CINTA SATU MALAM DENGAN CEO
Penulis:Author_kan
GenreRomantis
CINTA SATU MALAM DENGAN CEO
Keheningan menguasai salah satu meja di dalam kantin rumah sakit.
Seorang wanita terlihat menatap lekat sosok lelaki di hadapannya yang hanya diam sejak tadi tanpa berniat memulai percakapan.
'Sebenarnya dia mau ngomong apa, sih?' batin Lina bertanya-tanya.
Sudah berlalu beberapa menit sejak mereka memasuki kantin rumah sakit. Tapi, tak ada percakapan sejak tadi.
Malah pria di hadapannya itu hanya diam dengan kepala menunduk. Terlihat takut untuk mendongak dan menatap wajah Lina.
'Apa yang harus aku katakan?' Karan terus bertanya tanpa henti. Ia memejamkan mata frustasi.
Karena tak ingin Bosnya diganggu, tanpa persiapan ia mengajak wanita di hadapannya itu untuk berbicara empat mata.
Dan, sekarang Karan bingung ingin mengatakan apa untuk memulai percakapan.
Karan adalah pria pemalu, seumur hidupnya ini kali pertama dia mengajak wanita duduk berdua.
Sejak kecil Karan hanya berteman dengan buku, menghabiskan waktu remajanya dengan terus belajar demi bisa mengubah kehidupan keluarganya.
Dia berhasil melakukannya, tapi akibatnya Karan tak tahu caranya berdekatan dengan wanita.
Ia sangat buta akan hal itu.
Jangankan berbicara, pegangan tangan pun tak pernah.
Dan, selama 5 tahun terakhir menjadi sekretaris Arthur, waktu luangnya semakin tak tersisa.
Hanya dokumen yang menemani dirinya sepanjang hari serta menemani Bosnya ke sana kemari.
Hingga membuat kedua orang tuanya khawatir, takut anak laki-laki mereka mengambil jalan yang salah karena terlalu lama bersama dengan Arthur dan tak bisa menyempatkan waktu untuk pendekatan dengan seorang wanita.
"Sebenarnya apa yang ingin Anda katakan?" Tanya Lina akhirnya.
Lina jengah dengan keheningan mencekam itu, membuat ia mau tak mau buka suara lebih dulu.
Seketika Karan mengangkat wajahnya yang tertunduk. Pria itu tersenyum, seolah mendapat pencerahan.
"Ah, i-i-itu..." Mendadak suara Karan bergetar. Ia gugup setengah mati.
'Jangan gugup bodoh! Jangan gugup!' batin Karan merutuki dirinya.
Kedua mata Lina mengerjap. Menghela napas pelan, lalu melipat kedua tangan di dada. Lina menaikkan sebelah alisnya, menanti ucapan pria yang terlihat begitu gugup di hadapannya.
"I-i-itu sa-sa-saya...."
Tuk!
Karan menjatuhkan kepalanya ke atas meja. Ia tidak sanggup, lidahnya keluh. Tubuhnya tak henti gemetar karena gugup yang sulit ia netralkan.
Padahal di depan rekan bisnis wanita yang kerap kali ia temui saat menemani Bosnya, Karan tak pernah segugup ini.
'Tolong aku, Tuhan.' batin Karan berdoa.
Pffft!
Karan sedikit mengangkat kepalanya. Mengerjap menatap wanita yang kini menunduk sambil menutup mulut.
'Nona ini kenapa?' Karan kembali bertanya dalam hati.
Sedang Lina mati-matian menahan suara tawanya agar tak terdengar. Tingkah pria di hadapannya itu sungguh sangat menggemaskan. Ingin sekali rasanya Lina mengulurkan tangan kemudian mencubit gemas pipi pria itu.
'Ya ampun, lucu sekali.' batin Lina berteriak gemas. Ia menggigit bibir bawahnya, lalu mencuri pandang ke arah Karan.
Sesaat Lina menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya.
"Perkenalkan, nama saya Lina. Kalau Anda?" Kini Lina mulai memperkenalkan diri. Kalau bukan dirinya, mungkin tidak akan ada percakapan di antara mereka hingga malam menjelang.
Seketika Karan menegakkan tubuhnya. Ia tersenyum canggung.
"Sa-saya Karan. Senang bertemu dengan Anda, Nona Lina," ucap Karan formal.
Kini raut wajahnya mulai terlihat stabil. Mencoba seprofesional mungkin, seperti saat bertemu dengan rekan bisnis Bosnya.
Lina mengangguk mengerti. "Lalu, hal apa yang ingin Anda katakan tadi?"
"Itu... Maaf, tapi sebenarnya tak ada hal penting." Karan mengalihkan pandangan ke arah lain. Menggaruk pelipisnya yang tidak gatal, ia malu untuk menatap wajah Lina setelah mengatakan hal itu.
