CINTA SATU MALAM DENGAN CEO
Penulis:Author_kan
GenreRomantis
CINTA SATU MALAM DENGAN CEO
"Tuan." Tak ada jawaban.
"Tuan Arthur?"
Seketika tatapan tajam tertuju pada dirinya, membuat pria itu terlonjak kaget hingga mundur beberapa langkah dari tempatnya.
'Sepertinya suasana hati Tuan Arthur sedang tidak baik pagi ini,' batin Karan, mencuri pandang pada Bosnya yang kini menampilkan wajah masam.
Entah apa penyebabnya hingga Bosnya seperti itu.
Sedang Arthur melirik ke arah selembar uang 100 ribu yang ia temukan di atas meja di kamar hotel pagi ini.
Uang yang sengaja ditinggalkan oleh wanita yang menghabiskan malam dengannya.
Arthur mengusap kasar wajahnya. Kepuasan yang ia berikan semalam suntuk ternyata hanya bernilai 100 ribu rupiah di mata wanita itu?!!
"Sialan!" Umpat Arthur menutup wajahnya.
Tubuhnya gemetar menahan amarah. Selama 27 tahun hidupnya, baru kali ini ia dicampakkan oleh teman tidurnya. Itupun dibayar 100 ribu rupiah atas usahanya.
Biasanya, Arthur yang meninggalkan teman tidurnya lebih dulu setelah membayar dengan sejumlah uang.
Tapi pagi ini....
Sungguh Arthur tak dapat membayangkannya. Harga dirinya hancur tak tersisa karena wanita yang bahkan tak ia ketahui namanya.
Dia, CEO Harley Group Company. Pengusaha muda kaya dengan perusahaan yang terkenal di berbagai Negara, pewaris Tunggal Davidson Company.
Pagi ini ditinggalkan dan dibayar 100 ribu oleh teman tidurnya. Hingga rasanya harga dirinya hancur tak tersisa.
Jika hal itu diketahui oleh wartawan, mungkin akan menjadi trending topik dalam sekejap di media sosial. Bahkan mungkin wajahnya akan dipajang di majalah dan koran, jika benar itu terjadi. Mau ditaruh di mana muka tampannya?
"Sialan! Sialan!" Umpat Arthur yang kini memukul meja kebesarannya.
Kedua mata Karan mengerjap beberapa kali melihat hal tersebut. Dirinya ingin keluar dari ruangan itu, tetapi tak bisa.
Sudah berlalu beberapa menit sejak Arthur memanggil Karan, tapi pria itu tak juga memberi perintah pada pria berkacamata tersebut.
"Karan."
Seketika Karan tersentak di tempatnya. Ia melirik ragu pada Bosnya yang kini menatap tajam ke depan.
"Ya, Tuan." Sahut Karan, berusaha tetap tenang meski ludahnya terasa sulit melewati tenggorokan.
Sesaat Arthur diam. Ia menatap Karan yang kini menanti ucapannya.
Mendadak Arthur ragu. Ia mengalihkan pandangan ke arah lain.
Bagaimana jika sekretarisnya itu tahu, jika dia ditinggalkan oleh teman tidurnya dan dibayar 100 ribu?!
Arthur menghela napas panjang. Ia mengurungkan niatnya. Bisa hancur harga dirinya yang tersisa jika seperti itu.
"Tidak jadi." Ucap Arthur malas. Mengalihkan pandangan ke arah lain dengan ekspresi mengenaskan. Mau tak mau, dirinya yang harus turun tangan.
Sedang Karan mengerjap bingung. Karan semakin bertanya-tanya akan hal buruk yang menimpa Bosnya itu.
"Keluarlah." Titah Arthur, memberi isyarat pada Karan untuk keluar dari ruangannya.
Pria berkacamata itu mengangguk mengerti. Sedikit membungkukkan badannya sebelum berbalik mendekat ke arah pintu keluar.
