Rahasia Anak CEO
Sesampainya di hotel, petugas hotel langsung membukakan pintu mobil untuk Anne, wanita itu keluar dengan anggun, membuat siapa saja yang melihatnya pasti akan terpesona.
Hendrik yang sudah menunggu kedatangan Anne, langsung menyambut wanita itu. Dia tersenyum melihat gaun yang dia pilihkan sangat pas di tubuh langsing wanita itu.
Dia mengulurkan tangannya, tapi Anne tidak langsung menyambutnya karena lagi-lagi dia terngiang-ngiang Hendrik dan Angela yang bermesraan di depan matanya.
Anne menunduk hormat lalu berjalan tanpa menyambut uluran tangan Hendrik, ia bahkan menyimpan jemarinya di balik tubuhnya. Hendrik mendesa pelan, Dia sedikit kecewa namun ditelannya rasa kecewa itu.
Mereka masuk ke restoran dan langsung diarahkan ke sebuah ruangan VVIP. Sebelum masuk, Hendrik membisikan sesuatu kepada petugas resto.
"Jam berapa kliennya datang, Tuan?" Tanya Anne yang merasa tidak nyaman hanya berduaan saja dengan Hendrik di dalam ruangan tertutup seperti ini, terlebih Hendrik sedari tadi menatapnya dengan tatapan tak terbaca, membuat Anne semakin gelisah.
"Sebentar lagi" jawabnya tanpa mengalihkan tatapannya dari Anne yang terlihat sangat cantik di malam ini.
Tangan Hendrik mulai terulur, ia hendak mengusap pipi merona itu namun Anne bergegas menunduk dan memejamkan matanya berat.
Hendrik menghela nafasnya dalam, ia di tolak. "Anne.."
"Iya, Tuan?"
"Jangan memanggilku Tuan saat kita sedang berduaan, kita sudah lama bersama Anne"
Tidak ada jawaban, Anne hanya diam dengan kepala tertunduk dalam. "Malam ini aku aka. Mengantarkan mu ke apartemen, apartemen itu milikmu"
Anne mendongak, dia menggeleng pelan, "Tidak, apartemen itu bukan milik saya"
"Anne, ayolah, apartemen itu aku belikan untukmu, begitu juga semua yang ada di dalam sana"
Hendrik membetulkan posisi duduknya, dia merogoh kantong jasnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana.
"Ini semua milikmu" ucapnya sembari meraih jemari Anne dan meletakka. Tiga buah kartu yang Anne tinggalkan.
"Maaf, Tuan"
Anne mengembalikan kartu-kartu itu, membuat Hendrik tersenyum sinis.
"Apa ini semua kurang? Kamu mau yang lebih banyak dari ini?" Tanyanya sarkas sekali
Seumur hidupnya, Baru kali ini pemberiannya dikembalikan, bukankah semua wanita suka dengan uang?
"Kamu marah padaku? Apa yang harus aku lakukan agar kamu tidak marah lagi? Katakan!"
Anne tersenyum tipis, ego Hendrik amatlah besar, dia pasti merasa terhina setelah apa yang dia berikan dikembalikan oleh Anne.
"Tuan kan bertanya, apa yang saya inginkan?"
Hendrik mengangguk, "katakan Saja, apapun akan aku berikan kecuali pernikahan. Pernikahan ku dengan Angela sudah diatur, kamu juga sudah tahu itu"
"Kenapa Anda mengira Saya akan meminta pernikahan pada anda?"
"Semua wanita menginginkannya Anne, dan kamu juga pasti menginginkannya bukan?"
"Sayangnya saya tidak menginginkannya, Tuan. Saya hanya ingin bekerja dengan nyaman,
Hendrik menarik dagu Anne dan menghadapkan wajah wanita itu ke arahnya. Tatapan mereka saling bertemu, namun Anne lagi-lagi memutus kontak matanya, tetapan Hendrik terlalu tajam dan membuat syarat-syarat di tubuhnya mendadak seperti tersengat listrik.
"Profesional?"
Anne tidak bergeming sama sekali, dia menepis tangan Hendrik namun pria itu malah menarik tengkuknya.
Tanpa aba-aba Hendrik menyatukan bibirnya dengan Anne. Seketika mata Anne terbelalak. Spontan kedua tangannya memukuli dada pria itu, pedih dan sesak, Dia sangat tidak Sudi Hendrik menyentuhnya seperti ini setelah apa yang terjadi pada mereka.
Pukulan Anne semakin melemah, ia menangis karena merasa diperlakukan seenak hati oleh Hendrik. Tautan bibirnya langsung terlepas, Hendrik mengusap pipi Anne yang basah karena air mata.
