Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Sang Pemuas
Tasya Devanagayu adalah karyawan di salah satu perusahaan swasta yang bergerak pada bidang periklanan bernama Derling. Setiap hari ia harus memutar otaknya, agar suatu produk yang bekerja sama dengan tempat kerjanya dapat dipromosikan dengan baik dan laku di pasaran. Namun akhir-akhir ini, pikirannya harus terganggu oleh kemunculan sosok Ravi Ardiansyah kembali.
"Kembali setelah mengambil cuti tahun ini."
Tasya menoleh, mendapati rekan kerja satu divisinya yang baru saja datang. "Ya dan aku tidak menyangka bahwa mejaku sudah penuh dengan proposal." Ia memicingkan matanya pada meja kerja yang sebelum cuti telah kosong dan rapi, namun setelah resmi masuk kerja kembali hari ini, sejumlah proposal telah bertumpuk di sana.
Dinaya, rekan kerja Tasya itu berhenti sejenak. "Semuanya baik-baik saja?"
"Setidaknya aku tidak perlu memakai masker dan kacamata hitam, setiap berjalan di sekitar daerah kantor," balas Tasya mengerti maksud Dinaya.
Apalagi kalau bukan tentang pernikahan yang batal. Tiga hari sebelum ikrar sehidup semati diucapkan, Tasya harus menanggung penderitaan bercampur rasa malu oleh perselingkuhan Ravi.
"Abaikan saja mereka. Kau cantik, pintar dan memiliki banyak bakat. Sebagian mereka mungkin iri dan menjadikan musibah yang menimpahmu sebagai alasan membicarakannya."
Dinaya bukanlah teman dekat Tasya di luar kantor, tetapi setahu Tasya, Dinaya adalah salah satu rekan kerjanya yang tidak munafik dan suka menjatuhkan orang lain. Dinaya bukanlah pekerja yang akan bergosip di kala waktu senggang, memilih menonton acara variety show di ponselnya atau membaca buku di kafe yang berada di depan perusahaan.
"Thanks Naya, cuma kau yang bisa kuandalkan di sini," balas Tasya susah merasa tidak terharu dengan ucapan Dinaya barusan.
"Apaan sih Tasya, lebay deh." Dinaya paling anti dengan ucapan manis, sehingga tak jarang orang menjulukinya 'putri yang dingin'.
Dinaya mulai menuju meja kerjanya yang masih berada satu ruangan dengan Tasya, namun dipisahkan oleh sekat. "Kau masih memiliki kesempatan. Daripada aku, bercerai setelah dua tahun menikah."
Tasya terdiam. Ia pun mensyukuri bahwa benar dikatakan oleh Dinaya. Lebih baik menanggung malu dan rasa sakit hati lebih cepat, daripada harus berujung penyesalan tanpa henti.
Sudah jadi rahasia umum bahwa Dinaya adalah janda muda. Mantan istri dari seorang pengacara dan tidak memiliki anak.
Tasya pun hanya bisa menghela dan menarik napas secara beraturan sambil mulai membaca proposal di depannya.
"Oh ya, selama kau cuti Pak Bos sering lihatin meja kerjamu loh."
Pernyataan Dinaya tak ayal membuat mata Tasya membeliak. "Apa?" Ia tidak pernah membayangkan tatapan serius dan tajam Albiru Prayoda--direktur dari Derling pada meja kerjanya. Pasti sangat menakutkan.
Tasya bahkan telah bergidik membayangkan situasi tersebut. "Ouh, paling dia menggerutu dalam hati tentang bagaimana aku mengambil cuti libur padahal juga batal nikahnya."
Dinaya terkekeh kecil. "Bagaimana kalau ternyata Pak Albi khawatir?"
Rasa mual langsung menyerbu perut Tasya kala mendengar perkataan Dinaya tersebut. "Khawatir? Mustahil. Ingat ketika dulu kakiku keseleo dan dia tetap memintaku menghadiri rapat dengan klien yang berada di lantai lima tanpa elevator." Seutas kisah pilu yang sampai sekarang terus bersarang di pikiran Tasya dan sejak itu, ia tak pernah lagi mencoba memahami Albiru secara emosional.
"Aku memintamu menghadirinya, karena tidak tahu kalau kakimu keseleo hari itu. Kau hanya berkata jatuh dan mengalami luka kecil, kukira hanya lecet di luar saja."
Sebuah suara yang beriringan dengan penjelasan membuat Tasya bangkit dari kurisnya dan ketika berbalik, ia telah menemukan seorang pria memakai jas sedang menatapnya datar.
"Selamat pagi Pak Albi," sapa Tasya sedikit membungkukkan badannya.
Dinaya telah menahan tawanya. Ia bisa melihat Albiru seolah baru saja ditampar oleh perkataan Tasya, tetapi lelaki itu tetap bersikap cool seperti biasanya.
"Ya, pagi juga Tasya dan ... selamat bekerja kembali," sapa Albiru balik. "Naya, bagaimana bahan presentasi besok?"
Albiru melewati meja Tasya menuju Dinaya. Hal itu membuat Tasya kembali duduk sambil menggigit bibir bawahnya.
"Ini Pak, sudah siap. Jam sepuluh besokkan?" Naya bertanya untuk lebih yakin akan jadwal presentasi tersebut.
"Benar," balas Albiru mengambil materi presentasi yang telah tercetak, meski ia yakin Dinaya telah mengirimkan bentuk PPT-nya lewat surel.
Albiru kemudian mulai berjalan beranjak dari ruangan tersebut, namun sebelum mencapai pintu, ia menoleh ke arah Tasya.
"Besok kau yang akan presentasi," tukas Albiru langsung memberi perintah kepada Tasya pada hari pertama kerja wanita itu.
"Tapi aku belum tahu materi, bahkan ... tentang tidak tahu apa itu besok," sanggah Tasya seolah mendapat serangan fajar, karena sambutan hangat dari bosnya itu.
"Makanya pelajari. Ambil materinya di Dinaya dan datang ke kantor satu jam lebih cepat, kita berangkat bersama."
Albiru tidak melihat situasi Tasya sebagai sebuah masalah bahwa wanita itu tidak bisa melakukan presentasi di hadapan klien esok harinya.