Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Psychopath Love
5.0
Komentar
30.1K
Penayangan
81
Bab

Apa kah menurutmu seorang Pscyo mempunyai hati tulus untuk mencintai? Johan dengan segala kesempurnaanya, menyimpan sakit akan jiwa dan pikiran. Mencintai diam-diam adik tirinya, setitik cahaya dalam hati nya yang kelam. Tapi, bagaiman jika si Adik mencintai orang lain?

Bab 1 Prolog

"Lira, kenalkan, ini Om Aji."

Pada suatu siang, Si ibu memperkenalkan-nya pada seorang pria berpenampilan sangat necis dan berkacamata.

Lira yang saat itu masih berusia 6 tahun hanya melihat sebentar, lalu kembali merunduk.

"Selamat siang, om..." sapa-nya hampir tak terdengar.

"Siang, Lira." Pria berkacamata dan bercambang itu tersenyum ramah. "Lira cantik seperti Mama, ya.." ia memuji.

Lira menengadah. Ragu-ragu dia memperhatikan ibunya yang telah lama menjanda, saling lempar senyum dengan pandangan penuh arti kepada si Om.

Lira ketika itu hanya anak kecil polos, yang hanya bisa menyimpan semua tanya tanpa sanggup mengutarakan apa yang tengah berkecambuk dalam hati.

Yang pasti, ia tak tak akan menyangka bahwa makan siang mewahnya hari itu adalah pembuka gerbang akan nasib-nya yang dramatis.

.

.

Beberapa hari setelah makan siang, si ibu memberi tahu dirinya, bahwa ia akan menikah dengan pria bernama Aji tersebut.

Lira yang cuma mengikuti apa yang di kehendaki oleh si ibu.

Namun, yang membuat Lira terkejut. Ternyata Aji memiliki 3 orang anak dari istri- nya yang telah meninggal.

.

.

Karena Aji merupakan pengusaha sukses, otomatis pernikahan kedua Ibu-nya di langsungkan meriah.

Lira melongo ketika melihat deretan gaun-gaun pengantin di sebuah showroom, di mana dia dan ibunya tengah fitting gaun pengantin.

"Lir, cobalah." si ibu memperlihatkan dress anak berwarna pink dengan renda bunga-bunga. "Gaun ini sepertinya cocok untukmu."

Lira kecil yang hidup serba pas-pas an sejak meninggalnya sang Ayah, terpesona oleh gaun indah tersebut. Ia sampai begitu hati-hati memegang kain-nya yang terasa sangat halus di kulit tangannya.

"Pasti kau akan terlihat sangat cantik." Rona ibunya berseri-seri.

Sejak berkenalan dengan Aji dan mereka melanjutkan ke jenjang pernikahan, ibu-nya yang dulu terlihat muram, mendadak memang terlihat lebih muda dan cantik.

Lira tersenyum lebar, dia ikut bahagia melihat ibu yang selama ini banting tulang untuk hidupnya, sebentar lagi akan jadi nyonya besar.

Lira hendak mencoba dress pink itu, ketika calon Ayahnya datang bersama 3 orang anak yang mengekor di belakang-nya.

"Sudah kau pilih, Liana sayang?" Aji langsung mengecup sesaat kening ibu Lira.

Lira yang melihatnya memalingkan muka dengan kedua pipi memerah. Orang tuanya yang bersikap mesra di tempat umum. Namun, dia yang malu.

"Belum, " Liana menjawab. "Baju-baju di sini sangat bangus. Aku kebingungan." ia terkekeh sembari menatap calon suaminya yang duda tampan.

"Bagimanan denganmu, Lira?" gantian Aji bertanya pada Lira yang berdiri di tengah-tengah mereka sambil menenteng dress pink yang di berikan si ibu.

"Su, sudah...Om." jawab Lira serayak menunjukkan dress di tangan.

"Baguslah." Pria itu sumringah, lalu mengacak rambut panjang Lira yang di kuncir ekor kuda.

Lira yang masih menganggap Aji orang asing, tertunduk canggung.