Lina diam. Ia mengerjapkan mata bingung.
Jadi pria di hadapannya itu membawanya ke kantin rumah sakit dengan alasan ingin berbicara berdua, tetapi nyatanya tak ada hal yang ingin dikatakan?
Jadi, apa maksudnya?!! Lina bingung.
"Sebentar... Sebentar..." Lina menatap lekat pada sosok yang kini menghindari kontak mata dengannya.
"Jadi Anda membawa saya ke sini untuk apa? Hanya untuk duduk diam di tempat ini?!" Sentak Lina sedikit tak terima.
Dia bahkan menghentikan niatnya untuk mengejar Athena, tetapi ternyata pria itu tak ingin membicarakan apapun.
Bukankah ini membuang-buang waktunya?!
"Sa-saya minta maaf." Karan segera membungkuk ke arah Lina. Ia benar-benar tidak berniat untuk membuang-buang waktu wanita itu, tetapi jika tadi ia membiarkan Lina mengikuti Bosnya. Bisa-bisa bukan hanya dia yang kena amukan Bosnya yang mendadak temperamental beberapa hari ini, tetapi juga wanita di hadapannya itu.
Lina menghela napas gusar. Ia mengusap kasar wajahnya, menyandarkan punggung pada punggung kursi dengan tatapan datar ke langit-langit.
"Saya benar-benar minta maaf. Jika boleh tahu, apa hubungan Anda dengan wanita tadi?" Kini Karan memberanikan diri untuk bertanya.
Kembali Lina menegakkan tubuhnya, menatap lekat sosok yang terlihat menanti jawabannya.
"Dia sahabatku. Kami sudah seperti saudara. Karena Anda mengatakan ingin berbicara berdua, saya jadi mengurungkan niat untuk mengejarnya. Tetapi Anda..." Lina menggantung ucapannya. Ia menghela napas kasar.
"Soal itu... Anda tidak perlu khawatir. Saya yakin, sahabat Anda akan baik-baik saja." Ucap Karan tersenyum manis.
Sesaat Lina terpesona. Bagaimana mungkin ada pria tampan dengan senyum begitu manis seperti ini?
Lina segera menggeleng, ia harus menyampingkan pikiran anehnya.
"Bagaimana Anda bisa seyakin itu?" Lina balik bertanya. Wajah pria yang menarik lengan sahabatnya tadi terlihat tak sebaik itu.
Kekehan pelan terdengar keluar dari bibir Karan.
"Soal itu, karena saya cukup mengenal pria yang tadi membawa sahabat Anda. Dia pria yang baik, jadi tidak akan melakukan hal aneh." Ujar Karan, tapi di sisi hatinya mulai ragu akan ungkapannya itu.
Sementara di tempat lain.
Athena terus tersenyum menanggapi ucapan dua wanita di hadapannya yang terlihat begitu antusias terhadap dirinya.
"Bagaimana kamu bisa mengenal anak keras kepala itu, Sayang?" Tanya Hera Davidson, Ibu Arthur.
Athena tetap tersenyum menanggapinya. Sesekali melirik Arthur yang tengah duduk di sofa dalam ruangan itu, sedikit jauh dari dirinya yang tengah duduk di kursi samping Brankar.
"Cucuku yang nakal itu tidak melakukan pemaksaan padamu, 'kan?" Kini Oma Grace angkat bicara. Wanita paruh baya itu tidak percaya pada cucunya yang berhasil meluluhkan hati wanita cantik di hadapannya.
Dengan segera Athena menggelengkan kepalanya, "tidak sama sekali. Arthur tidak memaksa sama sekali, Nyonya."
Oma Grace memajukan bibirnya beberapa centi. Cemberut mendengar Athena memanggilnya 'Nyonya'.
"Jangan panggil Nyonya, Sayang. Panggil Oma," ucap Oma Grace.
Sesaat Athena tersenyum canggung, ia ragu.
"I-iya, Oma." Ucap Athena akhirnya, membuat wanita paruh baya itu tersenyum.
"Kalau begitu, aku juga." Sahut Hera tiba-tiba, "panggil Mama, oke."
Hera tampak antusias menari Athena memanggilnya 'Mama'.
"I-iya, Ma."
Seketika wanita setengah baya itu memeluk erat tubuh Athena. Ia sangat senang.
Sedang di sofa dalam ruangan tersebut, dua orang pria hanya mampu terdiam menatap interaksi tiga wanita di sana.
'Aku pikir Mama atau Oma tidak akan suka, ternyata mereka bahkan lebih menyukainya. Bahkan mengabaikan aku,' batin Arthur sedikit cemburu. Ia bagai anak terbuang.
"Di mana kamu menemukannya?"