Rahasia Anak CEO
Anne keluar dari ruangan Hendrik dengan hati yang terluka. Ucapan Hendrik barusan benar-benar meruntuhkan seluruh harapannya yang selama ini sudah dia susun dengan rapi.
"Gugurkan saja kandunganmu kalau memang kamu sedang hamil!" Ucap Hendrik.
Hati Anne jadi hancur sehancur-hancurnya, dia sungguh tidak menyangka jika Hendrik akan setega itu untuk memintanya menggugurkan janin tak berdosa yang saat ini tengah ia kandung.
Meskipun Hendrik tidak tahu saat ini dirinya sedang benar-benar mengandung karena hasil hubungan terlarang mereka berdua.
Anne duduk di kursinya, pikirannya mulai melayang jauh entah ke mana. Dia tidak akan melakukannya meski apapun yang akan terjadi kedepannya, janin yang saat ini ada di dalam rahimnya adalah malaikat kecil yang tidak berdosa.
Sebuah kesalahan besar, Jika dia sampai menuruti keinginan Hendrik, lagi pula ada dan tidak adanya laki-laki itu, Anne akan tetap mempertahankan janinnya ini.
Anne mengusap perut datarnya secara lembut, matanya ikut terpejam, di dalam diri dia merutuki kebodohannya selama ini. Kenapa juga dia sangat mudah sekali tertipu oleh perkataan manis Hendrik.
Anne mengabaikan permintaan sang Bunda yang meninggal beberapa tahun lalu, kalau itu beliau berpesan kepada Anne untuk terus menjaga mahkotanya sampai ada pria yang benar-benar menikahinya. Namun, karena bualan dari Hendrik, kini semuanya sudah hancur, yang tersisa sekarang hanyalah sebuah penyesalan.
**
Morning sickness, itu yang sedang dirasakan Anne. Masih pagi sekali, Anne sudah muntah-muntah di kamar mandi apartemen pemberian Hendrik yang sudah setahun ini ia huni.
Tidak kurang dari lima kali, Anne terus bolak-balik ke kamar mandi, tubuhnya pun terasa begitu lemas, kepalanya ikut berdenyut hebat, namun Anne masih berusaha untuk bisa tersenyum.
"Mama tidak akan mengeluh meski bagaimanapun keadaannya" ucap Anne sembari mengelus perutnya.
Meskipun dia tidak berpengalaman soal kehamilan, tapi Anne sudah banyak membaca artikel tentang kehamilan akhir-akhir ini, dia benar-benar mempersiapkan dirinya untuk menjadi seorang ibu yang baik untuk anaknya kelak. Setidaknya, meskipun janin di dalam kandungannya ini tidak memiliki seorang ayah, Anne berjanji pada dirinya sendiri, jika nanti anaknya kelak tidak akan pernah merasa kurang kasih sayang dan perhatian.
Setelah keadaannya mulai membaik, Anne tetap memaksakan diri untuk pergi bekerja, dia membutuhkan uang untuk kelangsungan hidupnya dan juga butuh tabungan untuk kelahiran Sang buah hatinya nanti.
Dia sudah tidak punya banyak waktu, karena semakin hari perutnya pasti akan semakin membesar, sehingga dia harus segera mengumpulkan uang yang jumlahnya tentu tidak sedikit untuk membayar biaya hidup setidaknya sampai dia bisa mencari pekerjaan kembali setelah melahirkan.
Syukurnya gaji yang dia terima sebagai sekretaris Hendrik cukup besar, di luar dari uang tambahan yang biasanya diberikan oleh Hendrik.
Anne sudah memutuskan untuk tidak memberitahu Hendrik mengenai anak yang sedang dia kandung, janin yang ada di perutnya adalah miliknya dan akan tetap menjadi miliknya.
Pagi ini Anne sudah mulai mengubah beberapa kebiasaannya menghamburkan uang untuk hal yang tidak begitu penting. Jika biasanya dia selalu naik taksi setiap ke kantor, mulai hari ini Anne akan menggunakan bus agar dia bisa lebih hemat.
