Cinta yang Tersulut Kembali
Kasih Sayang Terselubung: Istri Sang CEO Adalah Aku
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Sang Pemuas
Terpesona oleh Istri Seribu Wajahku
Hamil dengan Mantan Bosku
Gairah Citra dan Kenikmatan
Perjalanan Menjadi Dewa
Hati Tak Terucap: Istri yang Bisu dan Terabaikan
Cerita dewasa
Seperti biasa, pagiku akan selalu sama. Bunyi alarm yang sudah menjadi teman terbaik membangunkanku dari nyenyak tidur panjangku. Bumi masih gelap, suara sang jago tidak terdengar seperti cerita-cerita dongeng yang seringkali ku baca. Mungkin ayam-ayam sudah dijadikan lauk makan malam di kota besar ini. Atau mungkin ruangan yang ditempatiku ini kedap suara.
"Lily…" Suara parau dan lemah dari arah dapur. Aku sudah biasa mendengar itu. Bahkan waktunya hampir sama namaku akan senantiasa disebut. Kuusap mataku untuk sekedar mengembalikan semua jiwaku yang masih ingin terlelap dalam mimpi indah yang selalu hadir dalam tidurku. Dengan gontai ku hampiri ibu yang duduk meringkuk di lantai cukup dingin. Setiap kali aku menghampirinya, aroma alkohol dan aroma lainnya membuatku mual. Pagiku senantiasa sama. Menyambut ibuku pulang dari petualang panjangnya, malam demi malam.
Setiap anak pasti akan senang meyambut ibunya pulang. Namun tidak denganku, aku sangat membenci hal itu. Bahkan aku ingin malam panjang dan tidak ingin pagi datang.
"Kamu sudah bangun, Sayang?" Suara parau dengan napas terengah-engah itu sontak membuatku memalingkan wajah ke samping. Aroma yang senantiasa aku hindari. Perlahan aku membantu ibu berdiri dan mengambil tangan kanannya lalu dilingkarkan di pundakku. Tubuh ibu cukup berat. Namun karena sudah terbiasa memapahnya ke tempat tidur, rasa berat itu menjadi terbiasa. Dengan tertatih-tatih aku membimbing ibu memasuki kamar.
"Hahaha…" Gelak tawa ibu seperti neraka bagiku. Entah apa yang membuatnya tertawa, aku pun tak tahu. Setiap pagi dalam pulangnya, ibu akan tertawa dan terdengar sangat mengerikan bagiku. Layaknya Mak Lampir yang tertawa. Aku hanya menghela napas kesal membiarkan keresahan dalam hati sirna. Namun berulang kali aku mencoba, lara dalam hati sepertinya sudah nyaman menetap dalam lubuk ini.
Aku membaringkan tubuh ibu di atas king size yang sudah ku rapikan sebelumnya. Dengan telaten high hills hitam miliknya ku lepas satu persatu dan menaruhnya di lantai. Selimut yang cukup tebal ku tarik dan menutupi tubuh ibu yang memakai pakaian yang lebih pantas disebut kurang kain itu.
Raut wajah dengan mata yang mulai keriput itu terlihat sedikit tersenyum namun seperti tidak iklas. Entah apa yang mengganjal di hatinya. Ku jelajahi wajah ibu sampai kakinya.
"Dia adalah ibuku. Dia adalah surgaku-" dan lagi butiran bening itu mengalir tanpa permisi dari kedua kelopak mataku. "Sekotor apa pun dirimu, tetaplah rahimmu tempat aku berkembang, Bu." Dengan mengabaikan segala aroma yang tidak ku sukai, dengan lembut ku kecup kening yang masih banyak pelu itu. Tangan refleks ibu memegang kepalaku. Dapat ku rasakan tangan itu mengelus pelan ubun-ubunku. Rasanya masih sama. Nyaman dan menenangkan.
"Selamat istirahat, Bu," ucapku lembut di samping telinganya. Tidak ada reaksi dari ibu. Detik berikutnya ibu membalikkan badan dan memeluk guling di sampingnya. Ia membelakangiku dengan tubuh bergetar. Menangiskah ia?
Tidak ingin membuat tidur ibu terganggu, aku pun keluar dari kamarnya dengan perasaan sedih dan haru. Pertama kalinya ku lihat ibu menangis. Dan pertama kali juga ku kecup kening itu.
Sebenci-bencinya aku pada ibuku, tetap jauh di dalam lubuk hatiku ada rasa cinta yang mendalam bagi ibu yang tak mampu aku utarakan dan tunjukan. Walau jarang sekali aku mengatakan bahwa aku mencintaimu tapi aku selalu paham setiap tarikan nafasmu. Arti dari setiap senyum dalam lamunan panjangmu. Aku ingin memulihkan apa yang sudah kita lewati ini. Ingin memulihkan apa yang telah kita lalui dan hidup dengan lebih baik.
Drt…drt..
Suara alarm menyadarkanku dari pikiran penat dan lara ini. Suara alarm pertanda sudah pukul lima. Aku harus menyiapkan sarapan dan berangkat ke sekolah.