"Oya, kenalkan, mereka akan menjadi saudaramu Lira." Aji memberi kode pada anak-anaknya agar maju ke depan.

Dengan patuh, atau lebih tepatnya terpaksa patuh, ketiganya berjalan ke arah Ayah dan calon ibu serta adik tiri mereka.

"Ini Lira, anak dari Tante Liana." Aji memperkenalkan.

"Ha, halo..." Sapa Lira canggung.

"Ini, James." Aji menunjuk ke arah anak lelaki paling tinggi. "Tahun ini dia berusia 15 tahun."

Lira mencoba tersenyum. Namun, James hanya menyalami tanpa minta.

"Dia Jasmine," Aji sedikit membungkuk, ketika memperkenalkan anak perempuan-nya. "dengan adanya Lira, akhirnya kau punya teman main rumah-rumahan." ia mengerlingkan satu mata.

Jasmine terlihat senang mendengar ucapan si Ayah.

"Salam kenal, Lira." penuh semangat ia menjabat tangan calon adik tirinya.

"Salam kenal, kak Jasmine." Lira sumringah melihat respon Jasmine yang ramah dan terlihat lebih bersahabat dari pada James.

"Waah...senang ya, Lir." Si ibu meletakkan kedua tangan ke pundak anaknya. "Lira yang hanya anak tunggal, sekarang jadi punya banyak saudara."

Meski kikuk. Tapi, di akui memang Lira senang, karena ada Jasmine yang langsung bisa mengakrabkan diri dengan sikap cerianya.

"Kau masih punya satu saudara lagi."

Ucapan Aji membuat pandangan Lira terarah pada anak lelaki yang bertubuh paling kurus di antara mereka bertiga.

Diantara keramian toko, dia hanya menatap lurus ke arah jendela besar yang mengarah ke jalan raya.

Sikapnya berkesan tak peduli. Tetapi, wajahnya yang pucat, menimbulkan rasa iba.

"Johan!" panggil Aji.

Suara pria itu membuat detak jantung Lira meningkat dratis.

Ia kaget, sebab setahu dirinya, Aji adalah orang yang ramah dan tak pernah mengeluarkan suara bak petir menyambar.

Perlahan Johan berjalan lebih maju. Tatapnnya bertemu dengan Lira yang sedari tadi sudah memperhatikannya.

Seketika Lira beku, karena tatapan Johan terasa begitu kelam, seolah tak ada setitikpun cahaya kehidupan di dalam sana.

"Hai..." Ia menyapa.

"Ha, hai..kak Johan." Lira gugup.

Dia berusaha bersikap sewajarnya, meski tetap ada perasaan tak nyaman saat Johan memandang.

.

.

Hidup Lira bak Cinderella, dari gadis biasa menjadi seorang Nona Muda bergelimang harta.

Aji yang Lira kira akan bersikap jahat layaknya ayah tiri di film-film, nyatanya begitu baik dan memperlakukannya sama seperti anak kandungnya yang lain.

Seperti kata si Ibu pula, Jasmine menjadi teman terbaik-nya dalam hal apa pun. Bahkan kamar mereka bersebelahan, karena begitu akrabnya.

Lira tak begitu dekat dengan James, karena usia James memang jauh berada di atasnya. Tetapi, Lira tak mempermasalahkannya, sebab James tak pernah mengusik atau bersikap buruk padanya.

.

.

Hari ini, tepat setahun si ibu menikah dengan Aji dan ia tinggal di rumah mewah keluarga Prawira.

Lira sedang berjalan menikmati indahnya taman belakang yang banyak tumbuhan anggrek bergelantungan.

Ia begitu kagum dengan warna-warni tanaman tersebut, yang konon merupakan bunga kesayangan mendiang istri pertama Aji dan sampai sekarang masih begitu di rawat.

"ANAK PEMBAWA SIAL !!"

Lira berjingkak kaget mendengar suara bentakan yang membuat jantungnya hendak melompat keluar.

Dia segera bersembunyi di balik pohon Akasia yang tumbuh di situ.