Saat di perjalanan menuju ke kantor, Anne sibuk memeriksa saldo rekeningnya, dia juga harus segera pindah dari apartemen pemberian Hendrik.
"Aduh, tabunganku tidak cukup untuk membayar deposit Apartemen. Ini hanya cukup untuk membayar plat murah selama 6 bulan kedepan. Astaga, Anne, ke mana uang yang Hendrik berikan padamu selama ini? Uang itu sama sekali tidak kelihatan" desahnya pelan merutuki kebodohannya yang terlalu boros.
Anne menggigit bibir bawahnya saat merasakannya nyeri di kepalanya, ada banyak sekali masalah yang harus dia selesaikan setelah resmi putus dari Hendrik.
Bus yang di tumpangi Anne berhenti tepat di halte dekat tower raksasa perusahaan milik keluarga Hendrik. Anne turun dengan langkah kaki gontai, baru saja kemarin rasanya Dia mengklaim dirinya sebagai wanita yang paling beruntung di dunia ini. Namun, kini dia sudah di hempaskan begitu saja hingga terjatuh ke dasar bumi.
"Tuan, bukan kah itu Nona Anne?"
Keisar, asisten sekaligus tangan kanan Hendrik memelankan laju mobil sedan keluaran terbaru milik Hendrik saat melihat kekasih Bosnya itu berjalan di trotoar dekat perusahaan.
Hendrik menoleh ke arah telunjuk Keisar, matanya menyipit saat melihat mantan wanita kesayangannya berjalan, yang ia yakini Anne baru saja turun dari salah satu Bus.
Keisar hendak menepikan mobilnya, belum sempat dia menepi, Hendrik sudah menahannya, "Tidak perlu, jalan saja" titah Hendrick dengan dingin.
Keisar terdiam, ia melirik ke arah Hendrik sekilas melalui kaca spionnya, dan Bosnya itu langsung memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Baik, Tuan"
Mobil mewah itu pun kembali melaju kencang, Anne yang mengenali mobil tersebut karena biasanya tidak jarang Hendrik menjemputnya hanya membatin perih di dalam hatinya, "kamu emang beneran di buang, Anne"
Sesampainya di perusahaan, Anne langsung menghidupkan komputernya, dia harus bekerja sebaik mungkin agar tidak dipecat, karena saat ini dia benar-benar membutuhkan banyak uang.
Sejak sepuluh menit lalu, di dalam ruang kerjanya, Hendrik menatap bingkai fotonya dan Angela yang baru saja diambil beberapa hari lalu saat kedua keluarga bertemu untuk makan malam.
Kedua tangannya mulai menumpu dagunya yang lancip, tatapan matanya setajam elang, membuat Siapa saja yang menatapnya pasti terpesona akan parasnya yang begitu rupawan.
Tepatnya 2 tahun yang lalu, tepat di saat dia berulang tahun yang ke 26, pesta besar sudah disiapkan, hari itu Hendrik sudah memutuskan untuk melamar Angela tepat di hadapan teman-temannya. Namun, Angela tiba-tiba saja menghilang dan pergi tanpa ada satu pesan pun yang ia tinggalkan.
Hendrik mengusap wajahnya dengan kasar, kali ini rasa bimbang dia rasakan atas keputusannya. Tapi dia berusaha mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa dia hanya mencintai Angela.
"Aku tidak mempermainkan, Anne. Kami memang pernah saling mencintai, tapi aku lebih mencintai Angela" ucapnya berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri.
Pintu ruangan Hendrik diketuk, pria itu langsung membenarkan posisi duduknya dan menghidupkan layar laptopnya sebelum dia mempersilahkan si pengetuk pintu itu untuk masuk ke dalam ruangannya.
"Masuk!"
