Cinta yang Tersulut Kembali
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Mantanku yang Berhati Dingin Menuntut Pernikahan
Cinta di Jalur Cepat
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Jangan Main-Main Dengan Dia
Aku Jauh di Luar Jangkauanmu
Gairah Liar Pembantu Lugu
Balas Dendam Manis Sang Ratu Miliarder
Suamiku Ternyata Adalah Bosku
Suatu pagi yang cerah, Pak Ruslan bangun lebih awal dari biasanya. Matahari baru saja muncul di ufuk timur, memancarkan sinar keemasan yang menyinari laut yang tenang. Angin pagi bertiup sepoi-sepoi, membawa harum udara laut yang segar. Seperti biasa, ia menyiapkan perahunya, memeriksa jaring ikan yang sudah dipersiapkan sejak malam sebelumnya. Hari itu, ia berencana untuk melaut lebih jauh dari biasanya, berharap mendapatkan tangkapan yang lebih banyak.
Dengan perahu kecilnya yang sederhana, Pak Ruslan berangkat seorang diri. Istrinya, Ibu Siti, yang tengah menyiapkan sarapan untuk anak-anak mereka, melihat suaminya berangkat dengan senyum, berharap hasil tangkapan hari itu cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Anak-anaknya, Andi, Pendi, dan Rani, masih terlelap di tempat tidur mereka, tidak menyadari bahwa ayah mereka akan menghadapi ujian besar di lautan.
Pak Ruslan memulai perjalanan melaut, berlayar menjauh dari pantai. Laut tampak tenang, seolah memberi tanda bahwa hari itu akan menjadi hari yang penuh harapan. Sesekali, ia memandang langit yang biru, namun tidak ada tanda-tanda cuaca buruk. Ia terus maju, semakin jauh ke tengah laut, berharap mendapatkan hasil tangkapan yang banyak. Pikirannya melayang kepada anak-anaknya yang membutuhkan biaya sekolah dan istrinya yang bekerja keras sebagai tukang cuci di rumah orang. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk mereka.
Namun, beberapa jam setelah Pak Ruslan mulai melaut, cuaca mulai berubah tanpa peringatan. Langit yang semula cerah mulai tertutup awan hitam pekat. Angin yang tadinya lembut, tiba-tiba bertiup kencang, membawa suasana yang mencekam. Pak Ruslan, yang sudah berpengalaman melaut, mulai merasakan tanda-tanda buruk. Awan yang gelap menggulung di atasnya, dan angin semakin kencang. Laut yang tadinya tenang mulai bergelombang, menciptakan riak-riak kecil yang perlahan-lahan menjadi besar.
Pak Ruslan mencoba tetap tenang, berusaha mengarahkan perahunya kembali ke pantai, namun badai datang begitu cepat. Ombak pertama yang besar datang menghantam perahunya dengan keras. Perahu kecil itu bergetar hebat, hampir terbalik karena kuatnya gelombang. Pak Ruslan berpegangan erat pada dayung dan berusaha menjaga keseimbangan perahu. Ia tahu bahwa ia harus segera mencari perlindungan, namun badai semakin menjadi.
Angin yang semakin kencang memaksa perahu bergerak tak terkendali. Laut yang semula terlihat indah kini menjadi medan yang sangat berbahaya. Gelombang tinggi datang silih berganti, dan hujan deras mulai turun, membuat pandangan Pak Ruslan terbatas. Ia berjuang sekuat tenaga, mencoba mengendalikan perahunya yang mulai terhantam gelombang dengan semakin keras.
Pak Ruslan mulai merasa khawatir. Laut yang tenang tadi kini berubah menjadi lautan yang penuh bahaya. Ia mencoba berteriak meminta bantuan, namun suara angin dan deru ombak menyelimuti segalanya. Ia tahu bahwa ia harus segera kembali ke pantai, namun arah perahu semakin sulit dikendalikan. Gelombang besar yang datang tiba-tiba menghantam samping perahu, membuatnya hampir terbalik. Pak Ruslan berusaha mengatur perahu sebaik mungkin, namun gelombang terus menerjang, hampir membuat perahunya tenggelam.
Di tengah-tengah badai yang semakin hebat, Pak Ruslan terlempar dari perahu. Ia terjatuh ke laut, terhempas oleh gelombang besar yang datang begitu cepat. Tubuhnya terseret arus yang kuat, dan meskipun ia berusaha sekuat tenaga untuk tetap mengapung, laut yang begitu luas dan gelap membuatnya hampir kehilangan harapan. Hujan deras mengguyur tubuhnya, dan udara terasa dingin menusuk tulang. Dalam kepanikan dan kelelahan, ia hanya bisa berusaha bertahan.
