My Hot and Cool CEO
Penulis:Riezka Karisha
GenreRomantis
My Hot and Cool CEO
Axel Nolan Xavier adalah pemimpin perusahaan Mega Jewelry Group. Sebuah perusahaan berlian terbesar di Indonesia. Sejak kecil ia dididik untuk bisa mengelola perusahaan itu oleh kakeknya. Karena, kedua orang tuanya sudah meninggal. Jadi, dialah yang harus secepatnya menggantikan posisi Ben Xavier yang sudah semakin tua. Karena terlalu banyak tuntutan untuk bisa mendapatkan kesempurnaan Axel nyaris tak bisa menikmati hidup untuk dirinya sendiri. Makanya, dia tumbuh menjadi lelaki perfeksionis dengan segala peraturan yang dibuatnya.
Termasuk untuk urusan wanita. Entah wanita seperti apa yang diinginkannya. Ia selalu saja merasa tidak cocok dengan puluhan wanita yang mengejarnya. Bahkan, dia selalu menolak perjodohan yang diatur oleh kakeknya sendiri. Padahal, wanita-wanita itu nyaris sempurna. Sudah cantik, pintar, elegan dan juga berasal dari keluarga terpandang. Tentu, hal itu yang biasa diincar oleh para kaum Adam. Namun, bagi Axel. Semua itu terlalu standar. Sampai-sampai ia merasa tak bergairah lagi untuk mendekatinya.
Malam ini entah untuk keberapa kalinya Axel makan malam dengan seorang wanita cantik cucu dari teman Kakeknya. Tentu saja, acara ini sudah dirancang dengan matang oleh si kakek tercinta. Hanya saja, Axel merasa tidak cocok dengan gadis ini sejak awal pertemuan mereka.
Padahal, tak hanya cantik, tapi gadis itu juga sangat elegan. Saking elegannya, wanita yang menggunakan dress Bodycon maroon yang menunjukkan salah satu pundak mulusnya itu, makan dengan durasi yang sangat lama. Seakan setiap satu sendoknya harus dihitung dulu berapa kali kunyahan. Sungguh, hal itu benar-benar membuat Axel menjadi bosan. Namun, ia tak bisa berbuat banyak. Karena wanita itu terus mengawasi sambil senyam-senyum tak jelas. Axel tak membalas senyuman wanita bernama Nagita itu sama sekali. Sejak awal perjumpaan ia hanya menatapnya dengan tatapan dingin dan tajam. Makanya, sangat heran melihat gadis itu yang tak masih saja tersenyum manis seperti itu.
Axel meletakkan sendok dan garpu di tangannya dengan posisi tengkurap. Lalu ia segera meraih tissue dan mengelap bibirnya yang sedikit berminyak.
"Maaf. Saya masih ada urusan lain. Terima kasih makan malamnya. Sampai jumpa," ujar Axel kemudian beranjak dari duduknya.
"Eh. Eh. Eh. Tunggu!" kata Nagita sambil menggapai tangan Axel. Lelaki itu hanya melirik sekilas. Tanpa berniat memutar sedikit pun. "Tunggu! Makanan aku kan belum habis. Bisa nggak kamu nungguin aku sebentar. Mau ya, please!" ujarnya dengan nada manja dan kedua tangan yang mengelendot di lengan Axel. Axel kembali menoleh sambil menunjukkan senyumnya. Namun, tangan kekarnya malah mengibaskan tangan gadis cantik itu dengan kasar.
"Sekali lagi maaf. Saya punya urusan lain yang lebih penting," timpal Axel ketus dan wajah datar. Kemudian ia balik badan untuk segera berlalu.
"Axel! Axel! Axel tunggu!" teriak Nagita hendak mengejar. Sayangnya langkah gadis itu harus tertahan oleh salah satu pelayan restoran.
"Maaf, Nona. Tapi, anda belum membayar pesanan anda," ujar wanita yang menggunakan seragam waitress itu. Nagita pun langsung mengurungkan niatnya. Ia menghentakkan kakinya ke lantai. Lalu kembali ke kursinya. Tak lupa ia segera mengeluarkan ponsel pintar dari dalam tasnya yang bermerek asli keluaran Paris itu. Ia segera memencet layar pipih itu sebelum menempelkan di telinga.
"Halo, Kakek," ujar Nagita pada seseorang di seberang sana.
Sementara itu di luar restoran Axel berjalan menuju mobilnya. Saat langkahnya hampir mendekati mobil seorang lelaki yang sudah berdiri di samping mobil dengan sigap membukakan pintu untuk Axel.
"Sudah selesai makan malamnya, Pak," ujar lelaki itu.
"Udah," timpal Axel cepat. Sambil masuk ke dalam mobilnya. Lelaki tadi langsung menutup pintu mobil itu lagi. Kemudian ia menyusul masuk ke dalam lewat pintu depan. "Langsung ke Amora Cafe!" titah Axel dengan nada tegas.