Pintu ruangannya terbuka, dengan melirik menggunakan ekor matanya, ia bisa melihat Anne yang berjalan masuk dengan membawa tumpukan berkas hingga dia sampai kesulitan untuk menutup pintu.
Bayang-bayang Masa Lalu di mana dia akan langsung menarik lengan wanita itu dan langsung mencumbunya kembali terlintas di kepalanya, saat itu dirinya benar-benar sangat bahagia,
Hendrik mencoba untuk fokus pada layar laptopnya, sebisa mungkin dia berusaha untuk tidak menatap Anne karena hanya dengan menatap wanita itu saja perasaannya mendadak tidak karuan.
Perasaan itu memang sangat wajar, karena mereka cukup lama bersama dan sudah sangat intim, itulah yang coba ditanamkan Hendrik di dalam otaknya.
"Laporan mingguan dan proyeksi kuartal kedua, Tuan"
Anne meletakkan tumpukan map yang dia letakkan di atas meja Hendrik. Mendengar suara lembut dari Anne, seketika Hendrik tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menatap wanita itu. Wajah cantik itu tidak berubah sedikitpun, malah dia terlihat semakin cantik namun pucat.
"Kamu sedang sakit?" Tanya Hendrik dengan suara seraknya. Dia masih bisa menahan dirinya untuk tidak menarik lengan Anne, namun di sisi lain, daripada dirinya belum bisa sepenuhnya tidak peduli pada wanita yang pernah dia cintai itu.
"
"Saya sehat, Tuan" jawab Anne setenang mungkin. Bohong sekali kalau Anne tidak tersentuh, semuanya masih seperti mimpi baginya. Bahkan hingga detik ini saja, Anne masih berharap jika semua kejadian kemarin hanyalah mimpi panjang yang akan segera berakhir saat dia terbangun.
Namun kenyataannya ini bukanlah mimpi sehingga Anne harus berusaha menahan dirinya untuk tidak terlena, kini mereka bukan lagi pasangan, Hendrik juga akan segera menikahi kekasihnya dan Anne akan terpuruk bersama dengan penyesalannya.
"Oke, silahkan keluar"
Anneel membungkuk hormat sambil tersenyum tipis, dia berbalik dan bergegas pergi sebelum air matanya kembali luruh seperti kemarin.
Berada di dalam ruangan Hendrik hanya akan membuatnya merasa semakin jijik pada dirinya sendiri. Setiap jengkal dalam ruangan itu, mengingatkan dirinya, Bagaimana murahannya seorang Anne, seorang sekretaris yang bermimpi menjadi Nyonya Hendrik.
"Kamu harus tetap bertahan Anne, ini semua demi janin yang ada di dalam kandunganmu" batinnya dalam hati.
Setetes air bening jatuh dari pelupuk matanya, dengan cepat dia menyapu pipinya menggunakan punggung tangannya. Tangannya terulur hendak meraih knop pintu, namun tiba-tiba pintu
"Hendriknya ada?"
Angela tersenyum begitu manis, Dia sangat cantik dan mempesona dengan menggunakan gaun branded dan perhiasan yang sangat mahal. Anne langsung merasa insecure
"A—ada, Nona" jawab Anne terbata, ia menunduk tak berani menatap Angela terlalu lama.
"Kenapa tidak mengabariku dulu kalau kamu mau ke sini? Aku kan bisa menjemputmu, sayang"
Suara bariton dari Hendrik mengalun jelas di telinga Anne. Tubuhnya bergetar, hatinya perih, amat sangat perih mendengar kata-kata mesra dari Hendrik yang ditujukan kepada Angela.
"Aku sangat merindukanmu"
Angela langsung memeluk Hendrik, dia mengalunkan lengannya di leher lelaki itu dan tanpa tahu malu langsung mencium bibirnya di depan Anne.
Anne langsung menunduk, dia memejamkan matanya erat dengan dada yang semakin bergemuruh.
