kaget, tapi hanya bisa terdiam sambil menatapnya bingung. Mel segera mengusap mulutnya yang sedikit basah. "Maaf, Tuan. Saya akan ganti minumannya segera," kata Mel. Kemudian ia segera berlari meninggalkan Ezio dan kawan-kawan yang belum ngeh dengan kelakuan Mel. Bahkan, Ezio sampai berdiri dari tempat duduknya sambil menatap punggung Mel menjauh.
"Dia kenapa?" tanya teman Ezio yang ikutan berdiri.
"Gue juga nggak tau," balas Ezio tanpa merubah pandangannya. Sedang si cewek yang menaburkan serbuk tadi langsung cemberut. Dia ingin sekali memakai Mel, tapi dia tau hal itu tak mungkin ia lakukan sekarang.
"Biar gue kasih pelajaran!" ujar cewek itu sambil beranjak.
"Nggak perlu!" cegah Ezio.
"Tapi, Zi–"
"Sudah!" bentak Ezio. "Minuman kita masih banyak," tambahnya. Kemudian kembali terduduk, tapi matanya belum berpindah dari arah kepergian Mel.
"Mel! Mel!" panggil Salsa dan Selvi sambil mengejar Mel berlari ke dapur.
"Loe kenapa tadi minum minumannya si Ezio?" tanya Selvi penasaran. Belum sempat menjawab tiba-tiba Manager mereka datang.
"Eh, kalian! Ngapain pada ngumpul disini? Cepat keluar! Banyak pengunjung berdatangan tuh!" titahnya.
"Baik, Pak," ujar ketiganya bersamaan. Mel yang tak mau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pun bergegas meninggalkan mereka untuk melanjutkan tugasnya.
Sepuluh menit kemudian Mel merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Mendadak ia merasa panas dingin, dadanya pun berdegup sangat kencang dan pikirannya mulai membayangkan hal-hal jorok. Mel menghentikan gerakannya sesaat saat melihat pangkal paha pelanggannya yang sebenarnya masih memakai celana jeans cukup tebal.
"Ada apa?" tanya lelaki itu yang langsung membuat Mel tersadar.
"Tidak, Tuan," balasnya. Mel segera melanjutkan gerakannya untuk meletakkan gelas ke depan pelanggan tadi. "Saya permisi dulu." Dengan cepat Mel meninggalkan tempat itu. Karena efek obat itu sudah semakin bekerja. Dia tau betul apa efek obat itu, makanya ia tak mau melakukan hal-hal bodoh di depan pelanggannya ataupun teman-temannya. Makanya, Mel terus berlari ke arah toilet yang paling jauh dari dapur.
'Sialan! Itu pasti obat perangsang. Makanya badan gue jadi kayak gini,' batin Mel sambil terus berlari. Entah mengapa bagian-bagian sensitif pada tubuhnya seakan meminta untuk disentuh. Mel pun semakin tak kuat menahan gejolak dalam dirinya itu. Makanya tanpa pikir panjang ia langsung masuk ke dalam sebuah toilet. Ia masuk ke salah satu toilet yang kebetulan sedang kosong itu. Di balik pintu yang tak ia tutup sempurna. Dengan polosnya Mel menempelkan tubuhnya di dinding marmer itu. Berharap tubuhnya yang terasa panas akan segera terobati.
Di tempat lain Axel juga merasakan hal yang aneh pada tubuhnya. Dia sering minum wine dalam jumlah besar, tapi rasanya efek minuman itu tak seperti ini. Berulang kali Axel menggerakkan kemejanya pada bagian kancing paling atas. Untuk memberikan hawa sejuk di tubuhnya. Namun, hal itu ternyata tidak berpengaruh banyak. Tubuhnya masih terasa semakin panas. Bukan seperti panas terbakar, tapi panas menggelora. Ada perasaan yang menggebu-gebu dalam jiwanya.
Milano melirik Axel dengan senyum liciknya. Ia segera memberikan kode pada kedua gadis itu untuk menggoda Axel.
"Eh, Cel. Gue keluar bentar ya?"
"Loe mau kemana?"
"Ke toilet. Cuma lima menit kok. Nggak usah kikuk gitu dong. Santai aja," jawab Milano. Kemudian nyelonong pergi. Kedua wanita itu berpindah di samping Axel duduk.
"Kok diem aja sih? Kita kan bisa sambil ngobrol," ujar salah satu wanita itu sambil mengusap dada bidang Axel. Awalnya Axel menikmati sentuhan itu. Apalagi batang kenikmatannya mendadak terbangun dari tidurnya. Namun, seketika Axel menangkap tangan itu. Axel merasa ada yang aneh dengan sikap Milano.
'Sialan! Gue pasti dijebak!' batinnya. Ia pun segera menepis tangan wanita itu. Kemudian mendorong wanita yang lain Sebelum melewatinya untuk pergi.
"Ada apa, Bos?" tanya salah satu Bodyguard Axel saat melihat majikannya tampak sempoyongan.
"Cariin gue toilet terdekat! Dan pastikan tempat itu kosong!" titahnya.
"Baik, Bos!" Dengan sigap keduanya langsung bergerak sesuai perintah Axel. Mereka masuk ke dalam sebuah toilet. Lalu mengusir semua pengunjung yang ada di tempat itu. Sayangnya, mereka tak memeriksa bilik toilet paling ujung. Karena tak terdengar ada orang di dalamnya dan pintu tak tertutup rapat.
"Beres, Bos. Toilet ini sudah kosong," ujar salah satu Bodyguard memberi laporan.
"Bagus! Pastikan jangan sampai ada orang yang masuk ke dalam ruangan ini. Apapun yang terjadi dan apapun yang kalian dengar! Mengerti?!" kata Axel dengan nada penuh penekanan.
"Siap, Bos. Kami mengerti," timpal keduanya mantap.
Axel segera masuk ke dalam toilet itu. Ia yang sudah tidak tahan untuk mengeluarkan batangnya yang kian menegang. Segera membuka celana bahannya yang berwarna sama dengan jas yang dikenakan. Keringat dingin Axel semakin membasahi tubuhnya seiring dengan gerakan tangannya mengocok benda panjang nan berurat itu.
"Ah…. Sialan!" ujar Axel kesal. Karena ia tak kunjung mendapatkan titik klimaksnya. Axel kembali mengocok batangnya. Hingga tak pernah ia duga. Ada sepasang tangan lentik dari balik tubuhnya ikut memegang benda itu.
"Butuh bantuan, Tuan?" ujar seorang wanita dengan suara serak dan begitu mendayu.