Pengantin Pengganti Sang CEO
Penulis:Gina Suartini
GenreRomantis
Pengantin Pengganti Sang CEO
Jas hitam yang Rudy kenakan semakin menonjolkan postur tubuhnya yang sempurna. Wajahnya yang cerah dan gagah membuat Esther sulit untuk mengalihkan pandangan darinya.
"Bisakah kamu berhenti menatapku? Duduklah untuk sarapan," ucap Rudy tanpa sedikit pun melihatnya.
Esther merasa malu ketika pria itu seakan mampu membaca pikirannya. Dia pun perlahan duduk di kursi sebelah kiri Rudy.
Sarapan yang tersaji sangat menggugah selera, namun Esther sudah merasa kenyang setelah menyantap semangkuk bubur. Saat dia meletakkan mangkuk dan sendok, dia menyadari bahwa Rudy tengah menatapnya dengan mengerutkan kening. "Kenapa kamu tidak menambah jam tidurmu? Kamu tidak perlu bangun sepagi ini," ucap Rudy.
"Tidak, menurutku aku sudah tidur dengan cukup," ucap Esther sambil menggelengkan kepalanya. Dia merasa sikap Rudy berbeda dari hari kemarin. Meskipun dia masih menjaga jarak, namun hari ini dia bersikap lebih sopan dan ramah. Sehingga Esther juga bersikap ramah saat mengobrol dengannya. "Sebelumnya aku telah meminta cuti selama tiga hari. Jadi hari ini adalah saatnya aku kembali bekerja."
"Bekerja?" tanya Rudy dengan bingung. Dia sama sekali tidak mengetahui bahwa wanita di sebelahnya ini memiliki pekerjaan, anak buahnya juga tidak memberinya informasi apa pun tentang hal ini.
"Iya, kerja!" Esther melihat jam dan berkata, "Aku hampir terlambat. Aku harus segera berangkat sekarang."
"Tunggu," ucap Rudy sambil berdiri dan mengancingkan jasnya. "Aku juga mau berangkat kerja dan kita menuju ke arah yang sama. Jadi biarkan aku mengantarmu," kata Rudy.
Arah yang sama? Pria itu bahkan tidak tahu di mana dia bekerja. Kenapa dia tiba-tiba ingin mengantarku?
Esther memiliki keraguan di benaknya, namun pria itu tetap bersikeras ingin mengantarnya. Setelah masuk ke mobil, Esther memberi tahu alamat tempat dia bekerja. Lallu dia pun bersandar di kursi mobil untuk beristirahat.
Rudy tidak berkata sepatah kata pun, tetapi dia memikirkan banyak hal di benaknya.
Alamat di mana Esther bekerja adalah alamat sebuah perusahaan periklanan yang terkenal di Kota Yasnaya. Meskipun perusahaan ini berukuran kecil, perusahaan ini memiliki masa depan yang cukup menjanjikan.
Sepengetahuannya, perusahaan ini tidak memiliki hubungan dengan keluarga Gauri sama sekali. Sehingga menimbulkan pertanyaan di benaknya, kenapa seorang Nona dari keluarga Gauri bisa bekerja di sana?
Kebetulan perusahaannya juga sedang bekerja sama dengan perusahaan periklanan itu. Jadi dia penasaran untuk tahu lebih jauh apa yang sebenarnya wanita itu ingin lakukan.
Esther "bangun" tepat pada waktunya, ketika mereka hampir tiba di alamat yang diberikannya. Dia meminta pria itu untuk menghentikan mobilnya di sudut jalan.
Dia tahu apa yang akan terlintas di benak rekan-rekannya jika mereka melihatnya turun dari mobil limusin, jadi dia ingin menghindari hal itu terjadi.
Rudy menuruti permintaan wanita itu tanpa banyak bertanya. Esther turun dari mobil dalam suasana hati yang ceria, lalu melambaikan tangannya kepada pria itu sesaat sebelum dia berjalan masuk ke gedung tempatnya bekerja.
Rudy heran, ini adalah pertama kali baginya melihat seseorang yang merasa senang saat pergi bekerja.
Kembali bekerja setelah cuti tiga hari membuat Esther sedikit malas. Dia berusaha menyemangati dirinya sendiri di depan pintu Perusahaan Periklanan Komandia.
Meskipun sekarang dia adalah seorang Nyonya Afif, namun dia bertekad untuk tetap bekerja sekeras yang dia bisa. Tak peduli apa pun yang terjadi dalam hidupnya, dia bersumpah pada dirinya untuk tidak akan pernah melepaskan pekerjaan yang disukainya ini. Pekerjaan ini merupakan satu-satunya sumber keuangan dan ketenangannya. Bagaimanapun, dia harus menanggung biaya pengobatan neneknya yang sedang sakit.
"Ri, akhirnya kamu kembali!" Sang manajer, Arya Kurniawan menyambutnya saat dia memasuki ruang kerja. Tiga tahun yang lalu dia bukanlah siapa-siapa di sini, namun sekarang dia adalah perencana iklan terbaik yang dimiliki perusahaan ini.
Dia memang bukanlah yang paling berpendidikan dan juga bukanlah yang paling patuh terhadap peraturan, tetapi yang jelas dia merupakan asisten Arya yang paling bisa diandalkan.
Esther terkejut melihat penampilan pria di depannya. Wajah pria itu kuyu dengan janggut yang seakan sudah sangat lama tidak dicukur. Esther hanya cuti selama tiga hari, namun melihat penampilan pria itu seakan dia sudah begitu lama tidak masuk kerja. Pria itu tampak kusut dan kelelahan didera oleh tumpukan pekerjaan.