Hendrik yang tidak menyangka Angela menciumnya langsung menjauhkan wajahnya, dia merasa tidak nyaman terlebih ada Anne di dekat mereka.
"Kenapa Babe? Kamu tidak suka aku menciummu?" Tanya Angela dengan wajah sendu.
Hendrik dengan tegas menggelengkan kepalanya, dia mengusap wajah Angela dan berbisik.
"Tidak enak di lihat orang"
Angela lantas tertawa, dia tidak menyadari jika ada Anne di sana.
"Maafkan saya, saya permisi"
Anne segera berbalik, Hendrik melirik dan tidak sengaja melihat air mata Anne meneter. Setelah Anne pergi, Angela menutup pintu ruangan dan kembali memeluk Hendrik.
"Sudah tidak ada siapa-siapa lagi, bisakah kita melanjutkannya sekarang?" Tanya Angela dengan genit.
Hendrik tidak menjawabnya, dia tertegun dan detik berikutnya Angela kembali menyatukan bibirnya, Dia sangat agresif dan mau tidak mau Hendrik harus meladeni.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 siang, Anne pergi ke kantin setelah semua pekerjaannya selesai, bukan karena ia lapar, tapi Anne tidak mau jika janinnya tidak mendapatkan asupan yang baik.
"Anne, tunggu!"
Melani setengah berlari mengejar Anne yang hendak masuk ke dalam lift. Anne menghentikan langkah kakinya, dan menunggu Melani.
"Aku tadi mencarimu, aku pikir kamu di ruangan Tuan Hendrik" ucapnya dengan nafas memburu karena lelah habis berlari mengejarnya.
"Aku diruangan HRD, ada yang aku tanyakan"
"HRD? Jangan bilang kamu mau berhenti bekerja" tebak Melani.
Anne langsung mengganggu dan membuat Melani membelalakkan matanya tidak percaya. "Jangan membohongiku, Anne" sentaknya tidak terima.
Anne adalah satu-satunya orang yang diandalkan oleh Tuan Hendrik, bukan hanya CEO muda itu, tapi juga mesil dan rekan-rekan kerja lainnya.
"Anne..."
Melani memeluknya, sungguh dia tidak akan rela kalau sampai Anne benar resign dari perusahaan.
"Tidak sekarang, Melani, tapi aku benar-benar akan keluar dari perusahaan ini. Aku mohon jangan pernah ceritakan pada siapapun tentang rencanaku"
"Kenapa? Apa kamu mau menikah? Atau ada pekerjaan lain yang lebih baik? Yang terakhir aku rasa tidak mungkin karena gajimu sudah di atas rata-rata"
Halmahera Corporation adalah perusahaan multinasional terbesar yang ada di Jakarta, gaji karyawannya lebih besar dua kali lipat dibandingkan dengan perusahaan lain yang sejenis. Sehingga gaji Anne sebagai sekretaris sama dengan gaji Direktur di perusahaan lain.
Anne tidak lagi menjawab, andai saja dia tidak hamil mungkin Anne akan tetap bertahan setidaknya sampai dia bisa mengumpulkan uang agar bisa keluar dari kota Jakarta.
Tapi waktunya tidak banyak lagi. "Aku hanya ingin mencoba peruntungan baru" jawabnya Setelah sekian lama dia berpikir untuk memberikan jawaban pada temannya itu.
"Anne, peruntungan seperti apa yang kamu maksud? Disini kamu sangat dibutuhkan, ayolah Anne" bujuk Melani.
Pintu lift pun terbuka.
"Ada atau tidak adanya aku, perusahaan ini akan tetap berkembang dengan pesat" Anne mengulas senyumnya dan mengusap sisi kepala Melani sebelum mereka keluar dari lift.
Keduanya memasuki kantin yang berada di lantai 10, sudah banyak karyawan yang sedang makan siang, selain gaji yang terbilang besar, bekerja di Halmahera corporation sangatlah menyenangkan, ada kantin mewah layaknya sebuah restoran bintang 5, bahkan terdapat coffee shop.