"Baik, Pak," timpalnya. Sang sopir langsung menjalankan perintah dari sang majikan.
Tak lama berselang mobil Axel sampai di tempat yang dituju. Sang sopir langsung mengarahkan mobil yang dikendarainya ke teras Cafe. Belum sempat ia turun. Seorang pelayan yang sudah membukakan pintu untuk Axel.
"Selamat malam, Tuan," ujarnya menyambut kedatangan si pelanggan VIP sekaligus salah satu pemilik saham terbesar di Cafe ini.
"Malam," timpal Axel tanpa merubah ekspresi datarnya. Ia pun langsung melenggang masuk begitu saja. Seperti biasa, setiap Axel malas pulang atau ada masalah. Tempat ini selalu menjadi pelariannya. Ia ingin meminum beberapa gelas wine agar otaknya bisa melupakan omelan kakek yang akan segera didengarnya.
"Seperti biasa!" pesan Axel sambil duduk di depan meja bar.
"Siap, Tuan," balas si bartender. Seperti biasa ia pun segera menyiapkan sebuah white wine dari merk premium kesukaan Axel. "Silahkan, Tuan!" tambahnya sambil menyodorkan sebuah gelar wine yang sudah terisi. Tanpa membalas sepatah kata pun Axel segera meraih gelas itu lalu menenggak isinya hingga habis. Namun, belum sempat meletakkan gelas kecil itu mendadak ponselnya berdering dengan cukup kencang. Meskipun dengan gerakan berat, Axel tetap mengeluarkan benda itu. Lalu menempelkannya di telinga setelah menggeser gambar dial yang bergetar-getar.
"Halo, Kek. Ada apa?" ujarnya dengan nada malas-malasan.
"Ada apa kamu bilang?!" balas si kakek dari seberang sana. Axel reflek menjauhkan benda pipih itu dari telinganya sambil menutup kedua matanya dengan erat saat mendengar nada suara lelaki itu yang hampir memekakkan telinga. "Seharusnya, Kakek yang bertanya padamu. Kamu ini kenapa, hah?! Kenapa kamu tinggalkan Nagita sendirian di restoran? Kamu nggak kasihan pada Kakekmu ini yang menanggung malu sama keluarga Nagita?" lanjutnya dengan nada emosi. Axel menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
"Aku kan sudah bilang, Kek. Aku ada acara lain sekarang. Kakek sih maksa aja buat aku dateng," balas Axel membela diri.
"Cih. Selalu saja itu yang jadi alasanmu. Memangnya urusan apa yang kamu maksud, hah?! Kantor? Kamu pikir Kakek bisa kamu bodohi. Kakek tau betul kamu nggak ada jadwal ketemu klien malam ini. Jadi, mau alasan apalagi kamu, hah?!" kata Kakek dengan nada tinggi. Axel hanya tersenyum kecut.
'Ish. Sialan! Kakek pasti udah menghubungi si Rendi,' batin Axel kesal.
"Kakek benar-benar tidak tau apa yang ada di otak kamu, Sel. Kamu sudah tau kan kalau Kakekmu ini sudah tua. Umur Kakek sudah tidak lama lagi. Kakek hanya ingin melihat cicit Kakek saja rasanya susah sekali. Kakek hanya ingin memastikan generasi keluarga Xavier itu berkualitas dan bisa melanjutkan bisnis keluarga dengan sebaik-baiknya. Kamu mau melihat Kakek mati sebelum mencapai cita-cita Kakek?"
"Bukan begitu, Kek. Cuma…."
"Cuma apa? Kamu cari cewek sendiri nggak becus. Dijodohin banyak alasan. Lalu mau sampai kapan kamu melajang, hah?! Kamu memang sudah tidak sayang lagi sama Kakek?"
"Kek. Dengerin Axel dulu dong. Axel bisa cari cewek sendiri. Kakek nggak perlu jodoh-jodohin Axel begini. Malu tau!"
"Ya, udah. Kalau kamu memang bisa cari cewek sendiri. Buktikan dong! Kakek kasih kamu waktu tiga bulan ini. Kalau kamu tidak bisa membawa calon istri kamu ke rumah. Mending Kakek jual semua harta Kakek. Lalu Kakek sumbangkan ke Badan Amal Nasional. Biar kamu tau rasanya hidup melarat!" Tut. Sambungan pun terputus. Axel menatap layar ponselnya yang sudah mati.
"Ish. Marah-marah aja nih Kakek-kakek," sungut Axel pada benda pipih itu. Ia menatap benda itu sesaat. Kemudian bergumam sejenak. "Tapi, kayaknya dia nggak main-main kali ini. Sialan!" gerutu Axel tak jelas.