/0/24879/coverorgin.jpg?v=0d67d7338b7cc49c969c5ad1a9444060&imageMogr2/format/webp)
Suara rintihan yang tersendat-sendat memenuhi ruangan sempit yang dipenuhi bau besi dan darah. Pemuda itu tergeletak di lantai, tubuhnya berlumuran darah dan memar. Setiap gerakan kecil membuatnya mengerang kesakitan. Ia menggeliat, mencoba menghindari bayangan yang semakin mendekat, tetapi sia-sia.
"Aku mohon... cukup... jangan pukul aku lagi...sakit....," suaranya serak, nyaris tenggelam dalam deru napas yang terengah-engah.
Wanita itu berdiri di atasnya, matanya tajam menatap dengan kebencian yang tak bertepi. Tangannya menggenggam erat sebatang tongkat besi yang berkilauan oleh darah, jari-jarinya memutih karena tekanan yang begitu kuat. Bibirnya yang dulu lembut kini tertarik ke bawah, menunjukkan ekspresi yang dingin dan penuh dendam.
"Kenapa? Tak kuat menahan sakitnya?" suaranya rendah, hampir berbisik, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya membawa berat ribuan ton kemarahan. "Dulu... saat anakku memohon... apakah kalian berhenti?"
Pemuda itu terisak, air matanya bercampur dengan darah yang mengalir dari pelipisnya. "Aku... aku minta maaf... Kumohon, aku menyesal..."
Wanita itu mendekat, hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. "Maaf? Kau pikir maafmu bisa menghapus apa yang telah kalian lakukan pada ankku? Bisa menghapus penderitaannya? Bisa membangkitkan anakku yang sudah mati?"
Pemuda itu menunduk, tubuhnya bergetar. "Aku... aku tidak tahu... aku hanya ikut ikutan... Aku hanya... aku hanya mengikuti yang lain..."
"Ah, begitu," wanita itu mengangguk, nadanya sarkastik. "Jadi Kau hanya mengikuti teman teman mu yang lain, ya? Seperti robot, yang tanpa perasaan, tanpa pikiran... Yang hanya bisa menikmati saat dia berteriak, saat dia memohon... Seperti kau sekarang ini."
"Ahk...sakit.....Tidak... tidak... kumohon... hentikan..jangan pukul aku lagi.," suara pemuda itu berubah menjadi jeritan putus asa ketika wanita itu mengangkat tongkat besi di tangannya.
Dia tidak langsung memukul. Wanita itu menatap pemuda itu dengan mata yang tajam, seolah mencari sesuatu-penyesalan, ketakutan, atau mungkin sekadar pengakuan. Tapi yang ia lihat hanyalah ketakutan. Tak ada penyesalan yang tulus, hanya keinginan untuk tetap hidup.
"Mengapa dulu kau tidak berhenti, saat melihat dia tidak berdaya?" wanita itu bertanya lagi, suaranya lebih pelan, hampir melankolis. "Mengapa kau tidak bisa merasakan ketakutan yang sama yang kau rasakan sekarang? Kenapa kau tidak bisa merasakan sakitnya, deritanya?"
Pemuda itu terdiam, tak ada kata yang bisa keluar dari mulutnya selain isakan yang semakin keras.
/0/20041/coverorgin.jpg?v=d3ae2b6c1b626d2e5ef8a039fdd81681&imageMogr2/format/webp)
/0/21624/coverorgin.jpg?v=387f47fc3719e7d447feed111c0c690f&imageMogr2/format/webp)
/0/14709/coverorgin.jpg?v=c5b24b78d6e49bacadb23bceb2d4086e&imageMogr2/format/webp)
/0/20067/coverorgin.jpg?v=ce8d2e081f4e44690efd5d5892534e67&imageMogr2/format/webp)
/0/19556/coverorgin.jpg?v=9a9eb52edc520ea5cbec2871ef3d874d&imageMogr2/format/webp)
/0/5777/coverorgin.jpg?v=88b08f7d4264446951b5f7ed1a5a823d&imageMogr2/format/webp)
/0/13113/coverorgin.jpg?v=603d878cfe27a72adc41261c26c4094b&imageMogr2/format/webp)
/0/8546/coverorgin.jpg?v=fbf9b0193808dfbf370ab42642e71e9f&imageMogr2/format/webp)
/0/22488/coverorgin.jpg?v=bd3b089dd86c22ff56b497ba74e18b3f&imageMogr2/format/webp)
/0/26401/coverorgin.jpg?v=20250812190959&imageMogr2/format/webp)
/0/3066/coverorgin.jpg?v=1968055e65003abae00f1e114a907847&imageMogr2/format/webp)
/0/4896/coverorgin.jpg?v=20250121182826&imageMogr2/format/webp)
/0/5888/coverorgin.jpg?v=88ed910bbcf55b640b1eb6eb4ed85c97&imageMogr2/format/webp)
/0/4290/coverorgin.jpg?v=f69af7fae1687f0e6c25f81bff95b97e&imageMogr2/format/webp)
/0/18381/coverorgin.jpg?v=d9bc88ac68a7d05c397fcbb99a23090e&imageMogr2/format/webp)
/0/5752/coverorgin.jpg?v=3719f8e9cf0fc50aa652c7fe17740b8d&imageMogr2/format/webp)
/0/15546/coverorgin.jpg?v=68e49a6799763f5b881a1460afd503d4&imageMogr2/format/webp)