Hendrik yang mengatur semuanya, dia ingin seluruh karyawannya bisa senang bekerja dan tentunya bisa menghasilkan tenaga kerja yang lebih produktif.
Saat Anne dan Melani menyantap makan siang mereka. Pintu masuk yang terbuat dari kaca otomatis itu terbuka, Hendrik datang bersama dengan Angela dan Keisar yang mengawal di belakang keduanya.
Hendrik sempat bersitatap dengan Anne, sebelum Anne menunduk dan melanjutkan makan siangnya yang mendadak rasanya terasa hambar.
Hendrik dan Angela duduk, Anne langsung berdiri, dia bergegas keluar dari kantin dengan alasan perutnya tiba-tiba sakit, dia tidak bisa berlama-lama di tempat itu karena hatinya sangat ini sangat perih tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Dia melihat Angela dengan manjanya bergelayut di sisi Hendrik.
Melihat Anne keluar dengan begitu buru-buru, Hendrik hanya bisa menatapnya tanpa bisa berbuat apa-apa, Dia sangat yakin jika Anne pasti tidak nyaman melihat dirinya bersama dengan Angela.
Tapi, Hendrik sendiri tidak bisa berbuat apa-apa, semuanya sudah terjadi dan dia sudah membuat sebuah keputusan.
"Silakan dimakan tuan dan nyonya"
Waiters menunduk hormat setelah selesai menyusun beraneka makanan di atas meja. Angela sama sekali tidak menggubrisnya, dia langsung mengambil sendok dan mencicipi makanan yang sudah tersedia, baru seujung sendok yang masuk ke dalam mulutnya, wajahnya seketika berubah menjadi masam.
"Buruk sekali" ucapnya sambil meludah ke samping.
Hendrik mengerutkan keningnya, setahunya makanan di sini semuanya enak, dia dan Anne yang memilih menu-menu untuk kantin perusahaan di kala itu.
Tanpa berucap lagi, Hendrik mengambil sendok dan mencicipinya, "ini enak kok, kamu tidak menyukainya?" Tanyanya kepada Angela. Makanan yang ia dan Anne pilih memang makanan khas kaki lima, tapi soal rasa tidak perlu diragukan lagi.
"Pilihan yang sangat buruk, Aku tidak suka" ucap Angela dengan cuek.
Hendrik mengalah nafasnya dalam, selera Angela memang di atas rata-rata dan dia sangat tahu itu.
"Apa kamu mau makan yang lain?" Tawar Hendrik memberikan pilihan.
"Aku tidak mau makan di sini, Bagaimana kalau kita pergi ke restoran favorit kita saja, Aku sudah lama tidak makan di sana" mintanya dengan wajah memelas.
Hendrik menoleh ke arah Keisar keisar pun menggeleng. Ada meeting setelah jam makan siang dan Hendrik dipastikan tidak akan bisa hadir kalau dia memilih untuk pergi keluar sekarang bersama Angela.
"Maaf sayang, aku ada meeting setengah jam lagi. Bagaimana kalau kamu ditemani oleh Keisar?" Usul Hendrik.
Angela cemberut, mana bisa dirinya pergi makan siang bersama asisten Hendrik, bisa-bisa harga dirinya jatuh kalau orang mengira dia berhubungan dengan seorang asisten biasa.
"Dengan kamu atau Anne!"
Angela memberikan pilihan, dia tidak akan pergi dengan laki-laki yang tidak selevel dengannya, kalau dengan Anne, orang-orang bisa saja membedakan yang mana majikan dan yang mana babunya.
Hendrik tidak langsung menjawab, dia berpikir sejenak. "Bagaimana kalau dengan Melani?" Tanyanya lagi.
"Ada apa dengan, Anne? Apa dia sibuk?"
