Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
"Dimana aku? Kamar siapa ini?"
Tari terbangun dari tidur panjangnya. Matanya mengerjap berkali-kali, lalu mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru kamar. Tari lalu terduduk diatas kasur empuk yang masih terbuat dari kapuk. Suasana kamar yang sangat berbeda dengan kamar dirumahnya yang terkesan modern. Berbeda dengan kamar ini, yang terlihat seperti kamar pada jaman dahulu. Dengan kasur kapuk dan jendela tanpa kaca yang hanya ditutupi oleh gorden. Tidak ada hiasan dinding yang menempel, hanya ada satu foto yang menempel di dinding yang terlihat sudah kusam.
Tari beranjak dari duduknya, berjalan mendekati bingkai foto yang satu-satunya terpajang di dinding. Ia lalu menatap foto tersebut. Didalam foto itu terdapat sepasang suami istri yang terlihat tanpa ekspresi. Tari merasa sangat asing dengan tempat ini. Bukan hanya tempatnya saja, suasana kamar juga udara yang sangat dingin menusuk hingga ke tulang.
"Sepi banget, seperti tidak ada kehidupan."
Tari melihat keadaan diluar jendela. Ia penasaran tempat apa sebenarnya ini. Diluar jendela terlihat sangat sepi. Seperti tidak ada kehidupan sama sekali. Akan tetapi, diluar sana terlihat masih sangat asri dengan ditumbuhi tanaman-tanaman liar yang tumbuh subur diatas tanah.
"Sepertinya, aku berada di sebuah perkampungan yang jauh dari kota. Terlihat dari suasana diluar sana yang terlihat masih sangat asri dan udaranya yang sejuk."
Tidak ada suara sedikitpun, benar-benar seperti tidak ada kehidupan. Hanya suara semilir angin yang menggoyangkan dedaunan. Tiba-tiba bulu kuduk Tari sedikit meremang. Merinding, itulah yang sedang dirasakan olehnya.
Ceklek, krieeettt.
Suara derit pintu kamar terbuka. Tari terlonjak kaget saat pintu kamar terbuka dengan mengeluarkan suara yang memekakkan telinganya.
"Eeeh, udah bangun, Neng geulis?" tanya seorang wanita paruh baya yang membawa sebuah nampan berisi mangkuk dengan bubur yang masih mengeluarkan asap. Aroma khas dari bubur ayam, seketika membuat Tari menjadi lapar. Bagaimana tidak, sejak kemarin Tari belum memasukkan makanan apapun ke dalam perutnya.
Suasana yang menyeramkan tadi seketika berubah menjadi hangat. Senyuman yang diberikan oleh Ningsih kepada Tari membuatnya menjadi lebih sedikit tenang. Ada sedikit lega di hati Tari saat ia menatap wajah wanita yang memberikannya senyum yang tulus. Seperti senyum seorang ibu kepada anaknya. Bahkan, entah kapan Tari melihat ibu kandungnya tersenyum kepadanya. Hanya raut wajah kesal yang selalu ditunjukkan oleh Tuti--ibu kandungnya--pada Tari.
"I-iya. Maaf, sebenarnya saya ini ada dimana, Bu?" tanya Tari masih belum ingat bagaimana ceritanya ia bisa berada di rumah ini.
Ningsih menyimpan nampan berisi bubur ayam tadi di atas meja kecil. Lalu berjalan mendekati Tari. "Neng geulis ada di rumah Ibu." Tangannya terulur membelai lembut rambut Tari yang panjang terurai. Perasaan hangat menjulur ke dalam hatinya. Sudah lama sekali ia tidak pernah merasakan belaian lembut dari tangan seorang ibu. Tari merasakan nyaman saat ia berada dekat dengan Ningsih. Padahal baru beberapa menit saja ia bertemu dengan wanita paruh baya itu.
"Sekarang, Neng makan aja dulu. Nanti buburnya keburu dingin, gak enak," titahnya kemudian.
"Tapi, sa-saya ...."