"Kamu harus membantuku sekarang." ucap Arya sambil memegang tangan Esther seakan sedang memohon.
Dari penampilan dan bahasanya, Esther mengerti bahwa pria itu sedang menangani sebuah proyek besar. Meskipun seluruh perusahaan telah bekerja sama secara terpadu dan sudah melakukan revisi sebanyak lima kali, tetapi sang klien masih belum puas dengan rencana yang diajukan. Oleh karena itu, semua orang di perusahaan merasa frustrasi, dan Arya adalah orang yang perlu bertanggung jawab atas hal ini.
Arya sudah lama mendirikan perusahaan ini. Namun kegagalan ini merupakan yang pertama baginya.
"Siapa kliennya?" tanya Esther mengerutkan keningnya dengan penasaran.
"Siapa lagi kalau bukan Perusahaan Cemerlang..." Arya menghela napas kemudian melanjutkan. "Perayaan ulang tahun perusahaan akan diadakan pada tanggal 8 bulan depan dan kami merencanakan pesta anggur untuk perayaan itu."
"Perusahaan Cemerlang?" Bukankah itu perusahaan milik Rudy?
"Apakah pesta anggur adalah permintaan mereka?" tanya Esther dengan penasaran.
Sebagian besar perusahaan memang memilih untuk merayakan ulang tahunnya dengan cara ini. Pertama, karena ini akan menjadi sebuah acara pertemuan biasa. Kedua, makan malam yang menyenangkan adalah sebuah bentuk penghargaan bagi staf yang telah bekerja keras bagi kemajuan perusahaan. Namun, dia merasa ada kejanggalan ketika membayangkan Rudy dengan setelan jasnya; mengajak bersulang satu demi satu kelompok staf yang ada.
Itulah sebabnya dia mengajukan pertanyaan tersebut.
"Oh tidak. Mereka tidak memintanya." Dengan hat-hati Arya berusaha mengingatnya kembali. Mereka hanya meminta usulan rencana untuk perayaan itu, namun mereka tidak membatasinya pada pesta anggur itu saja.
"Baiklah, berikan dokumen perusahaan itu padaku. Biarkan aku membuat perencanaannya."
Arya pun mengucapkan terima kasih berkali-kali kepada Esther atas bantuannya. Tapi, jika perencana andalannya masih tidak mampu menemukan solusi untuk hal ini, maka dia akan dalam masalah besar.
Maka di hari pertamanya kembali bekerja, Esther sudah sibuk dengan rencana perayaan ini. Saking sibuknya hingga dia lupa untuk makan siang. Hingga Hanna pun menelepon untuk mengingatkannya akan hal itu.
Namun hal itu lebih seperti angin lalu.
"Esther, apa kamu sudah makan siang?" Hanna pura-pura bersikap seperti seorang ibu yang perhatian.
Jika saja Hanna tidak mendesaknya untuk menikahi Rudy kemarin, Esther mungkin masih akan tersentuh oleh perhatiannya. Tapi sekarang...
Rasa hormat dan sayang Esther kepada Hanna sudah hilang.
"Simpan perhatian itu untuk diri Ibu sendiri. Apa yang Ibu inginkan? Aku sedang sibuk saat ini."
"Apa? Kamu pergi bekerja sehari setelah pernikahanmu?" tanya Hanna.
"Bukankah memang seharusnya aku kembali bekerja setelah cutiku selesai?" cibir Esther. "Apakah menurut Ibu, Rudy akan memberikan uangnya kepadaku?"
"Itulah yang seharusnya dia lakukan, mengingat kamu adalah istrinya sekarang..." gumam Hanna.
Tapi Esther sedang tidak memiliki banyak waktu dan kesabaran untuk mendengarkan omong kosong dari Hanna, jadi dia menyela, "Sebenarnya apa yang Ibu inginkan? Kalau hanya ingin membicarakan ini, aku akan menutup telepon."
"Tunggu, tunggu, tunggu ..." Hanna berusaha menghentikan Esther agar tidak menutup teleponnya. Pada kenyataannya, Hanna sama sekali tidak peduli dengan Esther. Yang ingin dia ketahui hanyalah apakah Rudy akan menepati janjinya atau tidak. "Esther, karena kamu adalah istrinya sekarang, tolong tanyakan kepada menantuku tentang janjinya kepadaku. Kapan dia akan memenuhi janjinya? Nenekmu... tagihan medis untuk nenekmu harus segera dibayar..."
Begitu mendengar perkataan Hanna, Esther mengepalkan tangannya hingga ujung jarinya pucat. Namun Esther masih dapat mengendalikan emosinya dan berbicara dengan dingin, "Percayalah padaku, aku akan menepati janjiku. Tapi jika ada hal buruk yang terjadi pada nenekku, aku bersumpah akan menghancurkan segala yang kamu sayangi dalam hidupmu. Kamu bisa memegang kata-kataku."
Hanna menanggapi perkataan Esther dengan suara lembut. "Jangan khawatir tentang nenekmu. Bagaimanapun, dia adalah ibu mertuaku..."
Esther merasa kesabarannya telah habis hingga dia memutuskan untuk menutup pembicaraannya dengan Hanna.
Dulu dia pernah bermimpi untuk memperbaiki hubungan keluarga yang dimilikinya, namun sekarang dia tak mengharapkan apa pun lagi dari hubungan itu.