Cinta yang Tersulut Kembali
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Mantanku yang Berhati Dingin Menuntut Pernikahan
Balas Dendam Manis Sang Ratu Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta di Jalur Cepat
Gairah Liar Pembantu Lugu
Jangan Main-Main Dengan Dia
Mantan Istri Genius yang Diidamkan Dunia
Tawaran Gila Suamiku
Arlena melangkah keluar dari ruangan pesta dengan hati yang remuk. Gaun anggun berwarna perak yang ia kenakan malam itu kini terasa seperti beban. Pesta pertunangan itu-yang awalnya ia kira hanya sebuah acara formal perusahaan-mendadak berubah menjadi mimpi buruk. Di tengah riuh tawa dan percakapan tamu, matanya tanpa sengaja menangkap sosok kekasihnya, Iqbal, tengah berdiri di sisi seorang wanita. Wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai tunangan Iqbal.
Arlena seakan tak percaya. Selama ini, ia mencintai Iqbal sepenuh hati, mempercayakan seluruh perasaannya pada pria itu. Ia berpikir bahwa Iqbal adalah masa depannya, pelindung hatinya. Namun, kenyataan di hadapannya meruntuhkan semua harapan itu seketika.
Tanpa arah, Arlena melangkah keluar dari gedung, mengabaikan panggilan teman-temannya yang bingung melihat wajah pucatnya. Ia terus berjalan, masuk ke dalam lift tanpa tujuan. Kepalanya berdenyut-denyut, campuran amarah, kecewa, dan kesedihan yang begitu mendalam menguasai dirinya.
Saat pintu lift terbuka di lantai dua puluh lima, Arlena melangkah keluar dengan pandangan kosong. Entah bagaimana, langkahnya membawanya ke depan sebuah kamar hotel yang pintunya sedikit terbuka. Mungkin akibat ketidakjelasan dalam pikirannya, ia pun masuk, mencari ruang untuk menangis tanpa ada yang melihat.
Di dalam kamar, Arlena duduk di tepi tempat tidur, wajahnya yang sembab menatap ke cermin besar di depannya. Air matanya mengalir, membasahi pipinya tanpa bisa ia tahan lagi.
"Tega sekali kamu, Iqbal..." bisiknya lirih sambil memeluk dirinya sendiri, mencoba mengumpulkan serpihan hatinya yang telah pecah berantakan.
Beberapa saat berlalu dalam keheningan, hingga tiba-tiba pintu kamar terbuka lebih lebar. Seorang pria masuk ke dalam kamar dengan langkah mantap. Pria itu terdiam sejenak ketika melihat Arlena di sana, dan begitu pula Arlena yang tercengang saat menyadari kehadiran orang asing di ruangan itu.
"Siapa kamu?" suara pria itu terdengar dalam dan tajam, sorot matanya penuh ketidakpercayaan saat melihat wanita asing duduk di kamarnya.
Arlena tergagap, kaget dan bingung. "Maaf... aku... aku tidak bermaksud mengganggu. Aku hanya..."
Pria itu mengerutkan kening, menatap Arlena dengan tajam. Ia adalah Leonard Hartanto, pewaris tunggal dari salah satu konglomerat besar di negeri itu. Dengan setelan jas rapi dan aura dingin, ia terlihat seperti seseorang yang tak akan mudah menerima penjelasan sembarangan.
"Kenapa kamu ada di sini? Ini kamarku," ujarnya dengan nada rendah namun penuh tekanan.
Arlena merasa semakin tak nyaman. Ia berdiri, berusaha menjelaskan dirinya meski lidahnya kelu. "Maaf, aku hanya... aku hanya butuh tempat untuk menenangkan diri."
Leonard memandangnya dengan sorot tajam, lalu menghela napas panjang. "Tempat untuk menenangkan diri? Kau pikir kamar hotel ini adalah tempat umum yang bisa dimasuki siapa saja?"
Arlena tak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa menunduk, merasa malu sekaligus canggung di hadapan pria asing ini.
"Maafkan aku," bisik Arlena, suaranya nyaris tak terdengar. Namun, saat hendak melangkah keluar, matanya mendadak kabur, tubuhnya melemah. Emosi yang terlalu intens membuatnya merasa lelah. Sebelum ia sempat keluar, pandangannya mengabur, dan ia pun jatuh terkulai.