Selama setahun bersama, tidak pernah sekalipun dia melihat wanita ini menangis, namun akhir-akhir ini Anne menjadi wanita yang paling cengeng karena dia terus saja menangis.
"Maaf..."
Hanya kata itu yang keluar dari bibir Hendrik yang mengkilap karena lip gloss Anne berpindah ke bibirnya akibat penyatuan bibir yang memabukkan itu.
Anne menundukkan kepalanya, kedua tangannya saling meremas sisi dressnya, dia meluapkan kekesalannya yang tidak bisa dia tumpahkan langsung pada Hendrik. Seandainya saja tidak ada janin di dalam rahimnya, bisa dipastikan dia sudah lama pergi.
Tidak mudah untuknya mencari pekerjaan dalam waktu yang dekat, terlebih Dia hanya bisa bekerja 5 atau 6 bulan saja, sisanya dia harus berada di rumah dan menunggu kelahiran buah hatinya.
Pintu ruangan terbuka, seorang Wika harus mempersilahkan dua orang lelaki muda dan rupawan untuk masuk, tubuh keduanya dibalut jas yang sama dengan yang saat ini digunakan Hendrik, jas dari perancang terkenal berharga puluhan juta. Hendrik langsung berdiri, Anne pun ikut berdiri menyambut kedatangan dua orang klien bosnya.
"Arkano,
Hendrik merentangkan kedua tangannya, wajahnya terlihat begitu sumringah.
"Hendrik sahabatku, setahun tidak bertemu kamu semakin tampan saja" puji lelaki dengan jambang tipis menghiasi dagu dan pipinya, mendengar ucapan lelaki itu bisa disimpulkan bahwa dia adalah temannya Hendrik, Tapi selama satu tahun berhubungan, Anne tidak pernah diperkenalkan pada siapapun, hanya Keisar yang tahu dirinya menjalin hubungan dengan Hendrik, selebihnya Anne hanya dikira sebagai sekretaris Henry, jika dipikirkan sungguh sangat miris dan betapa bodohnya Anne selama ini.
"Beda verbs-nya kalau sudah mau menikah, auranya semakin bersinar" sambung lelaki itu.
Anne tersenyum miris, semua orang tahu Hendrik akan menikah,embuatnya semakin tersudutkan.
Hendrik melapaskan pelukannya, lalu ia menyalami lelaki yang ada di samping Arkano.
"Sekretarisku, Hendrik?" Tanya Arkano menatap Anne takjub.
"Iya, Anne. Kenalkan ini adalah Arkana, klien kita sekaligus sahabat karibku"
Anne mengulas senyumnya, dia Lalu mengulurkan tangannya. Sebisa mungkin dia harus terlihat baik-baik saja setelah mendengar kenyataan yang amat sangat menyesakkan itu.
"Anne"
Lelaki itu menyambut uluran tangan Anne, bukan hanya sekedar berjabat, dia justru menunduk dan memberi kecupan di punggung tangan putih mulus milik Anne.
Anne menelan salivanya kasar, dia merasa risih namun mau bagaimana lagi? Di sebelahnya wajah Hendrik terlihat tegang.
"Arkano" balas pria itu sambil tersenyum.
Anne mengangguk dan menarik tangannya, ia lalu mengulurkan tangannya pada rekan Arkano
"Anne"
"Tomi, asisten Arkano" ucap lelaki itu ramah.
Anne mengangguk, setidaknya ada satu orang baik di sini, batinnya.
"Silahkan duduk!" Hendrik mempersilahkan Arkano dan Tomi untuk duduk. Ia menoleh ke arah waiters yang berdiri di dekat mereka.
Kedua orang weathers itu pun dengan sigap meletakkan buku menu di hadapan mereka masing-masing. Keempatnya sibuk memilih, sesekali arcano menoleh ke arah Anne, dia tersenyum melihat wanita cantik itu.
Maklum dia sudah setahun tinggal di Singapura dan berakhir bertemu dengan Hendrik, Hendrik hanya ditemani Kaesar.
Setelah berhasil memesan, Hendrik melepaskan kancing jasnya. Anne dengan sigap membantu Hendrik melepaskan jasnya tersebut dan meletakkannya di balik punggung kursi.
"Indahnya hidupmu sobat, di kantor dilayani sekretaris multi talenta, di rumah dilayani calon istri"
Deg..
Jantung Anne terasa dihantam batu besar, apa mereka sudah tinggal bersama? Ah, pertanyaan yang sangat bodoh, dengan dirinya yang hanya kekasih rahasia saja Hendrik tinggal bersama dengannya. Maka tidak heran dan sudah pasti dengan Angela yang berstatus tunangan dan akan segera menikah mereka tinggal saat.