Di antara gemuruh badai, Pak Ruslan teringat pada keluarganya. Istrinya dan anak-anaknya yang menunggu di rumah kecil mereka, dan harapan-harapan yang belum sempat ia wujudkan. Ia berdoa dalam hati, memohon keselamatan dan berharap bisa kembali ke daratan dengan selamat.
Beberapa jam berlalu, dan badai akhirnya mulai mereda. Angin yang tadinya sangat kencang mulai berangsur-angsur tenang, meskipun masih ada riak-riak kecil di permukaan laut. Dengan kekuatan yang tersisa, Pak Ruslan mencoba berenang, meraih tepi pantai yang tampak jauh di kejauhan. Ia merasa sangat lelah, hampir tidak bisa bergerak, namun semangat untuk kembali kepada keluarganya memberi kekuatan.
Setelah berjuang melawan arus, Pak Ruslan akhirnya berhasil mencapai pulau. Tubuhnya lemas, penuh luka, dan lelah luar biasa. Namun, ia bersyukur bisa selamat. Meskipun perahunya hilang ditelan badai, ia merasa lega karena masih bisa bertahan hidup.
Setelah badai yang dahsyat itu, Pak Ruslan terdampar di sebuah pulau yang ia sendiri tidak kenal. Perahu pak ruslanpun telah hilang diterjang ombak besar. Gelombang yang datang begitu kuat memporak-porandakan perahu kecil itu, dan Pak Ruslan hanya bisa menyaksikan perahunya tenggelam sebelum ia sendiri terbawa arus dan terlempar ke sebuah tempat yang asing.
Pak Ruslan terbangun dengan tubuh yang basah kuyup dan kelelahan. Ia merasa pusing dan bingung, tubuhnya kesakitan akibat benturan saat terjatuh ke laut dan bertarung melawan badai. Hujan sudah reda, namun udara masih terasa dingin dan lembab. Ketika ia membuka matanya, yang tampak hanya pepohonan tinggi dan pasir putih yang membentang. Laut di sekitarnya tenang, dan di kejauhan, ia bisa melihat pulau yang lebih besar, namun tidak ada tanda-tanda perahu atau manusia lain.
Dengan susah payah, Pak Ruslan bangkit dari tempat ia terdampar, berusaha berdiri meski tubuhnya terasa sangat lemah. Ia melihat sekelilingnya, berusaha mencari tahu di mana ia berada. Pulau itu terlihat sepi, dan tidak ada jejak manusia yang tampak. Tidak ada rumah atau tempat perlindungan yang bisa ia temui. Yang ada hanya hutan lebat di belakangnya, dan pantai yang memanjang di sepanjang pulau itu.
Pak Ruslan mencoba mengingat kejadian-kejadian sebelumnya-bagaimana badai datang begitu cepat, bagaimana perahunya dihantam gelombang besar, dan akhirnya ia terjatuh ke laut. Ia tidak tahu pasti berapa lama ia telah terombang-ambing di lautan, namun ia merasa sudah cukup lama. Sesekali, ia menatap ke arah pantai yang lebih jauh, berharap bisa menemukan sesuatu yang dikenal, atau setidaknya sebuah tanda bahwa ia bisa pulang. Namun, tidak ada yang familiar.
Sambil menarik napas dalam-dalam, Pak Ruslan mencoba mencari cara untuk bertahan hidup. Ia tahu bahwa ia tidak bisa tinggal diam di pulau ini-ia harus mencari makanan dan air, serta tempat berlindung, atau ia akan semakin lemah. Dengan tenaga yang tersisa, ia berjalan ke arah hutan, berusaha mencari sesuatu yang bisa dimakan. Setiap langkah terasa berat, dan tubuhnya penuh rasa sakit, namun pikirannya terus fokus pada satu hal: bertahan hidup dan kembali pulang.
Di dalam hutan, Pak Ruslan melihat beberapa buah yang tampak seperti kelapa, meskipun ia tidak yakin apakah buah itu bisa dimakan atau tidak. Ia memilih satu dan mencoba memecahnya dengan batu yang ia temukan di dekatnya. Ternyata, kelapa itu bisa dimakan, dan meskipun rasanya sedikit asing, ia merasa sedikit lega bisa mengisi perutnya. Ia terus mencari-cari buah lain yang bisa dimakan, sambil terus berusaha menenangkan pikirannya.