Langkah Karan terhenti sejenak di ambang pintu. Ia menoleh ragu menatap Bosnya yang kini terlihat berpikir keras.
'Bos benar-benar aneh hari ini.' Karan membatin sebelum keluar dan menutup rapat pintu besar itu.
Sedang Arthur mulai berpikir semakin keras. Di dalam benaknya sudah terukir hal yang harus ia lakukan.
Dia harus menemukan wanita itu, bagaimanapun caranya.
Bahkan jika dia harus membayar banyak orang untuk mencari keberadaan wanita itu.
'Tunggu saja kamu, wanita tanpa nama!' geram Arthur dalam hati. Mengepalkan kuat kedua tangannya di atas meja.
Siang menjelang. Matahari mulai terasa menyengat di kulit.
Sosok cantik terlihat tengah berdiri di halte bus dengan menenteng dua keresek belanjaan.
"Ha'ah! Siang ini, kenapa begitu panas, ya?" Gumam Athena sedikit mendongak menatap langit biru tanpa ada awan putih yang menutupi matahari.
Siang ini Athena memutuskan membeli beberapa bahan makanan yang telah habis di supermarket dekat bangunan apartment.
Tapi, entah kenapa siang ini terasa lebih panas dari biasanya.
"Apakah nanti malam akan turun hujan?" Gumam Athena, kemudian menatap kanan dan kiri sebelum akhirnya menyeberang jalan.
Beberapa menit kemudian, kini Athena telah tiba di depan pintu unit apartmentnya.
Athena segera masuk, menatap dalam diam kondisi ruang tamu yang kosong melompong.
"Sepertinya Lina sudah pergi bekerja," gumam Athena saat tak lagi melihat batang hidung sahabatnya di sana.
Lina dan Athena memang tak tinggal di unit apartment yang sama. Hanya kadang-kadang sahabatnya itu akan menginap di apartmentnya.
Jika soal hubungan, Athena dan Lina adalah sahabat sejak kecil. Kedua orang tua mereka pun berteman. Jadi Lina dan Athena cukup tahu kehidupan pribadi masing-masing, bahkan yang terburuk sekalipun.
Athena memutuskan memasuki dapur. Mulai menyusun satu persatu belanjaannya ke dalam lemari pendingin.
Tiba-tiba, Athena tersenyum kecil di sela-sela kegiatannya. Ia menunduk menatap perut ratanya.
Tidak lama lagi ia bisa mengendong bayinya sendiri. Dia tidak sabar menantikan hal itu, meski Athena masih ragu.
"Bagaimana jika tidak membuahkan hasil?" Gumam Athena cemas.
Sontak ia menggigit kecil kuku ibu jarinya. Kebiasaan yang selalu ia lakukan saat hatinya tak tenang.
Kata dokter, bisa memastikan jika rahim berhasil dibuahi setelah berhubungan intim adalah seminggu. Lalu, bagaimana jika dalam seminggu tak ada bayi di dalam perutnya?!
Bulir keringat dingin terlihat di kening Athena. Segera ia menggeleng menghilangkan segala kemungkinan itu.
"Tidak bisa. Aku harus berpikir positif, pasti akan membuahkan hasil." Ucapnya tegas, mencoba untuk tetap berpikir positif walau sisi hatinya yang lain tak tenang.
Athena memutuskan kembali melanjutkan kegiatannya yang tertunda. Mengalihkan pemikirannya akan kemungkinan terburuk itu.
SEMINGGU KEMUDIAN.
Hiks! Hiks! Hiks!
Suara tangisan terdengar, membuat wanita yang tengah duduk di sofa ruang tamu, mengalihkan fokusnya menatap ke arah pintu dapur. Tepatnya kamar mandi di dapur.
Kedua mata Lina mengerjap beberapa kali. Sudah berlalu beberapa menit sejak sahabatnya itu masuk ke dalam sana, tapi bukannya teriakan kebahagiaan. Justru isakan yang ia dengar.