Anne duduk, ia berjuang begitu keras untuk mempertahankan raut wajahnya, dia merasa selama ini ditipu habis-habisan oleh Hendrik. Bagaimana bisa dirinya percaya pada laki-laki b******* itu.
"Anne, berapa umurmu?"
Pertanyaan itu tiba-tiba dari arcano membuat Anne kelabakan sendiri
"Sebentar lagi 23 tahun" jawab Hendrik, suara lelaki itu terdengar serak.
Anne menoleh ke arah Hendrik, dia masih ingat dengan ulang tahunku? Tanyanya dalam hati. Anne menggeleng samar, kedua tangannya saling meremas di bawah sana, dia tidak boleh sampai terpengaruh pada apapun yang berhubungan dengan Hendrik.
"Wah, daun muda, aku suka" ucapnya tanpa basa-basi.
Giliran Hendrik yang menoleh ke arah Anne, tatapan laki-laki itu berubah tajam, itu artinya Dia sedang marah dan Anne tahu akan hal itu.
"Arkano menyukaimu, Anne, dia tampan dan juga kaya raya" ucap Hendrik yang semakin melukai hati Anne, Apa maksud Hendrik berucap seperti itu? Seolah dirinya saat ini mencari kekayaan, walau tak bisa dipungkiri bahwa harta memang menjadi salah satu pertimbangan setiap wanita dalam mencari jodoh, tapi tidak serta-merta membuat para wanita melupakan hal-hal lainnya.
"Ck, Kenapa kamu yang menembaknya, aku bisa melakukannya sendiri Hendrik!" Seru Arkana tidak terima dirinya didahului mengutarakan perasaannya, dia memang pecinta wanita cantik namun tidak sembarang wanita cantik bisa mendapatkan cintanya.
Arcano adalah pria yang sedikit pemilih karena dia memang pantas untuk memilih.
"Aku hanya mempermudah jalanmu, lagipula Anne sedang jomblo, bukan begitu Anne?" Tanya Hendrik sarkas.
Anne menoleh ke arah Hendrik, tatapan lelaki itu semakin tajam menegaskan bahwa dia benci untuk mengatakan hal itu.
"Benarkan, Anne?" Tanya Arkano memastikan, Arkano sedikit kaget saat mendengar wanita secantik Anne masih single..
"Benar sekali, Tuan. Apa yang Tuan Hendrik katakan itu benar, saya memang masih single" jawab Anne sembari mengulas senyum manisnya. Senyum palsu itu nyatanya mampu menggaet CEO muda bertalenta seperti Arkano
Arkano tersenyum penuh arti, ia menatap Anne penuh ketertarikan, rasanya benar-benar seperti mendapatkan jakpot..
Pintu ruangan VVIP terbuka, dua orang weters datang sembari mendorong troli berisi makanan. Anne menghela nafasnya pelan, dia pun menunduk dia harap makan malam ini cepat selesai, lelah sekali rasanya harus berpura-pura bahagia di depan Hendrik. Dia tidak sekedar itu setelah diterpa berbagai kabar yang mengejutkan.
"Mari bersulang!"
Hendrik mengangkat gelas winenya di ikuti Arkano dan Tomi. Anne ikut mengangkat orange juicenya, karena dia tidak pernah mencicipi minuman beralkohol.
Arkano terus menerus menatap Anne, membuat gadis itu merasa tidak nyaman. Saat Ada kesempatan, Anne meminta izin untuk ke kamar mandi, berada satu ruangan dengan Hendrik dan Arkano membuatnya susah untuk bernafas.
Anne masuk ke dalam salah satu bilik toilet, dia duduk di atas closet yang tertutup dan memejamkan matanya, dadanya terasa sangat sesak, Entah berapa lama lagi ia sanggup untuk menjalani harinya.
Dia mengusap perutnya yang masih terlihat datar, "Mama janji akan sabar demi kamu" bisiknya dengan suara lirih.
Setelah merasa lebih tenang, Anne keluar dari bilik toilet dan mengoleskan lipstik di bibirnya, dia pun bergegas keluar dari dalam toilet namun baru saja beberapa langkah seseorang sudah mengalami jalannya.
"Tuan, Arkano" Anne membungkuk hormat.
"Mau pulang denganku?"
Anne mengerutkan keningnya, lepas dari Hendrik, apa Iya dia harus menyerahkan dirinya pada lelaki yang sepertinya sebelas dua belas dengan lelaki syalaan itu? Oh tidak akan, Anne tidak sebodoh itu.