Malam mulai turun, dan Pak Ruslan merasa takut. Ia tidak tahu bagaimana malam akan berlalu di tempat yang asing ini. Hutan yang gelap menambah kecemasan di hatinya, tetapi ia tahu ia harus bertahan. Ia menemukan sebuah tempat berlindung sederhana, sebuah gua kecil di bawah tebing yang bisa memberikan perlindungan sementara. Dengan tubuh yang semakin lelah, ia duduk di dalam gua, berusaha tidur meskipun rasa takut masih menyelimuti hatinya.
Dalam keheningan malam itu, Pak Ruslan memikirkan keluarganya. Istrinya, Ibu Siti, dan anak-anaknya yang pasti cemas menunggunya di rumah. Ia tahu mereka pasti khawatir dan tidak tahu apa yang terjadi padanya. Dengan perasaan yang berat, ia berdoa dalam hati, memohon agar bisa selamat dan kembali kepada keluarganya. Ia juga berharap agar ada seseorang yang menemukan jejaknya atau mengetahui di mana ia berada.
Beberapa hari berlalu, dan Pak Ruslan mulai beradaptasi dengan kehidupan di pulau kecil itu. Setiap hari ia mencari makan dari buah-buahan yang ada, dan sesekali ia pergi ke pantai untuk melihat apakah ada tanda-tanda perahu lewat. Namun, tidak ada yang datang. Laut yang luas dan sepi seolah menutup harapan-harapannya untuk kembali pulang.
Pak Ruslan mulai membuat alat sederhana untuk memancing dengan menggunakan batu tajam yang ia temukan di sepanjang pantai. Ia juga berusaha membuat api dengan cara tradisional, menggesekkan dua batu hingga menghasilkan percikan api. Meski susah dan membutuhkan banyak usaha, ia merasa sedikit lega karena setidaknya ia bisa memasak makanannya dan tetap bertahan hidup.
Hari-hari berlalu dengan sangat lambat. Setiap kali Pak Ruslan melihat ke arah laut, harapan untuk kembali pulang semakin menipis. Ia sadar bahwa ia harus terus berjuang untuk bertahan hidup. Pulau itu tidak ramah, dan ia semakin merasa terisolasi. Namun, meskipun keputusasaan menyelimuti dirinya, Pak Ruslan tahu bahwa ia harus terus berusaha. Keluarganya di rumah masih menunggunya, dan itu yang menjadi alasan utama untuk bertahan hidup.
Di setiap malam yang sunyi, ia selalu berdoa dan berharap semoga badai itu hanya sebuah cobaan, dan suatu hari nanti ia bisa kembali pulang ke rumah, ke keluarga yang sangat ia cintai.
Di kampung yang terletak di pesisir, kecemasan mulai merayapi keluarga Pak Ruslan. Tiga hari sudah berlalu sejak Pak Ruslan berangkat melaut, namun hingga saat ini, ia belum juga pulang. Istri Pak Ruslan, Ibu Siti, yang biasanya selalu menanti suaminya kembali setelah bekerja, merasa gelisah. Setiap kali mendengar suara gelombang atau angin yang keras, hatinya berdegup kencang, membayangkan kemungkinan terburuk. Anak-anak mereka, Andi, Pendi, dan Rani, juga mulai merasa cemas. Andi, anak pertama, yang biasanya lebih banyak diam, kini merasa ada sesuatu yang salah.
Hari demi hari berlalu, dan Pak Ruslan tidak juga muncul. Ibu Siti semakin khawatir, setiap hari ia duduk di depan rumah, menatap laut yang tenang, berharap melihat perahu suaminya muncul di kejauhan. Tapi yang ia lihat hanya samudra luas yang tak berujung. Pendi dan Rani mencoba menghibur ibunya, namun mereka sendiri juga bingung dan takut. Andi, yang selalu menjadi anak yang lebih dewasa, akhirnya tidak bisa tinggal diam.
Hari ketiga setelah Pak Ruslan berangkat, Andi memutuskan untuk bertindak. Ia tahu bahwa ayahnya tidak akan membiarkan keluarganya cemas begini lama tanpa kabar. Ia yakin sesuatu telah terjadi di laut yang membuat ayahnya tidak bisa kembali tepat waktu. Dengan tekad yang kuat, Andi memutuskan untuk pergi ke kantor kepala kampung untuk melaporkan kejadian tersebut. Ia tahu bahwa ini adalah langkah yang tepat, meskipun ia merasa cemas dan takut.