"Hmm, dia yang akan menemaniku bertemu dengan klien"
Angela mendengus pelan, dia lantas berdiri di ikuti dengan Hendrik sama Keisar, mereka bertiga urung makan karena kekasih Henry tidak suka menu yang disajikan di kantin.
"Aku pergi sendiri saja, lain kali kamu harus menemani aku makan siang!" Ucapnya sambil berbalik dan memberi pelukan pada Hendruk.
"Nanti malam datang ke apartemen ya" bisiknya.
Hendrik tidak menjawab, dia hanya mengusap puncak kepala Angela dan meminta Keisar mengantarkan kekasihnya tersebut ke mobil.
***
"Ikut aku bertemu dengan klien"
Suara bariton dari Hendrik membuat Anne yang sedang menyusun laporan yang baru saja di printnya tersentak kaget, kertas-kertas itu berhamburan ke lantai, buru-buru Anne memungutnya dan menyimpannya ke dalam laci.
"Bertemu dengan klien? Bukannya Keis..."
"Aku tidak suka dibantah!" Potong Hendrik
"Maaf"
Anne menunduk, dia meremas ujung dressnya, Entah mengapa dia merasa hawa ruangan itu mendadak dingin seperti di kutub Utara.
Hendrik berlalu, Anne dengan tergesa menarik tasnya dan membawa salinan file yang tadi dia berikan pada Keisar.
Pintu lift terbuka, Anne merapatkan tubuhnya tepat di dinding lift, dia saat ini benar-benar gugup, tidak tahu kenapa padahal dulu dia sering sekali berduaan dengan Hendrik seperti ini.
Bahkan keduanya sudah tinggal bersama di apartemen, namun kali ini semuanya tidak lagi sama. Dia dan Hendrik sudah dipisahkan oleh dinding yang begitu kokoh.
"Kenapa tadi buru-buru pergi dari kantin? Apa tidak bisa bersikap biasa saja?"
Pertanyaan Hendrik membuat hati Anne sakit, Bagaimana bisa Hendrik berkata seperti itu dengan mudahnya.
"Mulai besok Angela mungkin akan lebih sering datang ke kantor dan kamu harus menemaninya mengurus pernikahan"
Deg
Bagai dihantam dengan batu besar, sakit, Anne hanya wanita biasa yang punya hati, tapi bukankah dia hanya seorang bawahan, apapun yang diperintahkan harus dia terima.
"Sabar, hanya sampai uangmu terkumpul Anne" batinnya.
"Baik, Tuan"
Hendrik menoleh ke arah Anne yang menjawab salah tanpa beban, sempat terlintas di benak Hendrik kalau Anne akan memohon untuk kembali padanya. Jika hal itu terjadi, mungkin Hendrik masih bisa memikirkannya lagi.
Jauh di lubuk hatinya yang terdalam, bohong jika Hendrik semudah itu bisa melupakan Anne. Namun, rasa egonya jauh lebih besar daripada akal sehatnya.
"Sepertinya kau senang sekali berpisah denganku, apa kamu hendak kembali kepada mantan kekasihmu itu?" Tanya Hendrik dengan sinis.
Anne mendengus dengan pelan, ingin sekali dia menampar mulut itu, namun sekali lagi dia harus bersabar, karena ia butuh uang Hendrik.
"Saya tidak tertarik untuk menjalin hubungan dengan lelaki manapun dalam waktu dekat ini, Tuan"
"Bagus" ucap Hendrik singkat.
Pintu lift terbuka, Anne menunggu Hendrik keluar lebih dulu sebelum dirinya menyusul, Anne sengaja memelankan langkah kakinya, dia benar-benar memposisikan dirinya sebagai bawahan Hendrik dan tidak lebih.
Sesampainya di restoran tempat pertemuan, klien Hendrik sudah menunggu. Mereka datang jauh-jauh dari Filipina.