"Kamu tidak perlu salah paham, maksudku, aku akan mengantarkanmu pulang kalau kamu tidak keberatan" koreksi Arkano, melihat reaksi Anne. Arkano merasa penggunaan kata-katanya salah, dia terkesan mengajak wanita itu ikut pulang bersama ke kediamannya.
Anne membungkuk hormat, dia tentu saja tidak boleh mengecewakan rekam bisnis tuannya bukan?
"Terima kasih, Tuan. Tapi saya tidak enak merepotkan Tuan"
"Tidak, tentu saja tidak, dimana tempat tinggalmu, Anne?" Tanyanya cepat
***
Pintu ruangan VVIP terbuka, Anne dan Arkano masuk secara bersamaan, dan Mereka terlihat sangat akrab.
Anne duduk, dia melirik sekilas ke arah Arkano dan mengulas senyumnya. di sebelahnya, Hendrik yang memperhatikan keduanya sejak tadi langsung meremas paha Anne. Anne sontak menoleh dan menepis tangan Hendrik yang sudah mencengkram pahanya.
"Kenapa dessertnya tidak dimakan?" Tanya Hendrik mengalihkan perhatian Anne.
"Maaf Tuan, tapi saya tidak suka"
"Tidak suka? Bukankah di saat ini kesukaanmu? Aku sudah khusus memesankannya untukmu"
Apa saja yang Anne sukai, Hendrik tau dengan pasti, mulai dari warna, makanan, minuman hingga hal terkecil Hendrik tahu semuanya.
Anne menggeleng pelan, Dulu iya, tapi sekarang dessert ini adalah dessert yang paling Saya benci!" Jawabnya pelan namun masih bisa terdengar oleh Hendrik.
Hendrik terdiam, sebegitu bencinya kah Anne dengan dirinya hingga makanan yang dia pesankan ikut dia benci?
"Besok aku akan datang ke perusahaanmu Hendrik, aku sudah meminta Anne untuk menyiapkan draft kontrak kerjasamanya"
Ucapan Arkano berhasil menyadarkan Hendrik dari lamunannya, dia menoleh ke arah Arka o dan mengulas senyumnya. "Oh ya, padahal kita belum membicarakannya"
Hendrik membetulkan posisi duduknya, ia melonggarkan dasinya, nafasnya terasa sesak setelah mendengar apa yang Anne ucapkan barusan.
"Tidak perlu panjang lebar, kamu itu adalah temanku dan aku sangat percaya padamu!" Jawab Arkano sambil melempar senyuman kepada Anne.
Hendrik melirik melalui ekor matanya dan Anne membalas senyuman itu, sangat manis. "Oke, tapi bagaimana dengan angkanya, kita juga belum membahas"
"Aku sudah percayakan semuanya kepada Anne," jawabnya cepat.
Hendrik menoleh ke sisinya, Anne menatap dessert yang ada di hadapannya dengan ekspresi yang tidak bisa terbaca. Hendrik baru menyadari semua menu makan malam yang Anne pesan bukanlah makanan favoritnya.
"Terima kasih, Anne" ucap Hendrik.
Anne mengangguk, "Sama-sama, Tuan"
"Sudah malam, Oh ya, Hendrik, aku tadi menawarkan untuk mengantar Anne pulang, kebetulan tempat tinggalnya searah denganku"
"Anne adalah tanggung jawabku, Arkano!"
"Tapi Anne sudah setuju, dan aku tidak sedang meminta izin padamu, kawan. Apa kamu tidak kasihan dengan teman masa kecilmu ini? Kamu sebentar lagi akan menikah, aku juga tentunya akan menyusul" candanya.
Rahang Hendrik tampak mengeras, apa saja yang kedua orang ini bicarakan selagi di luar? Dadanya terasa terbakar, kenapa sekarang dia merasa tidak rela kalau Anne bersama dengan Arkano?
Sebisa mungkin Hendrik menyembunyikan amarahnya, "kalau Anne tidak masalah, aku tidak akan melarang" ucapnya pasrah.
**
Tomi membuka pintu kabin penumpang, Arkano lalu mempersilahkan Anne masuk terlebih dahulu, dia meletakkan tangannya tepat di atas kepala saat wanita itu masuk ke dalam mobil, memastikan jika kepalanya tidak terbentur kap mobil.
Laki-laki itu sangat pandai mengambil hati Anna, well, setidaknya dia lebih baik daripada Hendrik yang tidak se perhatian itu.
"Pastikan dia selamat sampai ke rumahnya, Anne adalah karyawan terbaik yang aku miliki" pesan Hendri kepada Arkano, suaranya terdengar serah karena sejak tadi dia menahan emosinya.