Lina beranjak dari duduknya. Memasuki dapur untuk memastikan keadaan sahabatnya.
"Thea, kamu baik-baik aja?" Lina membuka pintu kamar mandi. Tersentak melihat raut kesedihan di mata Athena.
Wanita itu terlihat bersimpuh di lantai kamar mandi sambil memegang erat testpack di tangan kanannya.
Athena terisak, lalu menangis keras membuat Lina segera mendekat lalu menepuk pundak wanita itu.
"Cup! Cup! Cup! Kenapa, Thea? Kok nangis?" Tanya Lina mencoba menghibur sahabatnya.
Athena tak menjawab. Ia hanya terisak, membuat hati Lina terasa teriris mendengar isakan itu.
"Negatif." Lirih Athena.
"Hah?" Lina membeo dengan raut wajah bingung.
Negatif?
Apanya?
Lina mulai bertanya-tanya, hingga tatapannya tertuju pada testpack di tangan Athena.
Wanita berusia 23 tahun itu menghela napas pelan. Itu toh maksudnya, pikir Lina.
"Ya, mau bagaimana lagi, Thea. Masa iya, kamu paksain garis satunya naik." Ucap Lina setia mengusap pundak Athena.
"Memang bisa?" Pertanyaan yang keluar dari bibir Athena, membuat Lina mematung dengan tatapan tak percaya.
'Pernyataan bodoh. Pernyataan bodoh!' Lina merutuki dirinya dalam hati.
"Ya, enggak bisalah. Kalau bisa gitu, mungkin udah banyak orang yang ke tipu." Ujar Lina, mencoba sabar. Ia lupa, sahabatnya itu terlalu polos untuk diajak bercanda.
Athena kembali sesenggukan mendengar hal itu. Ia tidak percaya jika hal itu gagal.
Lalu, apa yang harus dia lakukan sekarang?
"Apa mungkin testpacknya ragu, ya? Apa kita coba ke dokter aja?" Tanya Athena. Ia harus melakukan segala cara, mungkin saja testpack itu bermasalah 'kan?
Sedang Lina diam tak bisa berkata-kata.
Sekebelet apa temannya itu ingin memiliki anak hingga menjadi seperti ini?
"Ya, mana ada testpack bermasalah atuh, Thea?" Tanya Lina, ia harus mencoba sangat sabar jika berhadapan dengan temannya ini.
"Tapi, kalau kamu nekat ya udah. Kita ke rumah sakit buat periksa." Lina pasrah.
Wanita itu mengulurkan tangannya pada Athena, membantu sahabatnya untuk bangkit dan bergegas ke rumah sakit untuk memeriksa langsung ke dokter kandungan.
***
Sepanjang koridor rumah sakit, suara isakan Athena terdengar tanpa henti membuat beberapa orang yang berlalu lalang menatap penuh tanya pada wanita itu.
Sedang Lina hanya mampu berjalan bagai tak menyadari tatapan aneh orang-orang.
"Udah, Thea. Kalau gagal, kamu tinggal cari lagi orang yang mau jadi penyumbang kecebong." Ucap Lina pelan mengusap punggung sahabatnya.
"Hiks! Hiks! I-iya," lirih Athena.
Mereka berdua tiba di parkiran rumah sakit. Bersiap mendekat ke tepi jalan, tepatnya ke arah taksi yang mereka tumpangi tadi.
Kening Lina mengerut kala tiba-tiba langkah wanita di sampingnya terhenti. Lina menatap penuh tanya pada Athena yang kini diam menatap ke arah lain.
"Kamu liat apaan, Thea?" Tanya Lina, mencoba mengikuti arah pandang sahabatnya.
Hingga tiba-tiba Athena berlari meninggalkan Lina, membuat wanita itu terkejut.
"Hei, bisa kita bicara berdua?"
Pertanyaan itu terlontar membuat sosok pria mematung dengan mata terbelalak.