1 jam Sudah mereka menghabiskan waktu untuk membahas, draft kerja sama dengan klien. Anne yang sangat pandai bernegosiasi langsung mendapatkan tanda tangan dari klien Hendrik. Salah satu hal yang membuat Hendrik kagum pada wanita itu adalah kepandaian dan keberaniannya.
Setelah berpisah di lobby restoran, Hendrik memutar tubuhnya menghadap Anne. "Karena kamu membantuku mendapatkan proyek besar, Aku akan memberimu bonus"
"Terima kasih, Tuan"
Anne membungkuk dengan hormat, satu masalah sudah terpecahkan, dia bisa segera pindah dari apartemen milik Hendrik secepatnya.
"Dan kamu boleh pulang sekarang, tidak perlu kembali ke kantor lagi"
Anne kembali membungkuk, tidak lupa dengan ucapan terima kasihnya. Keduanya berpisah di lobby, Anne bergegas mencari taksi, bukan langsung ke apartemen melainkan ke agen properti untuk mencari plat murah yang bisa ia sewa.
***
Setelah mendapatkan plat yang harganya terjangkau, Anne kembali ke apartemen dan mulai berkemas, dia sungguh tidak sabar ingin keluar dari apartemen mewah itu, karena terlalu banyak kenangan indah yang harus dia kubur dalam-dalam.
Tidak butuh waktu lama untuk berkemas, karena barangnya tidak begitu banyak, yang banyak justru barang-barang branded yang Hendrik berikan untuknya termasuk perhiasan-perhiasan yang harganya mahal.
Anne tidak gila harta, tidak satupun yang dia ambil walaupun perhiasan itu bisa dijual kembali, dia yakin jika dirinya dan calon buah hatinya bisa bertahan dengan hasil keringatnya sendiri, agar nanti Hendrik tidak mengklaim janin ini miliknya kelak saat sudah lahir ke dunia.
"Selamat tinggal Masa Lalu, semoga aku dan bayiku bisa beruntung" batin Anne.
***
Jalanan malam ibukota padat merayap, Anne tersenyum di sepanjang perjalanannya menuju tempat tinggal yang baru. Sesekali dia mengelus perutnya, tidak ada yang berubah pada tubuhnya hingga saat ini.
Hanya saja dia mulai merasakan mual dan pusing di setiap pagi hari, selebihnya dia tidak merasa apa-apa, bahkan makan dan minum pun masih sama seperti sebelum mengandung, hanya saja sesekali dia malas makan karena teringat akan Hendrik dan Angela
Sudah satu jam perjalanan, taksi yang Anne tumpangi berhenti di depan sebuah plat sederhana. Jauh dari kata mewah namun Anne tetap bersyukur, setidaknya dia tidak akan merasa bersalah kalah melihat setiap sudut apartemennya, yang menyimpan begitu banyak kenangan indah yang akhirnya berakhir dengan penyesalan yang mendalam.
Setelah membayar ongkos taksi, Anne menataplah tempat tinggal barunya yang berada di lantai dua, dia menghembuskan nafasnya pelan sebelum menyeret kopernya
Di tempat itu tidak ada lift, hanya ada anak tangga yang lumayan kotor. Maklum saja, plat ini sudah lama kosong menurut pemiliknya, Tapi dia bisa memastikan di dalamnya bersih karena selalu dibersihkan dengan rutin.
Setelah mengeluarkan tenaga ekstra untuk mengangkat koper menuju ke lantai dua, Anne memasukkan anak kunci ke pintu berwarna hitam pekat itu.
Pintu pun langsung terbuka, Anne mendorong daun pintu hingga terbuka dengan lebar. Seula senyuman terbit di bibirnya, kamarnya minimalis namun cukup lengkap, ada divan dan di sebelahnya ada meja rias.
Anne melangkahkan kakinya masuk, dia langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Jauh lebih bagus dari yang sudah dia bayangkan.
"Kita akan tinggal di sini, dan hanya berdua, kamu dan Mama" ucapnya sembari mengelus perutnya.