Mata Lira membelalak, ketika mengintip di balik celah dan melihat Aji memukul Johan berkali-kali menggunakan ranting pohon.

Ia ngeri, saat Johan yang belum genap 10 tahun hanya meringkuk sambil menutupi wajahnya di tengah hujan sabetan ranting Ayah kandungnya.

"GARA-GARA MELAHIRKAN MU ANITA MENINGGAL !!" Aji membuang ranting pohon, lalu menarik kerah baju si anak dan memukul wajahnya sampai darah mengalir dari hidung Johan.

Lira menutup mulutnya rapat-rapat dengan tubuh mengigil. Ia begitu ketakutan sampai menangis.

Siang itu rumah memang dalam keadaan sepi.

Tapi, ada banyak pelayan di rumah ini.

Tadi Lira lihat di ruang tengah juga ada James dan Jasmine yang sedang main game bersama.

"Kenapa tidak ada yang menolong?" tanya Liradalam hati.

Mendadak Lira tersadar, jika saat ini Ibu-nya lah satu-satu nya orang tak berada di rumah.

"PEMBAWA SIAL !!" Teriakan Aji di barengi suara pukulan kembali menyakiti telingan gadis kecil itu.

.

Lira merapatkan tubuh di balik pohon, ketika Aji telah selesai dengan aksi tak berperi kemanusiaan-nya.

Pria itu tak melihat Lira, dan hanya melewati tempat persembunyia-nya begitu saja.

Lira menunggu sampai Aji benar-benar telah pergi.

Setelah di rasa aman, dengan cepat Lira berlari ke arah Johan yang terduduk di tanah dengan baju kotor dan wajah bengkak.

"Kakak nggak apa-apa?"Lira bersimpuh di hadapan Johan dan menatap khawatir.

Johan yang awalnya merunduk, mengangkat wajah dan menatap Lira.

Sekali lagi ia di buat berdesir, tak kala menatap kedua netra kelam tersebut

Tak ada ekspresi kesakitan atau pun ketakutan di wajah Johan, padahal wajahnya lebam dan tubuhnya penuh luka sabetan.

Darah dari hidung-nya mengalir,membuat Johan ingin menyeka dengan punggung tangan. Namun, sebelum ia melakukannya, Lira telah lebih dahulu memegangi tangan Johan, Kemudian mengusadarah tersebut dengan ujung bajunya sendiri.

Mata hitam Johan menbulat. Rasanya itu ekspresi pertama yang di perlihatkan kakak tirinya selama setahun mereka tinggal bersama.

"Kenapa Papa tega menyakit Kakak sampai seperti ini?" mata Lira berkaca-kaca.

Lira memang memiliki simpati yang tinggi.

Ia ikut sedih, ketika membersihkan luka Johan dengan ujung roknya sendiri.

"Papa biasa melakukan hal seperti ini, saat sedang stres dengan pekerjaan." Johan menjawab santai tanpa beban.

"Apa?" Lira terkejut.

Johan cuma menatap.

"Kenapa Kakak tak minta tolong?" Lira makin sedih.

"Siapa yang mau menolong?" Johan balik bertanya.

Lira tertegun.

Jadi benar sebenarnya orang-orang di rumah ini tahu. Tapi tidak ada yang berani menolong?

Johan bangkit berdiri, kemudian mulai berjalan pergi.

Lira ikut bangkit dari duduk. Di pandanginya punggung kecil Johan yang terlihat sangat rapuh.

"Aku yang akan menolong Kakak!"

Langkah Johan terhenti, kemudian perlahan menoleh ke belakang dan menyringai ke arah Lira.

Sesaat Lira bergidik, sebab senyum Johan terasa ngeri.

Tetapi, sesaat kemudian senyum itu berubah menjadi senyum paling menawan yang membuat siapa pun terpesona.

"Terima kasih, Lir." ucap Johan lalu berbalik pegi.

Kedua pipi Lira langsung merona, karena kakak tirinya itu terlihat sangat tampan.

Sama sekali tak terbesit di pikiran Lira, jika ia akan sangat menyesali hari itu.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Hijaudaun_birulangit

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku