Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Sang Pemuas
Gairah Sang Majikan
Arkano mengusap lembut rambut panjang wanita yang menyandar di dadanya. Ia tatap penuh sayang wanita cantik itu.
“Aku sayang sama kamu,” bisiknya.
Arkano tersenyum tipis. “Iya.. aku juga.” Balasnya.
“Kamu masih tetep cinta kan sama aku meskipun kita nggak punya anak?”
Arkano diam sejenak. Ia pikirkan pertanyaan yang terlontar dari mulut wanita yang merupakan istrinya itu. Arkano Pawagra dan Adeline sudah menikah selama 6 tahun, namun selama itu pula Adeline menolak untuk memiliki keturunan, alasannya karena belum siap ditambah karirnya sebagai seorang model yang memperkuat alasannya. Sebagai suami yang mencintai istrinya, Arkano menghargai keputusan Adeline bahkan menelan pahit keinginannya untuk memiliki anak bersama istrinya.
“Aku tetep cinta sama kamu, apapun yang terjadi.” Ucap Arkano dengan pelan.
“Makasih, sayang. Makasih karena kamu mau ngertiin aku, kamu mau menghargai keputusan aku. Aku sayang kamu banget. Kamu janji kan ga akan nuntut keturunan dari aku?”
“Iya.. aku janji.”
Adeline memeluk erat tubuh shirtless suaminya dan tersenyum dengan lebar.
Arkano sadar bahwa seharusnya ia tidak berbohong, seharusnya Arkano lebih berani untuk mengutarakan perasaannya dibanding menjaga perasaan sang istri, tapi Arkano tidak memiliki keberanian itu. Ia terlalu takut.
**
Arkano berjalan dengan santai menuju ruangannya. Ia sesekali tersenyum membalas sapaan staff kepadanya. Hari ini Arkano lebih luang dari biasanya, hari ini ia hanya perlu menghadiri 2 meeting penting, setelah itu ia tidak memiliki pekerjaan. Kebetulan, ayah-nya sedang berbaik hati untuk membantu meringankan pekerjaannya.
“Pagi, Pak Arkan. Di ruangan Bapak ada Pak Jo, katanya beliau ada urusan dengan Bapak.”
Arkano mengangguk. “Makasih, Fika. Tolong anterin dua kopi sama cemilan ya.”
“Baik, Pak.”
Arkano membuka pintu ruangannya, tampaklah seorang pria dengan rambut berwarna blonde yang sedang berselonjoran di atas sofanya.
“Jo.” Panggil Arkano.
Pria bernama Jo itu menoleh lalu memperbaiki posisinya menjadi duduk, sementara Arkano mendudukkan dirinya di sebuah single sofa yang berada di depan Jo.
"Kenapa, Jo? Udah datang aja pagi-pagi." Ucap Arkano.
Jo terkekeh pelan. "Tadinya gue mau mampir kesini pas jam makan siang, tapi kata PA lo, lo-nya sibuk jam segitu jadi pagi ini aja gue kesini."
"Haha.. iya, gue ada meeting sampe lunch nanti. Ada apa nih, Jo?"
Jo membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah kertas persegi cantik dari dalamnya. Ia sodorkan kertas itu Arkano dengan senyum yang sumringah.
"Widih, mantep. Mau nikah juga akhirnya lo!" Arkano berseru senang.
"Wah man, penuh perjuangan banget gue buat sampe ke tahap ini. Doain aja lancar."
"Amin, amin. Pasti lancar lah. Sabtu ini ya?"
"Iya, ajak istri lo ya, dah lama gue ga ketemu sama Lin."
"Kalo dia ga sibuk pasti gua ajak, soalnya jadwal kita bisa bentrok kadang-kadang. Sedih gue."
Jo tertawa dengan keras. "Sabar ye, lama-lama kayak duda lo, Kan."
"Bener lagi."
Arkano terdiam sejenak. "Jo,"
"Apa?"
"Lo setelah nikah kepikiran mau langsung punya anak atau engga?" Arkano bertanya dengan hati-hati.