"Tidak usah khawatir kawan"
Arcano menepuk pundak Hendrik, dia Lalu masuk dan menutup pintu mobilnya. Kaca jendelanya terbuka dan mengulurkan tangannya pada Hendrik.
Hendrik menyambutnya dia sempat melirik ke arah Anne yang menatap lurus ke depan tanpa ekspresi.
"Sampai ketemu besok pagi"
"Ditunggu" jawab Hendrik ketir. Dia melepaskan tangannya lalu mundur beberapa langkah, matanya masih terus menatap Anne, wanita itu tidak sekalipun mau menoleh ke arahnya dan rasanya sangatlah menyakitkan.
"Jalan, Tomi"
Tomi menganggu, ia lalu melajukan mobilnya meninggalkan hotel. Hendrik masih berdiri di tempatnya, menatap kepergian mobil milik sahabat karibnya tersebut.
"Kita pulang sekarang tuan?" Tanya Keisar setelah mobil yang Anne tumpangi sudah menghilang.
"Ya" jawabnya singkat.
Keisar membuka pintu bagian belakang, Hendrik masuk namun dia mendadak gelisah, takut Anne diapa-apakan oleh Arkano.
"Ikuti mobil Arkano!" Titahnya.
Keisar mengangguk, dia langsung melajukan modalnya dengan kecepatan tinggi, takut dia kehilangan jejak Arkano.
Dijalan Anne tidak bicara sepatah kata pun, dia begitu lelah dan ingin segera sampai ke rumah dan langsung berbaring. Lelah fisik masih tidak seberapa, tapi jika lelah hati membuatnya sangat tidak bersemangat.
"Apa nona Anne tinggal sendirian?" Tanya Arkano memecah kesunyian yang sempat tercipta.
"Iya, Tuan. Ayah dan Ibu saya sudah lama meninggal" Jawabnya apa adanya.
"Maafkan saya, saya tidak bermaksud.."
"Tidak apa-apa, Tuan" potong Anne cepat.
"Anne"
"Iya, Tuan"
"Jangan panggil tuan, panggil Arkano saja"
Arkano menatap Anne, wajahnya tampak bercahaya walaupun berada di dalam mobil yang minim penerangan, aura positifnya menguat membuat Arkano semakin terpesona.
"Maaf, Tuan, saya rasa tidak sopan" tolak Anne secara halus. Mereka berbeda kasta, cukup sekali dia menjadi korban perbedaan status, Anne tidak akan mengulangi kesalahan yang sama, lagipula laki-laki Mana yang mau dengan wanita hamil tanpa suami seperti dirinya.
Mobil yang dikomudikan Tommy berhenti di depan plat sederhana yang Anne tempati. "teriak kasih tumpangannya Tuan Arkano, terima kasih Tommy" ucap Anne begitu mereka tiba.
"Apa disini aman?" Tanya Arkano, bukannya menjawab ungkapan Anne, dia malah fokus pada lokasi tempat tinggal wanita itu. Tidak ada satpam layaknya di apartemen mewah.
"Sejauh ini aman tuan," jawabnya sambil tersenyum.
Anne hendak keluar, namun Arkano menahan tangannya, "Tunggu sebentar!"
Arcano lalu keluar dari mobil, dia langsung memutari mobilnya dan membukakan pintu untuk Anne. Lagi dan lagi dia meletakkan tangannya di atas kepala wanita itu.
"Tuan sekali lagi terima kasih"
Anne menunduk hormat, hanya ucapan terima kasih yang bisa dia berikan. "Masuk lah, saya harus memastikan kamu pulang dengan selamat" ucapnya sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya.
Anne mengangguk, dia berbalik dan menaiki anak tangga secara perlahan. Sampai di lantai atas dia tersenyum lalu melambaikan tangannya.
Arkano balas melambaikan tangannya, dia benar-benar menunggu hingga Anne masuk ke dalam platnya sebelum pergi.
Setelah Arkano pergi, Hendrik turun dari mobil,b tidak jauh dari Anne, dia menatap ke sekeliling, sepi dan pastinya jauh dari kata aman untuk seorang wanita.
"Meninggalkan kemewahan dan memilih tinggal di tempat seperti ini, apa mau mu Anne!" Serunya lirih.
"Jalan Keisar!" Hendrik memberi perintah setelah puas menatap lokasi tempat tinggal baru Anne, jauh dari bayangannya, dia pikir Anne tinggal di kawasan apartemen Namun ternyata dia malah tinggal di sebuah plate sederhana.